5/10/2022

Ramadhan Selalu Menghangatkan Hati dan Jiwa Kita

 

Halo Sobat yayuarundina.com, Ramadhan merupakan bulan yang selalu dinanti dan dirindukan kita semua. Tak jarang kita menangis saat Ramadhan ini pergi. Banyak kehangatan yang terjadi selama bulan suci ini. Ya, Ramadhan Selalu Menghangatkan Hati dan Jiwa Kita

shalat tarawih
Banyak kehangatan yang kita temukan di bulan suci Ramadhan

Siapakah yang Membutuhkan Kehangatan Hati dan Jiwa?

Pernahkah kalian merasa gamang, Sob? Merasa hampa, tak tentu rasa. Teu puguh rarasaan. Aku sering merasa seperti itu. Bete, ingin marah-marah, malahan juga ingin bahkan suka nangis. Masa puber?  Begitulah suatu masa dalam hidup kita. Perasaan seperti itu sering berulang, bahkan setelah kita dewasa dan juga mungkin nanti setelah tua.

Kondisi seperti itu mengingatkanku pada sebuah film Julia Robert: Love, Eat and Pray. Sebuah perjalanan untuk mencari ketentraman batin. Kalian pernah nonton film ini, Sob?  Entahlah, film ini sangat membekas benar dalam jiwa dan pikiranku hingga saat ini.

Dulu, aku sempat silau dengan kemajuan barat di berbagai bidang. Rasanya kehebatan mereka sangat mengkerdilkan negaraku. Betapa enaknya hidup di negara maju dengan segala kemudahan. Orang yang  tak punya rumah dan pekerjaan mendapat bantuan dari pemerintah. Begitulah rumor yang merajai pikiran dan hatiku. Saat itu, ingin rasanya aku hidup di negara maju. Sepertinya enak dan keren hidup di luar negeri.

Setelah menonton film Julia Robert tersebut, pandanganku berubah total 360 derajat. Kembali ke titik nadir.  Aku merasa bersyukur hidup di Indonesia. Mengapa? Dalam pikiranku, setelah menonton film tersebut, mereka memiliki kehampaan jiwa yang parah. Ada kekosongan batin dalam diri mereka. Oleh karena itulah, Julia Robert (Elizabeth Gilbert) melakukan perjalanan ke berbagai tempat untuk menemukan ketenangan, ketentraman dan kebahagian hidupnya. Mencarinya ke Napoli Italia, New York, Pataudi India dan Bali Indonesia.

Akhirnya, dia menemukannya di Bali. Menemukan kebahagiaan sejati setelah bertemu dengan seorang tokoh agama di Bali, Ketut Liyer. Liz Gilbert bisa merasakan kedamaian dan ketenangan hati setelah mendapatkan pencerahan agama Hindu dari Ketut Liyer. Bahkan akhirnya, setelah film ini berakhir, Julia Robert menganut agama Hindu. Inilah salah satu pesona spiritual yang muncul dalam film ini.

Berdasarkan VOA, karena film itu, Bali menjadi semakin terkenal di dunia internasional karena budayanya, orang-orangnya, penyembuhan spiritualnya, dan juga pesona alamnya. Wisata spiritual menjadi trend tersendiri bagi warga Amerika. Bali menjadi salah satu tujuannya.

Julia Robert, Elizabeth Gilbert dan kita semua , baik pria atau wanita, tua dan muda pastinya membutuhkan kehangatan hati dan jiwa. Kehangatan sejati yang membuat kita selalu bahagia dan optimis menjalani segala takdir hidup. Mampu mengarungi perjalanan hidup dengan senyuman.

Ramadhan Menghangatkan Hati dan Jiwa Kita

Pelajaran berharga dari film itu adalah kebahagiaan sejati ada pada agama. Percaya akan segala kebesaran Allah SWT (Tuhan Yang Maha Esa), pertolongan-Nya, Rahmat dan kasih sayang-Nya. Segala sesuatunya kembali kepada Allah SWT. Kembali kepada Sang Maha Pencipta. Semua masalah yang kita alami, hanya bisa dipasrahkan seikhlas-ikhlasnya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Inilah ketenangan hakiki bagi manusia.

Ramadhan menjadi bulan yang mendekatkan diri kita kepada agama yang sejati. Selama setahun perjalanan hidup kita, sibuk dengan urusan duniawi, Ramadhan menjadi bulan istimewa. Kita lebih total dekat dengan Allah SWT. Di bulan penuh berkah ini, kita lebih banyak beribadah daripada urusan dunia. Apapun kebaikan yang kita lakukan akan mendapatkan pahala berkali-kali lipat.

Selain shalat wajib lima kali sehari, kita tambahkan dengan berbagai macam shalat sunat, shalat Tarawih tentunya yang utama. Setelah shalat Isya, kita biasanya melakukan shalat tersebut lebih utama di masjid-mesjid.

Selain shalat, kita juga biasanya lebih memperbanyak baca Al Quran. Banyak orang yang menargetkan selama Ramadhan ini bisa khatam Al Quran. Tamat membaca 30 juz. Bahkan, bisa lebih dari satu kali. Sungguh suatu kenikmatan luar biasa, jika kita bisa melakukannya.

Kegiatan-kegiatan ibadah itu, tentu saja membawa kehangatan bagi hati dan jiwa kita. Hal ini semakin bertambah berkali-kali lipat, tatkala kita berbagi kebahagiaan dengan sesama. Bersedekah. Berbagi rejeki. Kebersamaan dengan keluarga juga menjadi poin penting. Kita bisa makan bersama saat sahur dan buka puasa. Bisa shalat berjamaah dan beragam kebersamaan lainnya. Sebuah hal langka yang mungkin sulit dilakukan di bulan-bulan lainnya.

Namun, hal tersebut tentu saja tidak mudah juga dilakukan. Banyak godaan yang merintangi. Malas, mengantuk, masuk angin, kelelahan, dan berbagai gangguan lainnya.

Antangin Menghangatkan Ramadhan Kita

Ramadhan sebagai bulan penuh ampunan pastinya menjadi sebuah tujuan kita selama menjalani puasa di bulan suci ini. Kita berharap semua dosa-dosa kita dicuci bersih, sehingga kita semua kembali fitri di akhir Ramadhan, saat Idul Fitri.

Oleh karena itulah, kita berlomba-lomba memperbaiki diri, memperbanyak ibadah, berlomba-lomba dalam kebaikan agar semua tujuan kita itu bisa diperoleh di akhir Ramadhan. Apalagi saat sepuluh malam terakhir, kita berusaha untuk mengejar dan mendapatkan Lailatul Qadar, malam seribu bulan.

Malas, kelelahan dan masuk angin biasanya menjadi penghalang kita menjadi pemenang di akhir Ramadhan. Belum lagi ditambah kerempongan mempersiapkan lebaran. Membuat aneka kue dan masakan untuk menyambut tamu, apalagi jika kita menjadi tuan rumah. Tak jarang kita pun tumbang di tengah jalan. Sakit saat harus menerima tamu dan bermaaf-maafan.

Agar hal tersebut tak terjadi atau berulang terjadi, kita butuh strategi khusus. Kita butuh menyiasati umur. Semakin bertambah umur, kekuatan kita semakin berkurang. Kita tak lagi bisa setangguh Xena. Kita tak lagi bisa menjadi pemborong semua pekerjaan. Butuh bantuan orang lain. Bagi-bagi tugas.

Dulu, saat mamah masih ada, kami biasanya berbagi tugas. Kita semua terjun untuk membuat aneka kue kering dan bolu seminggu atau dua minggu sebelum lebaran. Tiga atau dua hari sebelum lebaran kita berbelanja untuk masak-masak menu lebaran. Sehari sebelumnya, Aku dan Mamah mempersiapkan aneka bumbu hidangan lebaran. Tumis dan masak aneka masakan khas lebaran. Opor ayam, sambal goreng kentang, ace cabe hijau, acar dan kupat.

Saat itu, aku seringkali merasa bete dan frustasi dengan setumpuk pekerjaan tersebut. Belum lagi harus beres-beres rumah, cuci piring, menata meja dan lainnya. Semua harus dilakukan, tak bisa dihindari. Kita sering harus begadang saat malam lebaran.

Mamah seringkali menguatkanku. Namun, tak jarang pula, mamahku sakit. Masuk angin. Pusing dan mual. Antangin dan tidur menjadi andalan kami. Rasa hangat dari obat herbal ini menjalari tubuh kami. Meredakan masuk angin dan kelelahan. Seringkali, setelah meminum Antangin ini, kita bersendawa. Plong rasanya. Badan lebih enak terasa.

Antangin dan Ramadhan
Antangin, andalanku saat Ramadhan


Ramadhan tahun ini, cuaca menjadi kendala. Hujan terus-menerus seringkali membuat suhu ruang menjadi dingin. Aku yang punya alergi dingin sering batuk-batuk. Apalagi, hujan sering turun saat malam hari, bertepatan dengan pelaksanaan shalat Tarawih. Jadi, batal pergi ke masjid, takut kehujanan dan kebasahan. Ntar masuk angin deh. Shalat Tarawih di rumah juga jadi malas. Inginnya berselimut saja.

Kembali Antangin menjadi andalan kami saat cuaca seperti ini. Rasa hangatnya bisa meredakan dingin. Ya, Antangin jadi menghangatkan Ramadhanku tahun-tahun lalu, kini dan nanti. Semoga kita bisa bertemu kembali dengan Ramadhan tahun depan.

Selain itu, saat mudik atau bepergian, Antangin juga menjadi salah satu bekal wajib kami, selain minuman dan cemilan.  Jaga-jaga biar gak muntah atau mabok perjalanan. Aku biasanya minum Antangin sebelum atau saat perjalanan. Cukup satu bungkus saja. Kecuali  kalau badanku sedang tidak fit, bisa tiga kali sehari. Biasanya sih cepat pulih setelah itu. Menemukan Antangin di perjalanan, Alfamart dan Indomaret yang kami temui menjadi sebuah kebahagiaan tersendiri, apalagi saat bekal antangin habis.

Antangin habbatussauda
Antangin Habbatussauda untuk daya tahan tubuh


Opiniku Tentang Antangin, Obat Herbal

Nah Sob, kalian sudah tahu kan bahwa Antangin menjadi andalanku dalam berbagai kondisi. Dulu, kini dan nanti. Mengapa?

Aku suka sekali dengan rasa hangatnya. Kehangatan Antangin itu seperti kehangatan cinta sejati. True love. Rasa sakitku ibarat rindu yang terobati setelah bertemu dengan sang pujaan hati.

Antangin mampu menghilangkan gejala masuk angin seperti: rasa mual, pusing,  dan membuat badanku fit kembali. Terbayang dong tidak enaknya saat masuk angin. Bisa aduk lajer. Serba salah. Duduk gak enak. Tidur gak enak. Badan terasa gak karuan. Tersiksa bangets.

Aku juga suka dengan kandungan bahan alaminya. Jahe dan Habatussauda. Plus Royal Jelly dan ginseng. Sejak dulu, terutama saat kemping pramuka, jahe jadi andalan kita untuk mengusir dingin. Saat sore atau malam hari, paling enak kalau minum bandrek. Keluargaku juga begitu. Saat cuaca dingin, bandrek dengan bahan baku utama jahe ini jadi andalan. Bisa buat sendiri atau beli di mamang langganan yang selalu lewat depan rumah. Sering juga kukunyah jahe yang ada di masakan mamah. Enak tenan.

Nah, sekarang jadi nambah deh pasukan kehangatannya dengan Antangin JRG dan Antangin Habbatussauda. Apa manfaatnya? Dengan kandungan bahan utamanya, Antangin dapat menjaga daya tahan tubuh. Juga mampu mengobati dan mencegah masuk angin.

Menurutku sih Antangin ini cespleng bangets. Badan bisa lebih enak dan cepet  pulih lagi. Aku juga suka dengan rasanya yang hangat. Antangin bisa kuandalkan saat dalam perjalanan, terutama setiap Ramadhan dan lebaran ini. Tak khawatir dengan efek sampingnya, karena termasuk herbal alami. Aman, nyaman dan enak. Itulah Antangin JRG dan Habbatussauda.

Nah, sobat yayuarundina.com, untuk perjalanan kalian, masuk angin dan menjaga daya tahan tubuh, Antangin aza deh. Jangan lupa bawa Antangin JRG dan Antangin Habbatussauda ini di tasmu ya! Bersama Antangin, Ramadhan selalu menghangatkan jiwa dan hati kita.

 

Yuk, sampai jumpa lagi ya

Salam

 

 

 

 

Sumber artikel dan gambar:

https://www.voaindonesia.com/ Christine Hakim: Film Eat, Pray and Love  Perkenalkan Budaya Bangsa. https://quizizz.com/admin/quiz/605537d3927a4800209f636e/indahnya-sholat-tarawih-dan-tadarus-al-quran

 

 

 

5/06/2022

Cerita Seru Mudik Lebaran 2022: Berwisata dan Bersilaturahmi

 

Halo Sobat yayuarundina.com, adakah yang mudik lebaran kali ini? Bersyukur ya, kita bisa kembali menjalani tradisi tahunan mudik di 2022. Setelah pandemi Covid 19 yang melarang kita bepergian. Dua tahun berada di rumah. Rasanya was-was bangets saat ingin bertemu dengan keluarga besar, takut terkena Covid. Bahkan, justru takut jika kitalah yang menularkannya pada mereka, terutama pada sesepuh, orang tua kita. Alhamdulillah, tahun ini kita merasa lega bisa pulang kampung. Inilah kisahku: Cerita Seru Mudik Lebaran 2022: Berwisata dan Bersilaturahmi.


desa wisata cikaso kuningan jawa barat
Mudik dan Berwisata di Desa Cikaso Kuningan Jawa Barat


Diajak Adikku Mudik Ke Kuningan

Sungguh, aku  mendapatkan kejutan besar di akhir Ramadhan kemarin. Tiba-tiba saja, adikku mengajak kami mudik lebaran ke kampung halaman suaminya di Cikaso Kuningan. Sebelum pandemi, mereka memang sering pergi ke kuningan untuk bersilaturahmi. Mengunjungi adik atau kakak mertuanya. Ibu mertua selalu ingin ke kuningan saat lebaran, bisa pas Idul Fitri atau lebaran Haji.

Aku dan adikku yang lain memang pernah beberapa kali ikut mudik ke Kuningan ini. Sungguh, ini adalah sebuah kebahagiaan sejati bagi kami. Bertemu dengan sanak-saudara. Bagiku, mudik ke kuningan berarti jalan-jalan. Horeee, me time menikmati suasana lebaran di jalan dan kampung halaman. Favorit bangets daripada diam di rumah terus.

Pada hari kedua lebaran, Selasa, 3 Mei 2022, kami pun dijemput adikku sekitar pukul 10 atau 11 siang. Sebelumnya, adikku mengantarkan anak sulungnya yang harus berangkat ke Bintan untuk kembali bekerja. Tak berapa lama, kami kembali menyusuri jalanan menuju kuningan.

Kejutan kedua, Ibu mertua yang biasa semangat mudik, kali ini absen. Faktor usia membuat hasratnya turun. Jadilah, kami, yang muda-muda punya kewajiban untuk menyambung silaturahmi. Mobil pun meluncur ke area jalan tol.

Tak disangka, lebaran kedua ini jalan tol masih sangat ramai. Kemacetan sudah terjadi dalam perjalanan ke Cileunyi. Padahal, tahun-tahun sebelum pandemi, jalanan tidak seramai ini saat lebaran kedua atau ketiga. Orang-orang biasanya mudik terakhir pada lebaran pertama.

Akhirnya, kami memutuskan boci atau bobo siang dulu di rumah. Sore nanti, barulah melanjutkan perjalanan kembali menuju Kuningan. Apalagi, saat membuka aplikasi, kemacetan parah terjadi di mana-mana. Butuh tenaga ekstra untuk melakukan perjalanan. Apalagi, tidak ada Si Sulung yang bisa menjadi supir cadangan. Oke deh.

Menikmati Perjalanan Mudik

Sore hari, selepas Ashar, kami pun kembali memulai perjalanan. Optimis sampai di Kuningan sekitar pukul delapan atau sembilan malam. Dengan riang, kami memasuki jalan tol baru Cisumdawu. Tak ada kepadatan lalu lintas. Kami bisa bahagia menikmati perjalanan hingga pintu keluar tol di Sumedang. Kami berencana makan malam dulu di kota tahu ini.

Tak disangka, ternyata kami disergap kemacetan, apalagi saat menuju Cadas Pangeran. Kemacetan pun mengular. Mobil merayap pelan menuju kota Sumedang. Keseruan pun dimulai. Kami harus melawan kemacetan. Saat sampai di patung kuda, kami pun harus belok. Tak bisa lewat di dalam kota Sumedang. Rencana makan malam jadi amblas.

 Duh, Si Komo nih, “Mengapa tak buat jalanan super lancar menuju Kuningan. Biar kami bisa segera bertemu saudara-saudara di sana.”

Ada kalanya, kami menjadi penguasa jalanan. Tak ada mobil lain, baik di depan atau di belakang. “Ah, entah berlarian kemanakah mobil-mobil yang sempat mengular tadi. Kami hanya sendirian di jalanan. Sebuah motor dengan salah satu penumpangnya, bayi melintas di depan kami. Duh, tak terbayang, sang bayi mungil itu melintasi jalanan gelap. Pastinya masuk angin deh.”

Inilah salah satu seninya mudik. Tak semua orang memiliki kendaraan pribadi. Demi bersilaturahmi dengan saudara di kampung, motor, mobil bak terbuka, bis, kereta api dan jenis transportasi lainnya menjadi andalan para pemudik untuk sampai di kampung halaman. Seru deh pokoknya.

Salah satu penyebab kemacetan mudik kali ini adalah longsor yang sudah terjadi sebelumnya. Mungkin sekitar satu atau dua mingguan. Entah di ruas jalan mana, berlaku buka tutup. Saat melewati tempat itu dalam gelap malam. Kulihat longsoran parah terjadi. “Wah, ini sih bisa sekampung,” ujarku saat melihat longsoran yang cukup luas. Semoga tidak ada korban.

Lalu, perburuan makan malam pun dimulai kembali. Ternyata, jalan pintas dari patung kuda tadi berujung di dekat kantor pemda Sumedang. “Ada sebuah restoran dekat dinas kesehatan,” kata adikku. Meluncurlah mobil ke sana. Nyanyian di perut pun mereda setelah mendengar kata restoran. Sayang, kami belum bisa kenyang. Restoran yang dituju itu ternyata tutup. Bangkrut atau ikut mudik, ya?

Perjalanan mudik pun berlanjut. Salah satu tujuannya adalah mencari tempat untuk makan malam. Baso cuanki yang sempat mengganjal perut tadi siang sudah mulai menipis. Namun, hingga memasuki jalan tol Kertajati, tak ada satupun tempat makan. Wadidaw. Kembali kami menghadapi kemacetan untuk beberapa lama. Namun, setelah melewati rest area, kemacetan mulai berkurang. Mobil bisa melaju walau banyak kendaraan.

“Yu, dah sampai mana?” tanya temanku melalui aplikasi Whatsapp.

“Baru masuk tol Kertajati. Macet,” jawabku sambil mengirim gambar.

“Oh, ok! Nanti telpon saja, kalau dah sampai di masjid! Aku antar ke homestay,” balasnya.

Sepertinya jadwal kami meleset jauh. Tadi sore, aku mengabarkan akan tiba sekitar pukul sembilan malam. Namun, kemacetan membuat kami harus bersabar untuk sampai di homestay temanku ini. Setengah jam sebelum waktu yang kujanjikan, aku sempat berkirim kabar. Namun, hingga pukul 23.00 kami masih berada di jalan. Jauh dari tempat tujuan. Perburuan makan malam masih berlanjut.

“Kita makan tahu sumedang saja di sini?” tanya adik iparku saat melihat benderangnya lampu di pinggir jalan. Mobil pun melambat. Ada keramaian di sana.

“Tak ada nasi, ah!” jawab adikku.

Mobil pun kembali melaju hingga sampai di sebuah tempat makan sate. “Ah, akhirnya waktu makan pun tiba.” Ramai kendaraan yang parkir. Lebih ramai suara di dalam perut kami. Rombongan kecil pun memasuki tempat makan itu. Semua meja terisi penuh. Kami berkeliling di dalam ruangan. Ruang bawah pun penuh. Aku kembali ke depan. Adik iparku memesan sate untuk dimakan di mobil.

“Mo makan apa Teh?” tanya seorang gadis.

“Bingung nih, duduknya di mana,” balasku sambil celingukan mencari tempat makan.

“Teh, boleh numpang makan di sini,” tanyaku saat melihat sebuah meja kosong di warung.

“Boleh. Tapi pesan makanannya dulu,” balas penjaga warung di dekat tempat makan sate.

“Ya, lagi pesan sate,” balasku.

“Oh, mangga,” jawabnya sambil mengangguk.

Akhirnya, kami mendapatkan meja untuk makan. Alhamdulillah, ada tempat kosong walau bukan di dalam warung sate. Cukup untuk kami berenam. Adikku yang laki-laki membawa sebuah kursi tambahan dari luar. Adikku yang perempuan mengabarkan tempat ini pada suaminya.

Kulihat sebuah pintu masuk di pinggir warung yang menghubungkan dua area ini. Warung ini mendapatkan keberkahan juga dari keramaian warung sate. Beberapa pengunjung tampak membeli sesuatu. Aku yang melihat kerupuk berbumbu langsung menyambarnya. “Masih rangu,” ujarku dalam hati sambil sedikit memijit kerupuk. “Mungkinkah kerupuk ini dari Cililin Bandung? Mirip,” batinku. Seorang laki-laki muda memesan mie. Dia berjalan ke luar.

Di pinggir tempat parkir, ternyata ada meja dan kursi berjejer. Tak banyak. Namun, cukup untuk pemuda tadi dan temannya. Juga beberapa ibu yang sedang menunggu.

Akhirnya, menjelang tengah malam, perut kami terisi nasi, beberapa tusuk sate, dan hangatnya sop iga. Alhamdulillah. Sungguh, waktu makan yang tak biasa. Setelah perut terisi, transaksi selesai, mobil pun kembali berpacu di jalanan yang gelap menuju homestay.

Beberapa Kegiatan Mudik di Kuningan

1.     Tinggal di Homestay Desa Wisata Cikaso Kuningan

Dengan Google Map yang dikirim temanku, akhirnya kami bisa menemukan homestay itu. Ternyata, homestay ini ada di lembur kuring, kampung halaman sendiri. Adik iparku langsung mengenalinya saat aku mengatakan desa wisata Cikaso kuningan tadi sore.

Adik iparku mengenal Sawah Lope saat mengantarkan jenasah ua-nya menuju tempat peristirahatan terakhirnya.

Kami sengaja memilih tinggal di homestay agar tak merepotkan keluarga. Mereka selalu siap siaga, jika kami datang. Menyediakan tempat dan makanan. Inilah keramahan yang kusuka saat mudik lebaran. Selalu bikin hati senang dan betah.

Lewat tengah malam, akhirnya kami bisa menganyam bulu mata. Tidur nyenyak di homestay Mawar 1.

 

2.    Silaturahmi

Keesokan harinya, kami memulai kegiatan silaturahmi. Kuawali dengan sahabat lamaku saat kuliah dulu, Teh Iis melalui telpon. Saat pagi masih di homestay, dering telpon berbunyi nyaring. Tadi malam, saat kami tiba di Cikaso, kami hanya bertemu dengan suaminya. Bersama suaminyalah kami tiba di homestay Mawar 1 untuk beristirahat.

Kerinduan pun pecah mendengar celoteh khasnya di telpon. Obrolan asyik pun mengalir deras. Membuat kami tertawa mengenang masa-masa kuliah dulu. Kami berjanji bertemu saat makan siang di Sawah Lope.

 “Sekitar jam 9-10 an ya,” ujarnya di telepon.

“Ok, siap 86,” jawabku sambil menutup telepon.

Sebelum berkeliling ke rumah saudara, kami mengisi amunisi dulu. Keterbatasan waktu libur adikku yang sangat pendek, membuat kami harus bergerak cepat.

Selesai makan, akhirnya, aku bisa bertatap muka dengan sahabat lamaku. Kami, Teh Iis dan Mas Maruf suaminya, bisa sejenak bercengkrama di saung Sawah Lope.

Setelah itu, kami kembali ke homestay untuk berkemas menuju Majalengka.

 Kami berjanji ke rumah Teh Iis dulu, sebelum sowan ke rumah-rumah saudara di Cikaso ini. Ah, tiba di rumahnya membuat kami tak ingin pulang. Halaman belakangnya, enak untuk kumpul-kumpul. Suasana yang asyik. Teduh dan adem. Asyik buat mancing juga nih, barbequan ikan segar dari kolam. Sayang, semua itu baru menjadi cita-cita. Semoga next time bisa punya waktu untuk bakar-bakar ikan di halaman belakangnya. Bisa reunian.

Selanjutnya, kami menemui para sesepuh, bibi dan ua. Keluarga adik iparku tampak terkejut dengan kedatangan kami.

“Ah, Aa mah teu ngasih kabar dulu atuh. Jadi Bibi gak masak. Kela atuhnya, kita makan dulu,” kata Bi Kuswati.

“Ih, ngahaja  supados Bibi teu repot. Hawatos. Atos calik weh didieu, urang ngobrol da Aa bade ka Bandung deui ayena.

“Eh, ari Aa naha meni enggal-enggalan atuh. Jam sabaraha dongkap kadieu, nginep di saha?” ujar ua Mamat.

“Ieu da Ema na kedah tos ngantor deui. Tadi wengi dugi tabuh setengah satu. Macet pisan. Aa nginep di homestay temenna Teh Yayu,” jawab adik iparku.

Obrolan akrab pun mengalir menyambungkan tali silaturahmi kembali. Beragam cerita dari beberapa rumah ua dan bibi menjadi sebuah catatan silaturahmi tahun ini. Binar mata bahagia  terukir indah. Tak terasa, tiba saatnya, kami harus melanjutkan perjalanan. Kali ini, ke rumah ua dari pihak mamahku di Majalengka.

 

3.     Wisata Tipis-tipis

Desa Cikaso, tempat mudik kami ternyata sekarang sudah mempunyai tempat wisata. Sawah Lope namanya. Temanku, Teh Iis dan suaminya dan juga para aparat desa mencoba untuk mengembangkan kampung ini. Surprise besar nih.

 Selain desa Cibuntu, desa Cikaso ini juga bisa jadi tujuan wisata keluarga di Kuningan. Kedua desa wisata ini memiliki keunikan yang berbeda. Pesona alam gunung Ceremai menjadi magnet wisata di Kuningan.

Bagaimana wisata di desa Cikaso? Nanti deh aku posting di tulisan terpisah, ya Sob.

 

4.     Menuju Majalengka

Setelah shalat jama Dhuhur dan Ashar di masjid At Takwa, kami kembali meluncur menuju Linggarjati. Sebuah jalan alternatif ke Majalengka. Dulu, kami bisa bersilaturahmi dengan keluarga Majalengka tanpa dihadang kemacetan.

Kami senang melewati jalanan ini karena pemandangan gunung yang hijau. Indah. Sejuk. Angin semilir menyegarkan otak. Aktifitas pertanian sudah mulai ada. Inilah hiburan mudik yang khas dari Tanah Priangan, tatar Sunda.


pemandangan indah
Pemandangan Indah Tatar Priangan

Setelah menempuh perjalanan panjang, kami harus putar balik. Kembali ke jalan utama. Jalan alternatif ditutup karena ada yang sedang hajatan.

“Ah, sejengkal lagi kami tiba di Majalengka,” batinku.

“Maaf, gak bisa lewat,” kata pak satpam.

Dengan masgul, kami berputar arah. Kali ini, pemandangan indah tak mampu meredakan rasa kecewa. Kami harus kembali berada di jalan utama Kuningan-Bandung. Kembali terjebak kemacetan. Masuk tol Kertajati dan tak bisa bersilaturahmi dengan ua di Majalengka.

“Duh, hapunten pisan, ua!” batinku.

Mobil terhuyung-huyung berada di jalan tol. Zig zag. Beberapa kali sempat keluar jalur. Suara klakson mobil lain dari belakang mencoba memulihkan kesadaran kami. Kondisi sudah membahayakan keselamatan pemudik. Waktu menunjukkan jam sebelas malam.

Akhirnya, karena kelelahan dan rasa kantuk yang tak bisa ditawar lagi, mobil pun memasuki rest area. Untuk pertama kalinya, kami tidur di rest area. Untuk pertama kalinya, aku paham fungsi utama rest area.

Selama beberapa kali mudik, rest area ini hanya sebuah pemandangan biasa yang kami lewati. Sesekali sempat singgah untuk makan atau kebelet pipis. Tak terbayangkan betapa  pentingnya rest area ini.

Setelah cukup istirahat dan tidur, sekitar pukul dua malam, kami melanjutkan perjalanan menuju Cimahi. Jalanan kembali lancar. Tanpa hambatan yang berarti, kami tiba di rumah menjelang subuh. Rasanya mudik kali ini seperti piknik ke Yogyakarta. Pergi petang, sampe subuh.

Setelah menurunkan barang bawaan dan oleh-oleh, adikku melanjutkan perjalanan menuju rumahnya.

Itulah cerita seruku saat mudik lebaran 2022. Apa keseruan mudik kalian? Share di komentar yuk! Aku tunggu cerita kalian yah

 

Sampai jumpa

Salam

     Kontak Person:


 

 

 

Featured Post

Festival Cireundeu Cimahi: Maknyus, Icip-Icip Nasi Goreng Rasi

  Halo sobat yayuarundina.com – Kali ini, kita jalan-jalan tipis di dalam kota Cimahi. Tanpa disengaja muncul informasi acara Festival Cire...