Kau
telah mengubahku. Sangat drastis.
Tak
percaya, langkah kaki kembali menggerakkanku ke tempat ini. Kedai kopi favorit
kita. Aku kembali duduk di sudut kedai. Tak ada kamu di sini. Aku hanya
memandangi halaman kedai yang cukup luas dan jalan kecil di tengah kota.
Sesekali beberapa mobil dan motor melintas. Hujan cukup deras mengguyur
Bandung. Entahlah, apa yang ditangisi oleh alam sore ini. Apakah hujan dan alam
bisa membaca kesedihanku ?
Keriuhan tiba-tiba mengusik
lamunanku. Di belakangku, banyak orang berkerumun. Mereka mengelilingi sebuah
meja. Seperti meja pesulap dengan peralatan perangnya. Tepuk tangan bergemuruh
diiringi suitan dan tawa kekaguman. Aku mendekat. Penasaran. Seorang bartender
sedang beraksi. Lelaki berkaos Giordano. Dialah juara peracik kopi. Badannya
mungil. Berkumis. Tangannya dengan lincah mempermainkan peralatan perangnya
demi secangkir kopi juara yang telah ditunggu para pelanggan. Kulihat sebuah V
60 menjadi media aksinya. Para penonton merasa penasaran dengan kopi yang bakal
lahir nanti. Beberapa orang bahkan dengan antusias bertanya tentang ini dan
itu, seputar kopi dan pengalamannya mengikuti lomba. Kaos Giordano yang
dikenakannya semakin membius para penonton. Mengeluarkan aura ketampanan bak
Reza Rahadian. Seri terbaru dari Giordano semakin menobatkan dirinya sebagai
raja kopi di kedai ini. Keseruan terus berlanjut. Sejenak aku bisa melupakanmu.
Tiba-tiba, sang bartender memberikan
hasil racikan kopinya padaku. Diiringi kekecewaan penonton yang telah menanti
kopi itu. Deg. Aku gelagapan menerimanya. Jantungku berdebur kencang laksana
ombak di musim badai. Sesaat aku terpana. “Terima kasih,” kataku kemudian
sambil berjalan kembali ke mejaku. Hujan di luar semakin deras. Halaman kedai
terlihat berkabut suram. Kegersangannya disiram habis-habisan.
Aku terpana menatap secangkir kopi
murni. Asap tipis tampak mengepul panjang. Tiba-tiba, wajahmu ada di sana.
Hatiku berdenyut sakit. Seolah ada yang menohok ulu hatiku. Kemarahanku yang
memuncak saat itu berkelebat lagi.
“Kamu jahaaaat !”
“Kamu jahat !”
“Kamu jahat !”
Teriakanku
menandingi deburan ombak. Ombak-ombak tinggi yang memecah karang. Ingin aku
menggulungmu dengan ombak itu dan menghancurkan tubuhmu di batu karang.
Alunan
musik di kedai itu semakin menggundahkan rasa. Marah. Benci. Rindu. Syair dan
nadanya adalah irama hatiku.
Tiap
aku mendengar suara kamu, rasanya mau bilang iya
Maafkan
kamu, Terima kamu kembali
Aku
tahu kamu sangat menyesal
Akupun
juga tak sempurna
Cerita
kita tiada yang bisa gantikan
Namun
ada satu yang terjadi, hatiku cinta kamu tapi tak bisa mau kembali lagi. Ulang
semua
Aku
tak mau lukai kamu
Tubuhku
butuh kamu tapi tak bisa rasa seperti dulu
Rusak
sudah aku
Kalau kuingat-ingat lagi, sayang
Hatiku berhenti di kamu
Aku yang dulu rusak sudah aku
(
Berhenti di Kamu, Anji )
*****
“Kita memang pasangan ideal,” bisikmu
saat itu.
Aku hanya tersenyum menanggapinya.
Seperti biasa.
Kita menelusuri kota Bandung sampai pegal kaki. Entah apa yang kita
cari. Setiap jalan dan sudut kota tak ada yang terlewatkan. Kita berjalan hanya
berdua saja. Tertawa bersama. Selalu demikian. Keluar masuk toko, tanpa tujuan
pasti. Kalaupun membeli sesuatu pasti seragam. Entahlah. Selalu demikian.
Terkadang hanya beda warna. Ada kebanggaan tersendiri, jika kita memakai barang
yang sama, pada saat yang bersamaan. Kita hanya cekikikan senang sambil
mengenang perjalanan-perjalanan itu. Tak kita pedulikan ejekan teman. Tak kita pedulikan
tertawaan orang lain. Tak kita pedulikan komentar mereka. Satu kesenangan kita
: hanya peduli pada benda sama yang kita pakai.
“Benarkah kita pasangan ideal ?”
“Kamu yang salah !” ujarmu suatu pagi.
“Enak saja. Caramu tuh yang tidak up-to-date,”
bantahku.
Seringkali juga kita berdebat.
Seringkali kita melihat banyak masalah dari sudut pandang yang berbeda. Dan
kita tak ada yang mau mengalah. Diam. Lalu, berbaikan lagi. Tertawa bersama
lagi. Seperti anak kecil.
“Ah, kau !”
“Aku merindukannya !”
“Entah zaman mana, hal itu bisa terjadi
lagi.”
Waktu
telah lama merenggangkan kita. Kesibukan telah jauh memisahkan kita. Namun, aku
selalu merindukanmu. Selalu menanti candaanmu. Kopi inilah pengganti dirimu
kini.
Masihkah kita menjadi pasangan ideal ?
Kini, aku duduk
sendirian di sebuah meja tempat kita melepas lelah. Mengenyangkan perut. Melonggarkan
penat dan pegal. Menatap secangkir kopi. Menghirupnya perlahan.
“Menak, kopi ini tetap terasa pahit
kini. Malah semakin pahit. Rasa Caramel yang kusuka itu ikut lenyap bersama
menghilangnya dirimu.”
Ada
rasa perih yang kembali melukaiku. Kopi ini seperti dua sisi mata uang. Bahagia
dan pilu. Hanya kopi ini satu-satunya yang berhasil mempengaruhimu. Selain itu,
aku tak pernah bisa melakukannya. Kopi ini yang telah berhasil menggeser teh
pada setiap pagimu.
“Gara-gara kamu, aku jadi ketagihan
kopi,” gerutumu suatu siang sambil memasukkan sepak besar kopi pilihanku pada
kantong belanjamu.
“Yes !” ujarku bersorak
girang.
Keras kepalamu ternyata mampu
ditaklukkan sebungkus kopi. Aku tersenyum sendiri mengenang kembali momen
langka itu.
“Nih, bawa kopinya.
Enak, lho !” ujarku dengan ekspresi bak Claudya Cinthia Bela di Korea.
“Hei. Aku nggak suka
kopi, tahu !” jawabmu ketus sambil mengambil sebungkus kopi itu dengan ragu.
“Aku selalu minum teh. Teh hangat. Teh
manis. Atau teh lemon,” jawabmu lagi sambil menatap bungkus kopi itu.
Sejak belanja terakhir
itu, kau tiba-tiba menghilang secara misterius. Sampai detik ini tanpa kabar.
Rinduku semakin menggunung. Berharap kau ada di hadapanku.
“Hmmm… asap yang
mengepul dari secangkir kopi ini seakan aroma wangi tubuhmu.”
“Kopi hitam ini selalu
membuatmu lebih macho dan perkasa. Mendadak rasa percaya dirimu bangkit seribu persen!”
“Sejak kau ikut meneguk
kopi ini, kita semakin dekat. Kau selalu menjadi pelindungku. Tak ada lagi
kekhawatiran seperti sebelum-sebelumnya. Perdebatan kita seolah berakhir.”
Aku menyesapnya perlahan. Menikmati rasa
terdalam dari aroma kopi ini. Pikiranku tetap padamu. Wangi rambutmu yang baru
keramas.
Tusukkan sakit itu kembali menusuk dadaku.
Sesak. Aku menarik nafas perlahan. Menatap lalu lalang kendaraan yang padat
merayap dari jendela. Beberapa mobil dan motor memasuki halaman kedai. Bosan
dengan kemacetan atau menghindari guyuran air hujan yang telah dicurahkan
langit.
“Ah, sial. Kopinya habis !”
Aku mengepalkan tangan
sambil menatap cangkir kosong itu. Geramku memuncak. Ingin rasanya kubanting
cangkir itu sehancur-hancurnya. Teriak sekeras-kerasnya. Memaki-maki sepuasku.
Untung otakku masih waras. Ini tempat umum. Perlahan kubersandar pada sofa
sambil mataku tak lepas dari cangkir kosong itu. Kembali mengatur nafas
perlahan. Masgul. Kecewa. Rindu. Marah. Bercampur dalam secangkir kopi terpahit
dalam hidupku.
“Ini, kopi baru untuk,
Mbak !” ujar seorang pelayan tiba-tiba.
“Dari siapa ?” tanyaku heran sekaligus
kaget.
“Dariku,” jawab seseorang dari belakang.
Aku mengenal suaranya.
Belum sempat kumenoleh. Dia telah
berdiri dihadapanku. Lalu, duduk di depanku.
“Secangkir kopi sebagai
tanda maaf dan terima kasihku,” jawabnya sambil tersenyum manis.
Aku terdiam. Lidahku kelu. Mulutku
terkunci rapat.
“Kopimu selalu menjadi
warna hidupku. Virus kopimu ternyata tak membawa maut bagiku, tapi membawa
kebahagiaan,” ujarmu santai.
Wajahmu berbinar. Dia menatapku dengan
ceria. Perasaanku masih tak menentu. Kami diam.
“Mengapa kamu
menghilang ?” tanyaku ketus, memecah keheningan.
Jeda waktu sedikit menurunkan ketegangan
urat syaraf dan amarahku.
“Kehilangan dirimu, telah menumbuhkan sesuatu
yang tak lazim pada jiwaku,” kataku.
Dia menarik nafas panjang. Wajahnya
berubah sendu. Dia memperbaiki posisi duduknya. Seakan mengusir masa kelam agar
tak datang lagi. Dia menelungkupkan tangannya di meja.
“Aku difitnah orang !”
jawabnya perlahan. Menunduk. “Aku dituduh menggelapkan uang perusahaan. Tak
tanggung-tanggung, milyaran. Semua bukti mengarah padaku. Aku tak berdaya untuk
melawannya. Persekongkolan kejam dan sangat licik itu hanya memberikan dua
pilihan untukku. Penjara atau mengundurkan diri dari perusahaan dengan segala
konsekuensinya. Aku harus pergi sejauh-jauhnya. Konspirasi itu sengaja dibuat
untuk menyingkirkanku secara halus dan rapi.”
“ Secara tiba-tiba, aku
kehilangan segalanya. Kehilangan pekerjaan mapanku. Kehilangan tempat tinggal.
Kehilangan harapan. Juga yang terberat adalah kehilanganmu.” lanjutnya. Raut
kesedihan mendalam terlukis di wajahnya. Aura dendam, sakit hati terbaca di
sana. Tangannya terkepal kuat. Matanya tampak berkaca-kaca. Ia berhenti bicara.
Menarik nafas panjang. Kembali mengatur emosi.
“Dalam kalutku, aku memutuskan pergi ke
Toraja. Menyepi di pegunungan. Mewujudkan rencana perjalanan kita yang
tertunda. Berwisata sambil menelusuri sejarah kopi. Akhirnya, aku melakukan
perjalanan itu seorang diri. Kopi menjadi satu-satunya tujuan hidupku,”
jelasmu. “Benda yang semula kubenci itu ternyata membawa banyak keberuntungan
pada hidupku kini,” ujarmu merona bahagia.
“Apa yang kau lakukan
sekarang ?” tanyaku hati-hati.
“Sesuai perkembangan zaman, bisnis kopi.
Aku telah banyak mempelajari kopi. Ternyata, kopi Indonesia dulu pernah berjaya
di dunia, lho,” ujarmu. “Nona kopi tahu itu ?” tanyamu menantangku sambil
bercanda. Ciri khasmu.
Aku mendesah sebal. Dia
tertawa.
“Sekarang, aku berencana membawamu pergi
ke tempatku. Kamu mau ?” tanyanya.
Aku mendelik. “Maksudmu
?”
“Kita kan pasangan ideal,” jawabmu kalem
sambil mengedipkan mata penuh arti.
Aku kembali menarik
nafas. Melongo. Hanya itu yang bisa kulakukan. Bingung. Senang. Sedih. Bahagia.
Rasanya menjadi semu seperti kopi dengan racikan yang asal-asalan. “Mungkinkah
kita ….”
“Tenang, aku sudah
mempersiapkan segalanya. Kalau kamu mau berkarir seperti sekarang, di sana ada
kesempatan. Kalau mau menjadi rekan bisniskupun bisa. Kita kan sama-sama
penggemar kopi. Banyak hal dari kopi ini yang masih menjadi peer buat kita.
Banyak hal yang harus kita kembangkan. Kita bisa mewujudkan mimpi kita.
Jalan-jalan ke perkebunan kopi di seluruh Indonesia. Mencari dan mempelajari
keunggulan kopi Indonesia. Meraciknya dengan sempurna. Berinovasi dan
menciptakan varian rasa baru. Juga menduniakannya kembali.”
“ Semuanya terserah
padamu. Aku hanya sangat berharap, kamu mau ikut denganku. Kamu itu inspirasi
hidupku. Virus kopimu telah banyak mengubah kehidupanku. Membuka jalan hidup
baru untukku. Jujur, aku tak bisa melupakanmu sedetikpun. Kopi dan dirimu
adalah jiwaku kini. Meninggalkanmu dan jauh darimu bagaikan neraka jahanam
bagiku. Sakit sekali.”
“Kamu serius, Menak ?”
tanyaku ragu.
“Yup. Pasti,” jawabmu mantap sambil
mengangguk. Meyakinkan.
“Ayo kita buang segala masa lalu kita. kita
tinggalkan rasa sakit karena lelaki jahanan itu. Kita buka lembaran baru dalam hidup ini. Ayo,
kita hidup dalam suka dan duka !”
“Tapi kita berdua ini
kan sama-sama perempuan,” jawabku.
“Tak ada salahnya kan perempuan hidup
bersama ?” jawabnya enteng.
Gelegar petir pun membahana.
Blog
post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory
Diselenggarakan
oleh GIORDANO dan Nulisbuku.Com
Semoga menang. :)
BalasHapusMakasih bangeeettsss ya atas dukunganmu dan info lombanya. Moga dirimu makin sukses yah. AAmiiin. Lup yu Dyah Prameswarie
BalasHapusMak Yayu banget ini..
BalasHapussukses ya Mak ngontesnya..
jadi mana kopi buatkuuuu
hehehe...
HapusMakasih yak mak Nchie Hanie
Hayu atuh kita ngopi bareng