5/07/2016

SURAT CINTA UNTUK KARTINI : POTRET DIRI PEREMPUAN

“Belum banyak orang yang mengetahui konflik batin Kartini”
(Lukman Sardi)

           

        Mungkin sayalah salah satunya. Kalau kamu ? Selama ini -yang saya tahu ialah- Kartini itu seorang tokoh emansipasi wanita. Seorang anak ningrat yang mendirikan sekolah untuk perempuan. Seorang wanita bangsawan yang ingin memajukan kaum perempuan. Aktif memperjuangkan cita-citanya seperti para pejuang yang rela berkorban untuk kemerdekaan bangsa Indonesia. Yang setuju ngaaacuuung, ya !

SINOPSIS FILM

                   Adegan diawali dengan tokoh Sarwadhi yang menjadi tukang pos (baru). Dengan riang ia berkeliling mengantarkan surat pada para pemiliknya. Keluarga Belanda dan Ndoro Kartini.  


            Sebagai duda dengan seorang anak perempuan, tukang pos ini pada akhirnya secara diam-diam jatuh cinta pada penerima surat yang bukan orang biasa itu. Perbedaan nasib dan status menjadi penghalang. Cintanya tak mungkin berbalas. Namun, rasa cinta tak bisa dipenjarakan begitu saja. Jatuh cinta juga tak mengenal  strata, betul ? Kalau Sarwadhi jatuh cinta pada ningrat, ya begitulah cinta. Tingkahnya yang kumincir, bikin aduh deh ! Heeehhh… greget bangets. Sebagai salah satu usaha, ia mengubah namanya. Sarwadhi Putra Raja Langit. Namun, saat mendapat saingan berat, apa yang terjadi ?

REVIEW FILM
Film ini memang tidak secara jelas menampilkan Kartini sebagai sosok pahlawan. Penonton kecewa ? Humanisme. Sarwadhi -diperankan Chico Jerrico- dengan segala tingkah kumincirnya itulah yang menurut saya mendapatkan porsi utama dalam cerita. Pikiran dan usaha kecil Kartini dalam memberikan pendidikan kepada perempuan Jawa hanya sebagai bumbu penyedap atau bumbu pelengkap. Komplit dan sepaket dengan kondisi masyarakat pada zaman itu. Bahkan mungkin saja menjadi modus bagi tukang pos Sarwadhi untuk lebih dekat dengan Sang Pujaan Hati. Ndoro Kartini.

ADA adegan YANG MEMBUAT SAYA MIRIS BIN NANO-NANO…
ORANG PRIBUMI TAK BOLEH MEMASUKI TEMPAT REKREASI INI !
HELOOO… INI TANAH KAMI, menir. PANTAI KAMI GITU LHO ! KAMI MPUNYAAA.
Aaaggghhh… untung sudah merdeka. Alhamdulillah !

            Mengutip pelajaran dari suhu, Agus Safari dan Garin Nugroho. Inilah yang disebut dengan pintu-pintu dalam sebuah rumah. Film ini merupakan sebuah penafsiran bebas dan dipadu imajinasi dari sebuah pintu sosok pahlawan Kartini.

POTRET PEREMPUAN
Kembali pada kegalauan Kartini tadi. Dalam film ini kita bisa melihat banyak sekali potret perempuan Indonesia (Jawa, khususnya).
Wah pleonasme dan hiperbola, ya ! Tapi itu fakta, lho ! (meren ketang da sayah belon lahir tahun-tahun itu mah hehehe…)
Berdasarkan sejarah dan juga tafsiran Armijn Pane dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang, kondisi perempuan saat itu memang sangat memprihatinkan. Sakitnya tuh di sini !
Seorang Ibu dan Istri dikatakan berhasil saat patuh, setia, dan taat pada suami.
Perempuan Jawa tidak perlu pandai, tapi harus menerima nasib.
Nasib anak gadis Jawa ialah menurut saja. Tiada boleh mempunyai kemauan. Cuma satu tujuan hidupnya  ialah menikah dengan orang yang tak dikenalnya.
Anak gadis tidak boleh melakukan hak jika hak laki-laki tersinggung.
Anak perempuan lebih rendah derajatnya dari laki-laki.

Tafsiran Armijn Pane itu membuat otak saya dipenuhi Lampu Edison jutaan watt dan otak Einstein. Tafsiran itu mengurai ketidaktahuan saya tadi tentang konflik batin yang dialami oleh sosok pahlawan wanita, Ibu Kita Kartini.
Bisakah kalian membayangkan hal yang terjadi pada seseorang yang berpikiran maju dan terbuka, tetapi berbenturan dengan kondisi kolot yang sangat kental ? Keluarga Kartini merupakan keluarga yang berpikiran maju. Oleh Nenek buyutnya - Bupati Demak, Pangeran Ario Tjondronegoro -  mereka diberikan pendidikan barat yang dinilainya lebih baik dan lebih maju daripada masyarakat saat itu. Banyak hal yang terjadi. Banyak perubahan. Banyak pemikiran baru. Banyak pula hal yang membuat Kartini berpikir untuk membuat sebuah perubahan besar, khususnya untuk kaum perempuan bangsanya.
“Anak-anakku, jika tidak mendapat pelajaran, engkau tiada akan mendapat kesenangan. Turunan kita akan mundur. Ingatlah !”
Kartini melihat betapa perihnya nasib perempuan saat itu. Beliau terutama melihat keterbatasan akses pendidikan bagi kaum perempuan. Termasuk juga pada dirinya. Di saat sepupu laki-lakinya menerima pendidikan setinggi-tingginya, dirinya harus menerima nasib menjalani masa pingitan. Ini adalah sebuah keharusan bagi kaum perempuan pada saat itu. Pada usia 12 tahun, beliau harus menutup diri dari dunia luar, dari kebebasannya menerima pendidikan (bersekolah). Harus siap menerima takdir menjadi Raden Ayu.
Saat kesepian, pada masa menjalani pingitan ini, waktunya dihabiskan untuk membaca buku-buku berbahasa Belanda dan melakukan surat- menyurat dengan teman-temannya  orang Belanda. Dalam surat-surat inilah dia banyak menyampaikan pemikiran-pemikirannya.
Pertemuannya dengan Mr Abendanon memperbanyak cita-citanya. Sekolah ke Belanda. Sekolah bidan. Dan Sekolah Guru di Betawi. Namun, tak satupun yang terlaksana. Mr Abendanon menasehati Kartini agar tak sekolah ke Belanda, karena akan menghambat pendirian sekolah perempuan. Sekolah guru juga gagal, karena Kartini harus menikah. Betapa berat tantangan zaman yang dihadapinya saat itu.
Kartini menjadi perintis jalan untuk merombak adat istiadat yang memberikan hak kepada anak laki-laki dan tiada sedikit juga kepada anak perempuan. , apalagi dia keturunan bangsawan yang berkewajiban memimpin. Dia berpikir untuk memulai langkahnya tersebut pada anaknya sendiri, tapi maut kembali menutup cita-cita mulia itu untuk selama-lamanya. Saya menafsirkan anak Sarwadhi, tukang pos itulah yang pada akhirnya mewujudkan semua pemikiran, perjuangan dan cita-cita Kartini. Dalam kehidupan nyata, Raden Dewi Sartikalah yang kemudian lebih nyata mewujudkan pendidikan untuk kaum perempuan.
Setiap perempuan memang selalu dihadapkan pada takdir dan nasib masing-masing. Kaum perempuan memiliki tantangan hidup pada setiap zaman yang dilaluinya. Jadi, sudah berakhirkah perjuangan Kartini kini ?


6 komentar:

  1. Perjuangannya lanjut teteh

    BalasHapus
  2. Baca review film ini makin kepengin nonton filmnya, Mbak Yayu ^_^

    BalasHapus
    Balasan
    1. sok atuh enggal nonton. harus cari layar sendiri tapinya hehehe....

      Hapus
  3. aaahhh aku suka pelem ini maak
    bikin ketawa, seruu sejarah kartini yang dikemas secara modern dan dirasakan oleh anak tk sampai dewasa

    BalasHapus

Featured Post

Festival Cireundeu Cimahi: Maknyus, Icip-Icip Nasi Goreng Rasi

  Halo sobat yayuarundina.com – Kali ini, kita jalan-jalan tipis di dalam kota Cimahi. Tanpa disengaja muncul informasi acara Festival Cire...