View Gunung Guntur Sumber garutnews.com |
Halo Sobat yayuarundina.com, kalian percaya gak bahwa dari ngakak baca tulisan orang, bisa jadi ide
tulisan? Ini benar-benar terjadi, Sob.
Baru saja. Aku menghabiskan senjaku dengan blogwalking ke blognya KangStefanoRomano.
Jadilah postingan terbaruku Memori Masa Kecil:
Hidup di Kampung.
Baca Juga: https://soccamacha.blogspot.com/2020/06/karawang-my-indonesia-photo-series-3.html
Kampungku Indonesia
Inilah judul buku yang ditulis oleh
Stefano Romano, fotografer asli dari negeri pizza. Terbitan Mizan. Ada yang sudah membacanya?
Kampung dalam memori saya, sama
persis dengan hasil jepretan Stefano di blognya. Kampung adalah tempat keluarga
besar saya berkumpul setiap lebaran.
Pulang kampung berarti menikmati
suasana yang berbeda dengan di kota. Menikmati kehidupan sederhana. Back to Nature. Kembali beradaptasi
dengan alam.
Hidung menghitam setiap pagi karena
lampu cempor yang digunakan untuk penerangan di malam hari.
Udara pagi yang segar setiap bangun
pagi. Juga keindahan alam pesawahan di bawah kaki gunung Guntur. Rona mentari
yang tersipu malu mewarnai suasana.
Suara riuh di hawu untuk menjamu orang kota. Makanan-makanan sederhana nan lezat
menjadi santapan kami selama di desa. Tumis Picung menjadi makanan kesukaanku.
Gak ada yang bisa masak seenak bibi atau uyut.
Yang kusuka dari hawu adalah
kehangatan pagi hari untuk mengusir badan menggigil. Sideang sambil ngabubuy sampeu.
Hawu Sumber Budaya indonesia.org |
Begitulah perputaran waktu berjalan dalam
kehangatan keluarga dan keramahan orang kampung.
Kampung Membuatku Menangis
Hidup tak selamanya indah, setuju kan Sob? Ada beberapa hal yang
membuatku menangis dan ingin segera pulang ke kota. Pengalaman Sang Fotografer
saat salah duga adalah salah satunya.
Tak ada toilet bersih di dalam rumah.
Kita harus berjalan agak jauh dari rumah untuk ke kamar mandi. Kamar mandi
sederhana. Ditutupi beberapa helai karung goni. Hanya setengah badan. Tanpa
pintu permanen. Kadang berupa papan atau karung goni lagi. Parahnya lagi, hanya
menggunakan beberapa bilah papan atau gelondongan awi. Jelas membuatku sangat takut
jatuh ke air.
Sanitasi lingkungan yang kurang baik juga selalu jadi masalah. Kandang kambing,
ayam dan rumah yang berdekatan jaraknya selalu menjadi masalah utama. Kalian
bisa membayangkannya sendiri kan, Sob?
Kemiskinan juga membuatku menangis.
Orang kampung sering mengeluh tak punya uang. Hasil pertanian atau kebun tak
seindah yang diharapkan.
Salah satu faktor penyebabnya adalah
akses jalan masuk yang sulit. Tak jarang ketika menuju kampung, kita akan
menemukan jalanan berliku. Menanjak. Berlumpur. Tak ada kendaraan, kecuali
ojek. Atau hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki berpuluh-puluh kilometer.
Apakah ini yang menyebabkan kampung semakin
banyak hilang digerus zaman?
Apakah keindahan selalu tidak pernah
didapatkan dengan mudah?
Jalan-jalan di Sawah
Lupakan kesedihan, mari kita
bersenang-senang di kampung. Apakah bisa? Pasti bisa dong. Apalagi sekarang,
orang sudah mulai membangun kawasan wisata di berbagai kampung. Desa CikasoKuningan, misalnya.
Suasana kampung yang menyenangkan
seperti yang ada di memori saya, bisa jadi juga menjadi kenangan banyak orang.
Oleh karena itu, orang berusaha menata kampung menjadi lebih baik.
Lebih menyenangkan sebagai tempat
refreshing. Tempat melepaskan segala kepenatan dan rutinitas pekerjaan. Tempat
untuk menikmati makanan-makanan sederhana, enak dan bergizi. Ingin ayam goreng kampung
dengan sambal yang lekoh? Beuh.
Tempat yang menyenangkan untuk
bermain di sawah kembali. Ada yang mau ikut?
Baca Juga: https://www.yayuarundina.com/2021/07/tips-jalan-jalan-dari-dedi-kartaji-ceo.html
Jalan-jalan di sawah adalah salah
satu ciri khas kita berada di kampung. Dulu, hampir setiap pagi, kami
beramai-ramai menyusuri sawah yang luas. Menikmati pemandangan alam. Hamparan
sawah hijau bak permadani.
Menanti hasil panen yang melimpah.
Kadang terbirit-birit, lari ketakutan karena ada ular sawah.
Sobat yayuarundina, kalian akan beruntung jika padi
sudah berbuah. Dulu, ketika teman kuliah menikah di kampung halamannya, saya
mengajak orang Malaysia menyusuri sawah. Reaksinya? Bahagia sekali.
“Tak ada sawah seperti ini di
Malaysia,” ujarnya.
Tangannya penasaran menyentuh padi
dan daunnya seperti seorang pianis. Tiing…
Srrrr….
“Coba deh ambil beberapa bulir
padinya,” ujarku.
Dia terlihat ragu. Akupun mengambil
sekitar lima bulir padi untuk kucicipi berdua. Aku menggigit bulir padiku. Dia
meniruku.
“Hmmm…, manis. Enak,” ujarnya sambil
melompat kegirangan.
Dia ketagihan. Spontan tangannya
meraup lagi bulir padi yang mengingatkanku pada sebuah peribahasa. ”Seperti ilmu padi, makin berisi, semakin
merunduk.”
Kenangan pelajaran Bahasa Indonesia di
SD yang masih melekat sampai sekarang.
“Hati-hati, jangan terlalu banyak.
Nanti, bibirmu gatal,” kataku mengingatkannya.
Botram, Ngurek dan Ngala Tutut
Itulah salah satu keasyikan bermain
di sawah. Setelah lelah berjalan di pematang sawah, kami duduk di saung. Murak
timbel. Makan siang ala kampung. Nasi pulen, ayam goreng, lalab, sambal dan
tahu goreng. Nikmatnya luar biasa hasil masakan di hawu ini.
Selain itu, ketika di sawah, kami
biasanya juga ngurek belut. Menangkap
belut. Selama berjalan di pematang, kami akan mencari lubang yang
tersembunyi di antara tanaman padi. Pamanku yang sangat ahli membedakan lubang
belut dan ular. Beliau juga yang biasanya ngurek. Menyiapkan tali yang sudah
diberi umpan. Memasukannya dengan hati-hati ke lubang. Tunggu beberapa saat.
Hap. Seekor belut besar atau kecil
siap kami bawa pulang. Kami pulang dengan riang gembira, bila bisa membawa
banyak belut. Mamaku yang jago mengolah binatang super licin ini menjadi goreng
belut yang super enak.
Selain belut, kami juga biasanya
ngala tutut. Tutut adalah sejenis keong yang ukurannya lebih kecil. Biasanya dianggap
hama padi. Konon mengandung gizi yang sangat baik untuk anak-anak. Sumber
protein yang murah- meriah kala itu.
Jika akan ngala tutut, sepupuku
biasanya akan membawa gantar dengan bagian ujung yang sudah diikatkan sendok.
Aku atau sepupu yang lain wajib membawa ember kecil. Tutut yang berserakan di
sawah akan diambil dengan sendok. Lalu, dimasukkan ke ember.
Beberapa petak sawah kami telusuri
agar bisa mendapatkan banyak tutut. Kalau sudah banyak, kembali mamaku yang
jago mengolahnya jadi santapan lezat.
Sore hari atau keesokan harinya, para
bocah akan berkumpul di teras Enin, untuk menikmati olahan tutut rame-rame.
Siapkan tusuk gigi, say! Tutut dalam baskom segera diserbu para bocah dengan
riang gembira. Kecrok. Kecrok. Suara khas makan tutut. Ada yang mau?
Nah Sob, seperti itulah pengalamanku hidup di kampung untuk beberapa
saat. Momen indah yang tak terlupakan. Memori masa kecil: hidup di kampung yang
masih terekam dengan baik.
Yuk
ah, jalan-jalan lagi!
Jom!
Andiamo!
Salam
sehat
Sampai
jumpa di postingan berikutnya.
Kosa Kata Bahasa Sunda:
1. Hawu = Kompor sederhana dari susunan
bata merah. Kalau ingin permanen disemen. Kayu bakar menjadi sumber apinya.
2. Sideang = duduk dekat hawu agar
hangat
3. Ngabubuy sampeu = cara masak singkong
dengan memasukkannya ke dalam abu panas.
4. Murak timbel = membuka timbel
5. Ngurek belut = menangkap/ mancing belut di sawah dengan menggunakan tali
6. Ngala tutut = menangkap tutut
Sumber gambar
http://garutnews.com/pesona-gunung-guntur-garut-jawa-barat/gunung-guntur-10
https://id.pinterest.com/pin/74239093843317926/
https://budaya-indonesia.org/Hawu-Kompor-Tradisional-Sunda
Super...
BalasHapusHehehe... Makasih
HapusGening urang Garut teh hehe
BalasHapusAsgarnya Kang 😄 Mamah yang asli Garut
HapusKeren yayuuu👍👏
BalasHapusMakasih Ina. Inget nginep di rumah Uwie ya. Bangun tidur rebutan kursi strategis untuk lihat view gunung 😄
HapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus