Halo Sobat yayuarundina.com,
adakah yang mudik lebaran kali ini? Bersyukur ya, kita bisa kembali menjalani
tradisi tahunan mudik di 2022. Setelah pandemi Covid 19 yang melarang kita
bepergian. Dua tahun berada di rumah. Rasanya was-was bangets saat ingin
bertemu dengan keluarga besar, takut terkena Covid. Bahkan, justru takut jika
kitalah yang menularkannya pada mereka, terutama pada sesepuh, orang tua kita.
Alhamdulillah, tahun ini kita merasa lega bisa pulang kampung. Inilah kisahku: Cerita Seru Mudik
Lebaran 2022: Berwisata dan Bersilaturahmi.
Mudik dan Berwisata di Desa Cikaso Kuningan Jawa Barat |
Diajak Adikku Mudik Ke Kuningan
Sungguh,
aku mendapatkan kejutan besar di akhir
Ramadhan kemarin. Tiba-tiba saja, adikku mengajak kami mudik lebaran ke kampung
halaman suaminya di Cikaso Kuningan. Sebelum pandemi, mereka memang sering
pergi ke kuningan untuk bersilaturahmi. Mengunjungi adik atau kakak mertuanya.
Ibu mertua selalu ingin ke kuningan saat lebaran, bisa pas Idul Fitri atau
lebaran Haji.
Aku dan adikku
yang lain memang pernah beberapa kali ikut mudik ke Kuningan ini. Sungguh, ini
adalah sebuah kebahagiaan sejati bagi kami. Bertemu dengan sanak-saudara.
Bagiku, mudik ke kuningan berarti jalan-jalan. Horeee, me time menikmati suasana lebaran di jalan dan kampung halaman.
Favorit bangets daripada diam di rumah terus.
Pada hari kedua
lebaran, Selasa, 3 Mei 2022, kami pun dijemput adikku sekitar pukul 10 atau 11
siang. Sebelumnya, adikku mengantarkan anak sulungnya yang harus berangkat ke
Bintan untuk kembali bekerja. Tak berapa lama, kami kembali menyusuri jalanan
menuju kuningan.
Kejutan kedua,
Ibu mertua yang biasa semangat mudik, kali ini absen. Faktor usia membuat
hasratnya turun. Jadilah, kami, yang muda-muda punya kewajiban untuk menyambung
silaturahmi. Mobil pun meluncur ke area jalan tol.
Tak disangka,
lebaran kedua ini jalan tol masih sangat ramai. Kemacetan sudah terjadi dalam
perjalanan ke Cileunyi. Padahal, tahun-tahun sebelum pandemi, jalanan tidak
seramai ini saat lebaran kedua atau ketiga. Orang-orang biasanya mudik terakhir
pada lebaran pertama.
Akhirnya, kami
memutuskan boci atau bobo siang dulu di rumah. Sore nanti, barulah melanjutkan
perjalanan kembali menuju Kuningan. Apalagi, saat membuka aplikasi, kemacetan
parah terjadi di mana-mana. Butuh tenaga ekstra untuk melakukan perjalanan.
Apalagi, tidak ada Si Sulung yang bisa menjadi supir cadangan. Oke deh.
Menikmati Perjalanan Mudik
Sore hari,
selepas Ashar, kami pun kembali memulai perjalanan. Optimis sampai di Kuningan
sekitar pukul delapan atau sembilan malam. Dengan riang, kami memasuki jalan
tol baru Cisumdawu. Tak ada kepadatan lalu lintas. Kami bisa bahagia menikmati
perjalanan hingga pintu keluar tol di Sumedang. Kami berencana makan malam dulu
di kota tahu ini.
Tak disangka,
ternyata kami disergap kemacetan, apalagi saat menuju Cadas Pangeran. Kemacetan
pun mengular. Mobil merayap pelan menuju kota Sumedang. Keseruan pun dimulai.
Kami harus melawan kemacetan. Saat sampai di patung kuda, kami pun harus belok.
Tak bisa lewat di dalam kota Sumedang. Rencana makan malam jadi amblas.
Duh, Si Komo nih, “Mengapa tak buat jalanan
super lancar menuju Kuningan. Biar kami bisa segera bertemu saudara-saudara di
sana.”
Ada kalanya,
kami menjadi penguasa jalanan. Tak ada mobil lain, baik di depan atau di
belakang. “Ah, entah berlarian kemanakah mobil-mobil yang sempat mengular tadi.
Kami hanya sendirian di jalanan. Sebuah motor dengan salah satu penumpangnya,
bayi melintas di depan kami. Duh, tak terbayang, sang bayi mungil itu melintasi
jalanan gelap. Pastinya masuk angin deh.”
Inilah salah
satu seninya mudik. Tak semua orang memiliki kendaraan pribadi. Demi
bersilaturahmi dengan saudara di kampung, motor, mobil bak terbuka, bis, kereta
api dan jenis transportasi lainnya menjadi andalan para pemudik untuk sampai di
kampung halaman. Seru deh pokoknya.
Salah satu
penyebab kemacetan mudik kali ini adalah longsor yang sudah terjadi sebelumnya.
Mungkin sekitar satu atau dua mingguan. Entah di ruas jalan mana, berlaku buka
tutup. Saat melewati tempat itu dalam gelap malam. Kulihat longsoran parah
terjadi. “Wah, ini sih bisa sekampung,” ujarku saat melihat longsoran yang
cukup luas. Semoga tidak ada korban.
Lalu, perburuan
makan malam pun dimulai kembali. Ternyata, jalan pintas dari patung kuda tadi
berujung di dekat kantor pemda Sumedang. “Ada sebuah restoran dekat dinas
kesehatan,” kata adikku. Meluncurlah mobil ke sana. Nyanyian di perut pun
mereda setelah mendengar kata restoran. Sayang, kami belum bisa kenyang.
Restoran yang dituju itu ternyata tutup. Bangkrut atau ikut mudik, ya?
Perjalanan mudik
pun berlanjut. Salah satu tujuannya adalah mencari tempat untuk makan malam.
Baso cuanki yang sempat mengganjal perut tadi siang sudah mulai menipis. Namun,
hingga memasuki jalan tol Kertajati, tak ada satupun tempat makan. Wadidaw.
Kembali kami menghadapi kemacetan untuk beberapa lama. Namun, setelah melewati
rest area, kemacetan mulai berkurang. Mobil bisa melaju walau banyak kendaraan.
“Yu, dah sampai
mana?” tanya temanku melalui aplikasi Whatsapp.
“Baru masuk tol
Kertajati. Macet,” jawabku sambil mengirim gambar.
“Oh, ok! Nanti
telpon saja, kalau dah sampai di masjid! Aku antar ke homestay,” balasnya.
Sepertinya
jadwal kami meleset jauh. Tadi sore, aku mengabarkan akan tiba sekitar pukul
sembilan malam. Namun, kemacetan membuat kami harus bersabar untuk sampai di
homestay temanku ini. Setengah jam sebelum waktu yang kujanjikan, aku sempat
berkirim kabar. Namun, hingga pukul 23.00 kami masih berada di jalan. Jauh dari
tempat tujuan. Perburuan makan malam masih berlanjut.
“Kita makan tahu
sumedang saja di sini?” tanya adik iparku saat melihat benderangnya lampu di
pinggir jalan. Mobil pun melambat. Ada keramaian di sana.
“Tak ada nasi,
ah!” jawab adikku.
Mobil pun
kembali melaju hingga sampai di sebuah tempat makan sate. “Ah, akhirnya waktu
makan pun tiba.” Ramai kendaraan yang parkir. Lebih ramai suara di dalam perut
kami. Rombongan kecil pun memasuki tempat makan itu. Semua meja terisi penuh.
Kami berkeliling di dalam ruangan. Ruang bawah pun penuh. Aku kembali ke depan.
Adik iparku memesan sate untuk dimakan di mobil.
“Mo makan apa
Teh?” tanya seorang gadis.
“Bingung nih,
duduknya di mana,” balasku sambil celingukan mencari tempat makan.
“Teh, boleh numpang
makan di sini,” tanyaku saat melihat sebuah meja kosong di warung.
“Boleh. Tapi
pesan makanannya dulu,” balas penjaga warung di dekat tempat makan sate.
“Ya, lagi pesan
sate,” balasku.
“Oh, mangga,”
jawabnya sambil mengangguk.
Akhirnya, kami
mendapatkan meja untuk makan. Alhamdulillah, ada tempat kosong walau bukan di
dalam warung sate. Cukup untuk kami berenam. Adikku yang laki-laki membawa
sebuah kursi tambahan dari luar. Adikku yang perempuan mengabarkan tempat ini
pada suaminya.
Kulihat sebuah pintu
masuk di pinggir warung yang menghubungkan dua area ini. Warung ini mendapatkan
keberkahan juga dari keramaian warung sate. Beberapa pengunjung tampak membeli
sesuatu. Aku yang melihat kerupuk berbumbu langsung menyambarnya. “Masih
rangu,” ujarku dalam hati sambil sedikit memijit kerupuk. “Mungkinkah kerupuk
ini dari Cililin Bandung? Mirip,” batinku. Seorang laki-laki muda memesan mie.
Dia berjalan ke luar.
Di pinggir
tempat parkir, ternyata ada meja dan kursi berjejer. Tak banyak. Namun, cukup
untuk pemuda tadi dan temannya. Juga beberapa ibu yang sedang menunggu.
Akhirnya,
menjelang tengah malam, perut kami terisi nasi, beberapa tusuk sate, dan
hangatnya sop iga. Alhamdulillah. Sungguh, waktu makan yang tak biasa. Setelah
perut terisi, transaksi selesai, mobil pun kembali berpacu di jalanan yang
gelap menuju homestay.
Beberapa Kegiatan Mudik di Kuningan
1.
Tinggal di Homestay
Desa Wisata Cikaso Kuningan
Dengan Google Map yang dikirim
temanku, akhirnya kami bisa menemukan homestay itu. Ternyata, homestay ini ada
di lembur kuring, kampung halaman
sendiri. Adik iparku langsung mengenalinya saat aku mengatakan desa wisata
Cikaso kuningan tadi sore.
Adik iparku mengenal Sawah Lope saat
mengantarkan jenasah ua-nya menuju tempat peristirahatan terakhirnya.
Kami sengaja memilih tinggal di
homestay agar tak merepotkan keluarga. Mereka selalu siap siaga, jika kami
datang. Menyediakan tempat dan makanan. Inilah keramahan yang kusuka saat mudik
lebaran. Selalu bikin hati senang dan betah.
Lewat tengah malam, akhirnya kami
bisa menganyam bulu mata. Tidur nyenyak di homestay Mawar 1.
2.
Silaturahmi
Keesokan harinya, kami memulai
kegiatan silaturahmi. Kuawali dengan sahabat lamaku saat kuliah dulu, Teh Iis
melalui telpon. Saat pagi masih di homestay, dering telpon berbunyi nyaring.
Tadi malam, saat kami tiba di Cikaso, kami hanya bertemu dengan suaminya.
Bersama suaminyalah kami tiba di homestay Mawar 1 untuk beristirahat.
Kerinduan pun pecah mendengar celoteh
khasnya di telpon. Obrolan asyik pun mengalir deras. Membuat kami tertawa
mengenang masa-masa kuliah dulu. Kami berjanji bertemu saat makan siang di
Sawah Lope.
“Sekitar jam 9-10 an ya,” ujarnya di telepon.
“Ok, siap 86,” jawabku sambil menutup
telepon.
Sebelum berkeliling ke rumah saudara,
kami mengisi amunisi dulu. Keterbatasan waktu libur adikku yang sangat pendek,
membuat kami harus bergerak cepat.
Selesai makan, akhirnya, aku bisa
bertatap muka dengan sahabat lamaku. Kami, Teh Iis dan Mas Maruf suaminya, bisa
sejenak bercengkrama di saung Sawah Lope.
Setelah itu, kami kembali ke homestay
untuk berkemas menuju Majalengka.
Kami berjanji ke rumah Teh Iis dulu, sebelum
sowan ke rumah-rumah saudara di Cikaso ini. Ah, tiba di rumahnya membuat kami
tak ingin pulang. Halaman belakangnya, enak untuk kumpul-kumpul. Suasana yang asyik.
Teduh dan adem. Asyik buat mancing juga nih, barbequan ikan segar dari kolam.
Sayang, semua itu baru menjadi cita-cita. Semoga next time bisa punya waktu untuk bakar-bakar ikan di halaman
belakangnya. Bisa reunian.
Selanjutnya, kami menemui para sesepuh,
bibi dan ua. Keluarga adik iparku tampak terkejut dengan kedatangan kami.
“Ah,
Aa mah teu ngasih kabar dulu atuh. Jadi Bibi gak masak. Kela atuhnya, kita
makan dulu,” kata Bi Kuswati.
“Ih,
ngahaja supados Bibi teu repot. Hawatos.
Atos calik weh didieu, urang ngobrol da Aa bade ka Bandung deui ayena.
“Eh,
ari Aa naha meni enggal-enggalan atuh. Jam sabaraha dongkap kadieu, nginep di
saha?” ujar ua Mamat.
“Ieu
da Ema na kedah tos ngantor deui. Tadi wengi dugi tabuh setengah satu. Macet
pisan. Aa nginep di homestay temenna Teh Yayu,” jawab adik iparku.
Obrolan akrab pun mengalir
menyambungkan tali silaturahmi kembali. Beragam cerita dari beberapa rumah ua
dan bibi menjadi sebuah catatan silaturahmi tahun ini. Binar mata bahagia terukir indah. Tak terasa, tiba saatnya, kami
harus melanjutkan perjalanan. Kali ini, ke rumah ua dari pihak mamahku di
Majalengka.
3.
Wisata Tipis-tipis
Desa Cikaso, tempat mudik kami
ternyata sekarang sudah mempunyai tempat wisata. Sawah Lope namanya. Temanku, Teh
Iis dan suaminya dan juga para aparat desa mencoba untuk mengembangkan kampung
ini. Surprise besar nih.
Selain desa Cibuntu, desa Cikaso ini juga bisa
jadi tujuan wisata keluarga di Kuningan. Kedua desa wisata ini memiliki
keunikan yang berbeda. Pesona alam gunung Ceremai menjadi magnet wisata di
Kuningan.
Bagaimana wisata di desa Cikaso?
Nanti deh aku posting di tulisan terpisah, ya Sob.
4.
Menuju Majalengka
Setelah shalat jama Dhuhur dan Ashar di
masjid At Takwa, kami kembali meluncur menuju Linggarjati. Sebuah jalan alternatif
ke Majalengka. Dulu, kami bisa bersilaturahmi dengan keluarga Majalengka tanpa
dihadang kemacetan.
Kami senang melewati jalanan ini
karena pemandangan gunung yang hijau. Indah. Sejuk. Angin semilir menyegarkan
otak. Aktifitas pertanian sudah mulai ada. Inilah hiburan mudik yang khas dari
Tanah Priangan, tatar Sunda.
Pemandangan Indah Tatar Priangan |
Setelah menempuh perjalanan panjang, kami harus putar balik. Kembali ke jalan utama. Jalan alternatif ditutup karena ada yang sedang hajatan.
“Ah, sejengkal lagi kami tiba di
Majalengka,” batinku.
“Maaf, gak bisa lewat,” kata pak
satpam.
Dengan masgul, kami berputar arah.
Kali ini, pemandangan indah tak mampu meredakan rasa kecewa. Kami harus kembali
berada di jalan utama Kuningan-Bandung. Kembali terjebak kemacetan. Masuk tol
Kertajati dan tak bisa bersilaturahmi dengan ua di Majalengka.
“Duh, hapunten pisan, ua!” batinku.
Mobil terhuyung-huyung berada di
jalan tol. Zig zag. Beberapa kali sempat keluar jalur. Suara klakson mobil lain
dari belakang mencoba memulihkan kesadaran kami. Kondisi sudah membahayakan
keselamatan pemudik. Waktu menunjukkan jam sebelas malam.
Akhirnya, karena kelelahan dan rasa
kantuk yang tak bisa ditawar lagi, mobil pun memasuki rest area. Untuk pertama
kalinya, kami tidur di rest area. Untuk pertama kalinya, aku paham fungsi utama
rest area.
Selama beberapa kali mudik, rest area
ini hanya sebuah pemandangan biasa yang kami lewati. Sesekali sempat singgah
untuk makan atau kebelet pipis. Tak terbayangkan betapa pentingnya rest area ini.
Setelah cukup istirahat dan tidur,
sekitar pukul dua malam, kami melanjutkan perjalanan menuju Cimahi. Jalanan
kembali lancar. Tanpa hambatan yang berarti, kami tiba di rumah menjelang
subuh. Rasanya mudik kali ini seperti piknik ke Yogyakarta. Pergi petang, sampe
subuh.
Setelah menurunkan barang bawaan dan
oleh-oleh, adikku melanjutkan perjalanan menuju rumahnya.
Itulah cerita seruku saat mudik
lebaran 2022. Apa keseruan mudik kalian? Share di komentar yuk! Aku tunggu
cerita kalian yah
Sampai jumpa
Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar