5/06/2022

Cerita Seru Mudik Lebaran 2022: Berwisata dan Bersilaturahmi

 

Halo Sobat yayuarundina.com, adakah yang mudik lebaran kali ini? Bersyukur ya, kita bisa kembali menjalani tradisi tahunan mudik di 2022. Setelah pandemi Covid 19 yang melarang kita bepergian. Dua tahun berada di rumah. Rasanya was-was bangets saat ingin bertemu dengan keluarga besar, takut terkena Covid. Bahkan, justru takut jika kitalah yang menularkannya pada mereka, terutama pada sesepuh, orang tua kita. Alhamdulillah, tahun ini kita merasa lega bisa pulang kampung. Inilah kisahku: Cerita Seru Mudik Lebaran 2022: Berwisata dan Bersilaturahmi.


desa wisata cikaso kuningan jawa barat
Mudik dan Berwisata di Desa Cikaso Kuningan Jawa Barat


Diajak Adikku Mudik Ke Kuningan

Sungguh, aku  mendapatkan kejutan besar di akhir Ramadhan kemarin. Tiba-tiba saja, adikku mengajak kami mudik lebaran ke kampung halaman suaminya di Cikaso Kuningan. Sebelum pandemi, mereka memang sering pergi ke kuningan untuk bersilaturahmi. Mengunjungi adik atau kakak mertuanya. Ibu mertua selalu ingin ke kuningan saat lebaran, bisa pas Idul Fitri atau lebaran Haji.

Aku dan adikku yang lain memang pernah beberapa kali ikut mudik ke Kuningan ini. Sungguh, ini adalah sebuah kebahagiaan sejati bagi kami. Bertemu dengan sanak-saudara. Bagiku, mudik ke kuningan berarti jalan-jalan. Horeee, me time menikmati suasana lebaran di jalan dan kampung halaman. Favorit bangets daripada diam di rumah terus.

Pada hari kedua lebaran, Selasa, 3 Mei 2022, kami pun dijemput adikku sekitar pukul 10 atau 11 siang. Sebelumnya, adikku mengantarkan anak sulungnya yang harus berangkat ke Bintan untuk kembali bekerja. Tak berapa lama, kami kembali menyusuri jalanan menuju kuningan.

Kejutan kedua, Ibu mertua yang biasa semangat mudik, kali ini absen. Faktor usia membuat hasratnya turun. Jadilah, kami, yang muda-muda punya kewajiban untuk menyambung silaturahmi. Mobil pun meluncur ke area jalan tol.

Tak disangka, lebaran kedua ini jalan tol masih sangat ramai. Kemacetan sudah terjadi dalam perjalanan ke Cileunyi. Padahal, tahun-tahun sebelum pandemi, jalanan tidak seramai ini saat lebaran kedua atau ketiga. Orang-orang biasanya mudik terakhir pada lebaran pertama.

Akhirnya, kami memutuskan boci atau bobo siang dulu di rumah. Sore nanti, barulah melanjutkan perjalanan kembali menuju Kuningan. Apalagi, saat membuka aplikasi, kemacetan parah terjadi di mana-mana. Butuh tenaga ekstra untuk melakukan perjalanan. Apalagi, tidak ada Si Sulung yang bisa menjadi supir cadangan. Oke deh.

Menikmati Perjalanan Mudik

Sore hari, selepas Ashar, kami pun kembali memulai perjalanan. Optimis sampai di Kuningan sekitar pukul delapan atau sembilan malam. Dengan riang, kami memasuki jalan tol baru Cisumdawu. Tak ada kepadatan lalu lintas. Kami bisa bahagia menikmati perjalanan hingga pintu keluar tol di Sumedang. Kami berencana makan malam dulu di kota tahu ini.

Tak disangka, ternyata kami disergap kemacetan, apalagi saat menuju Cadas Pangeran. Kemacetan pun mengular. Mobil merayap pelan menuju kota Sumedang. Keseruan pun dimulai. Kami harus melawan kemacetan. Saat sampai di patung kuda, kami pun harus belok. Tak bisa lewat di dalam kota Sumedang. Rencana makan malam jadi amblas.

 Duh, Si Komo nih, “Mengapa tak buat jalanan super lancar menuju Kuningan. Biar kami bisa segera bertemu saudara-saudara di sana.”

Ada kalanya, kami menjadi penguasa jalanan. Tak ada mobil lain, baik di depan atau di belakang. “Ah, entah berlarian kemanakah mobil-mobil yang sempat mengular tadi. Kami hanya sendirian di jalanan. Sebuah motor dengan salah satu penumpangnya, bayi melintas di depan kami. Duh, tak terbayang, sang bayi mungil itu melintasi jalanan gelap. Pastinya masuk angin deh.”

Inilah salah satu seninya mudik. Tak semua orang memiliki kendaraan pribadi. Demi bersilaturahmi dengan saudara di kampung, motor, mobil bak terbuka, bis, kereta api dan jenis transportasi lainnya menjadi andalan para pemudik untuk sampai di kampung halaman. Seru deh pokoknya.

Salah satu penyebab kemacetan mudik kali ini adalah longsor yang sudah terjadi sebelumnya. Mungkin sekitar satu atau dua mingguan. Entah di ruas jalan mana, berlaku buka tutup. Saat melewati tempat itu dalam gelap malam. Kulihat longsoran parah terjadi. “Wah, ini sih bisa sekampung,” ujarku saat melihat longsoran yang cukup luas. Semoga tidak ada korban.

Lalu, perburuan makan malam pun dimulai kembali. Ternyata, jalan pintas dari patung kuda tadi berujung di dekat kantor pemda Sumedang. “Ada sebuah restoran dekat dinas kesehatan,” kata adikku. Meluncurlah mobil ke sana. Nyanyian di perut pun mereda setelah mendengar kata restoran. Sayang, kami belum bisa kenyang. Restoran yang dituju itu ternyata tutup. Bangkrut atau ikut mudik, ya?

Perjalanan mudik pun berlanjut. Salah satu tujuannya adalah mencari tempat untuk makan malam. Baso cuanki yang sempat mengganjal perut tadi siang sudah mulai menipis. Namun, hingga memasuki jalan tol Kertajati, tak ada satupun tempat makan. Wadidaw. Kembali kami menghadapi kemacetan untuk beberapa lama. Namun, setelah melewati rest area, kemacetan mulai berkurang. Mobil bisa melaju walau banyak kendaraan.

“Yu, dah sampai mana?” tanya temanku melalui aplikasi Whatsapp.

“Baru masuk tol Kertajati. Macet,” jawabku sambil mengirim gambar.

“Oh, ok! Nanti telpon saja, kalau dah sampai di masjid! Aku antar ke homestay,” balasnya.

Sepertinya jadwal kami meleset jauh. Tadi sore, aku mengabarkan akan tiba sekitar pukul sembilan malam. Namun, kemacetan membuat kami harus bersabar untuk sampai di homestay temanku ini. Setengah jam sebelum waktu yang kujanjikan, aku sempat berkirim kabar. Namun, hingga pukul 23.00 kami masih berada di jalan. Jauh dari tempat tujuan. Perburuan makan malam masih berlanjut.

“Kita makan tahu sumedang saja di sini?” tanya adik iparku saat melihat benderangnya lampu di pinggir jalan. Mobil pun melambat. Ada keramaian di sana.

“Tak ada nasi, ah!” jawab adikku.

Mobil pun kembali melaju hingga sampai di sebuah tempat makan sate. “Ah, akhirnya waktu makan pun tiba.” Ramai kendaraan yang parkir. Lebih ramai suara di dalam perut kami. Rombongan kecil pun memasuki tempat makan itu. Semua meja terisi penuh. Kami berkeliling di dalam ruangan. Ruang bawah pun penuh. Aku kembali ke depan. Adik iparku memesan sate untuk dimakan di mobil.

“Mo makan apa Teh?” tanya seorang gadis.

“Bingung nih, duduknya di mana,” balasku sambil celingukan mencari tempat makan.

“Teh, boleh numpang makan di sini,” tanyaku saat melihat sebuah meja kosong di warung.

“Boleh. Tapi pesan makanannya dulu,” balas penjaga warung di dekat tempat makan sate.

“Ya, lagi pesan sate,” balasku.

“Oh, mangga,” jawabnya sambil mengangguk.

Akhirnya, kami mendapatkan meja untuk makan. Alhamdulillah, ada tempat kosong walau bukan di dalam warung sate. Cukup untuk kami berenam. Adikku yang laki-laki membawa sebuah kursi tambahan dari luar. Adikku yang perempuan mengabarkan tempat ini pada suaminya.

Kulihat sebuah pintu masuk di pinggir warung yang menghubungkan dua area ini. Warung ini mendapatkan keberkahan juga dari keramaian warung sate. Beberapa pengunjung tampak membeli sesuatu. Aku yang melihat kerupuk berbumbu langsung menyambarnya. “Masih rangu,” ujarku dalam hati sambil sedikit memijit kerupuk. “Mungkinkah kerupuk ini dari Cililin Bandung? Mirip,” batinku. Seorang laki-laki muda memesan mie. Dia berjalan ke luar.

Di pinggir tempat parkir, ternyata ada meja dan kursi berjejer. Tak banyak. Namun, cukup untuk pemuda tadi dan temannya. Juga beberapa ibu yang sedang menunggu.

Akhirnya, menjelang tengah malam, perut kami terisi nasi, beberapa tusuk sate, dan hangatnya sop iga. Alhamdulillah. Sungguh, waktu makan yang tak biasa. Setelah perut terisi, transaksi selesai, mobil pun kembali berpacu di jalanan yang gelap menuju homestay.

Beberapa Kegiatan Mudik di Kuningan

1.     Tinggal di Homestay Desa Wisata Cikaso Kuningan

Dengan Google Map yang dikirim temanku, akhirnya kami bisa menemukan homestay itu. Ternyata, homestay ini ada di lembur kuring, kampung halaman sendiri. Adik iparku langsung mengenalinya saat aku mengatakan desa wisata Cikaso kuningan tadi sore.

Adik iparku mengenal Sawah Lope saat mengantarkan jenasah ua-nya menuju tempat peristirahatan terakhirnya.

Kami sengaja memilih tinggal di homestay agar tak merepotkan keluarga. Mereka selalu siap siaga, jika kami datang. Menyediakan tempat dan makanan. Inilah keramahan yang kusuka saat mudik lebaran. Selalu bikin hati senang dan betah.

Lewat tengah malam, akhirnya kami bisa menganyam bulu mata. Tidur nyenyak di homestay Mawar 1.

 

2.    Silaturahmi

Keesokan harinya, kami memulai kegiatan silaturahmi. Kuawali dengan sahabat lamaku saat kuliah dulu, Teh Iis melalui telpon. Saat pagi masih di homestay, dering telpon berbunyi nyaring. Tadi malam, saat kami tiba di Cikaso, kami hanya bertemu dengan suaminya. Bersama suaminyalah kami tiba di homestay Mawar 1 untuk beristirahat.

Kerinduan pun pecah mendengar celoteh khasnya di telpon. Obrolan asyik pun mengalir deras. Membuat kami tertawa mengenang masa-masa kuliah dulu. Kami berjanji bertemu saat makan siang di Sawah Lope.

 “Sekitar jam 9-10 an ya,” ujarnya di telepon.

“Ok, siap 86,” jawabku sambil menutup telepon.

Sebelum berkeliling ke rumah saudara, kami mengisi amunisi dulu. Keterbatasan waktu libur adikku yang sangat pendek, membuat kami harus bergerak cepat.

Selesai makan, akhirnya, aku bisa bertatap muka dengan sahabat lamaku. Kami, Teh Iis dan Mas Maruf suaminya, bisa sejenak bercengkrama di saung Sawah Lope.

Setelah itu, kami kembali ke homestay untuk berkemas menuju Majalengka.

 Kami berjanji ke rumah Teh Iis dulu, sebelum sowan ke rumah-rumah saudara di Cikaso ini. Ah, tiba di rumahnya membuat kami tak ingin pulang. Halaman belakangnya, enak untuk kumpul-kumpul. Suasana yang asyik. Teduh dan adem. Asyik buat mancing juga nih, barbequan ikan segar dari kolam. Sayang, semua itu baru menjadi cita-cita. Semoga next time bisa punya waktu untuk bakar-bakar ikan di halaman belakangnya. Bisa reunian.

Selanjutnya, kami menemui para sesepuh, bibi dan ua. Keluarga adik iparku tampak terkejut dengan kedatangan kami.

“Ah, Aa mah teu ngasih kabar dulu atuh. Jadi Bibi gak masak. Kela atuhnya, kita makan dulu,” kata Bi Kuswati.

“Ih, ngahaja  supados Bibi teu repot. Hawatos. Atos calik weh didieu, urang ngobrol da Aa bade ka Bandung deui ayena.

“Eh, ari Aa naha meni enggal-enggalan atuh. Jam sabaraha dongkap kadieu, nginep di saha?” ujar ua Mamat.

“Ieu da Ema na kedah tos ngantor deui. Tadi wengi dugi tabuh setengah satu. Macet pisan. Aa nginep di homestay temenna Teh Yayu,” jawab adik iparku.

Obrolan akrab pun mengalir menyambungkan tali silaturahmi kembali. Beragam cerita dari beberapa rumah ua dan bibi menjadi sebuah catatan silaturahmi tahun ini. Binar mata bahagia  terukir indah. Tak terasa, tiba saatnya, kami harus melanjutkan perjalanan. Kali ini, ke rumah ua dari pihak mamahku di Majalengka.

 

3.     Wisata Tipis-tipis

Desa Cikaso, tempat mudik kami ternyata sekarang sudah mempunyai tempat wisata. Sawah Lope namanya. Temanku, Teh Iis dan suaminya dan juga para aparat desa mencoba untuk mengembangkan kampung ini. Surprise besar nih.

 Selain desa Cibuntu, desa Cikaso ini juga bisa jadi tujuan wisata keluarga di Kuningan. Kedua desa wisata ini memiliki keunikan yang berbeda. Pesona alam gunung Ceremai menjadi magnet wisata di Kuningan.

Bagaimana wisata di desa Cikaso? Nanti deh aku posting di tulisan terpisah, ya Sob.

 

4.     Menuju Majalengka

Setelah shalat jama Dhuhur dan Ashar di masjid At Takwa, kami kembali meluncur menuju Linggarjati. Sebuah jalan alternatif ke Majalengka. Dulu, kami bisa bersilaturahmi dengan keluarga Majalengka tanpa dihadang kemacetan.

Kami senang melewati jalanan ini karena pemandangan gunung yang hijau. Indah. Sejuk. Angin semilir menyegarkan otak. Aktifitas pertanian sudah mulai ada. Inilah hiburan mudik yang khas dari Tanah Priangan, tatar Sunda.


pemandangan indah
Pemandangan Indah Tatar Priangan

Setelah menempuh perjalanan panjang, kami harus putar balik. Kembali ke jalan utama. Jalan alternatif ditutup karena ada yang sedang hajatan.

“Ah, sejengkal lagi kami tiba di Majalengka,” batinku.

“Maaf, gak bisa lewat,” kata pak satpam.

Dengan masgul, kami berputar arah. Kali ini, pemandangan indah tak mampu meredakan rasa kecewa. Kami harus kembali berada di jalan utama Kuningan-Bandung. Kembali terjebak kemacetan. Masuk tol Kertajati dan tak bisa bersilaturahmi dengan ua di Majalengka.

“Duh, hapunten pisan, ua!” batinku.

Mobil terhuyung-huyung berada di jalan tol. Zig zag. Beberapa kali sempat keluar jalur. Suara klakson mobil lain dari belakang mencoba memulihkan kesadaran kami. Kondisi sudah membahayakan keselamatan pemudik. Waktu menunjukkan jam sebelas malam.

Akhirnya, karena kelelahan dan rasa kantuk yang tak bisa ditawar lagi, mobil pun memasuki rest area. Untuk pertama kalinya, kami tidur di rest area. Untuk pertama kalinya, aku paham fungsi utama rest area.

Selama beberapa kali mudik, rest area ini hanya sebuah pemandangan biasa yang kami lewati. Sesekali sempat singgah untuk makan atau kebelet pipis. Tak terbayangkan betapa  pentingnya rest area ini.

Setelah cukup istirahat dan tidur, sekitar pukul dua malam, kami melanjutkan perjalanan menuju Cimahi. Jalanan kembali lancar. Tanpa hambatan yang berarti, kami tiba di rumah menjelang subuh. Rasanya mudik kali ini seperti piknik ke Yogyakarta. Pergi petang, sampe subuh.

Setelah menurunkan barang bawaan dan oleh-oleh, adikku melanjutkan perjalanan menuju rumahnya.

Itulah cerita seruku saat mudik lebaran 2022. Apa keseruan mudik kalian? Share di komentar yuk! Aku tunggu cerita kalian yah

 

Sampai jumpa

Salam

     Kontak Person:


 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Featured Post

Festival Cireundeu Cimahi: Maknyus, Icip-Icip Nasi Goreng Rasi

  Halo sobat yayuarundina.com – Kali ini, kita jalan-jalan tipis di dalam kota Cimahi. Tanpa disengaja muncul informasi acara Festival Cire...