3/07/2016

BELAJAR KANKER DARI MAMAH

Pemutaran film I am Hope yang sedang ngetrend belakangan ini menjadi motivasi khusus untukku membuat tulisan ini. Entahlah, jari-jemariku seperti terkena magnet kuat untuk menekan huruf-huruf di keyboard. Merangkai kata menjadi cerita. Mengurai kenangan dalam rasa rindu yang tengah kurasakan.

            Selama kurang lebih dua tahun, mamahku menjadi survivor penyakit ganas tersebut. Sekitar Juni 2013, beliau merasakan sakit perut. Bolak balik ke belakang dengan pengeluaran yang sedikit. Sehari sampai 17 kali. Namun, bab-nya sedikit dan kecil-kecil disertai pendarahan. Ketika memeriksakan diri ke dokter, mamah dinyatakan ambeyen. “Penyakit lama kambuh kembali,” pikirku saat itu.
            Setelah diobati ternyata tidak ada kesembuhan. Dulu, ketika ambeyen, setelah berobat akan kembali normal. Hingga kurang lebih empat bulan, gejala yang sama masih kerap terjadi. Mamahku sempat berkeinginan untuk mencoba berobat alternatif. Saat itu, kebetulan ada seorang temanku yang sedang sakit ambeyen dan menjalani pengobatan alternatif tersebut. Beliau menyarankan untuk memeriksakan mamah ke dokter penyakit dalam terlebih dahulu. Kita harus yakin bahwa penyakit yang dideritanya memang betul ambeyen. Jika sudah yakin dan benar, barulah menjalani pengobatan alternatif seperti beliau.
            Dengan bekal tersebut, saya kemudian membujuk mamah untuk memeriksakan diri ke dokter penyakit dalam. Beliau menolak keras. Beliau ingin tetap mengikuti pengobatan alternatif. “Aneh, tak biasanya beliau seperti itu,” kataku dalam hati. Akhirnya, setelah dibujuk adikku, belaiu mau juga dibawa berobat ke dokter penyakit dalam.
            Pada Sabtu malam di bulan Oktober, kami menyusuri kegelapan malam demi ibunda tercinta. Jalanan padat karena kami melewati sebuah gedung tempat pernikahan. Malam itu diantara duka ada suka. Gemerlap lampu di sebuah bangunan peninggalan kolonial sedikit memberikan harapan dan pencerahan diantara ketakutan kami. Sampai akhirnya, kami tiba di sebuah tempat praktek dokter. Ruangannya termasuk sederhana tapi bersih. Ruangannya cukup luas. Banyak kursi yang sudah terisi. Tinggal beberapa yang tersisa. Aku dan adikku segera ke meja pendaftaran. Tak dinyana, nomor yang kudapatkan adalah 50 ! Menurut suster, mamahku akan diperiksa dokter sekitar jam dua belas malam. Wow, kami harus menunggu selama lima jam !
            Adikku mempertimbangkan kondisi mamah dan dokter yang pasti akan kelelahan, sehingga diperkirakan akan sangat tidak efektif. Oleh karena itu, kami kembali menyususri kegelapan malam untuk mencari dokter lain. Kami melewati rumah sakit dan ternyata tutup. Melewati klinik lain yang ternyata tidak ada dokter penyakit dalam. Setelah sekitar satu jam, kami bisa menemukan dokter penyakit dalam. Setelah kurang lebih dua jam dan merayu mamah dengan aneka cara agar bertahan, akhirnya beliau diperiksa oleh dokter.
            Dokter memeriksa mamah dengan teliti. Tangannya bergerak di sekitar perut. Menekan. Meraba. Terdiam sejenak. Merasakan sesuatu.
   “Ada apa, Dok,” tanya Mamah.
   “Ada pohon di perut Ibu,” jawabnya kalem.
Beliau segera memberikan beberapa penjelasan pada adikku dan menyarankan agar mamah segera dibawa ke rumah sakit untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut.
   “Dokter menduga mamah menderita kanker di perut!,” jawab adikku dengan lesu.
Deg ! Mendadak suasana sekitarku ramai tak karuan. Sejuta rasa mendera. Benarkah ?
            Keesokan paginya, kami membawa Mamah ke sebuah rumah sakit terkenal di Bandung,  RS Santosa. Hari itu, beliau begitu pasrah. Sangat penurut. Kami masih merahasiakan kata-kata dokter. Beliau bersemangat berobat karena ingin sembuh. “Cape bolak-balik ke belakang terus !” ujar beliau.
            Tak lama, kami dipanggil perawat untuk bertemu dengan dokter. Kami mendapatkan penjelasan yang asyik tentang pengobatan tersebut. Dokter ini jujur tapi menenangkan. Ramah juga bodor, sehingga kami bisa bersikap lebih santai. Setelah obrolan itu, mamah di bawa ke ruangan khusus. Kami menunggu dengan harap-harap cemas. Waktu rasanya berjalan sangat lambat seperti siput ! Berbagai lintasan pikiran memasuki kepalaku. Mungkin saat itu, kepalaku menjadi biang kemacetan rutin setiap pagi di Bandung. Berjam-jam kami menunggu di luar, sedangkan mamah sedang menjalani rontgen perut dengan kontras barium.
            Rontgen perut dengan kontras barium itu adalah sebuah pemeiksaan radiografi untuk menggambarkan usus besar agar dapat memperlihatkan anatomo dan kelainan-kelainan yang terjadi. Pada tahap ini, mamah diperiksa oleh dr. Voltiano Forestin Dharmawan. Untuk menghindari resiko radiasi beliau mengenakan baju yang berat seperti akan maju ke medan perang. “Hehehe… lucu sih menurutku.” Pemeriksaan inilah yang pertama kali memperkuat dugaan adanya kanker di perut mamah.
            Deg ! Rasanya sulit dipercaya. Kanker yang begitu sangat jauh dan tak mungkin ada di sekitarku, sekarang sedang duduk manis dihadapanku. Di depan mataku. Sungguh tak menyangka dan sulit dipercaya ! Ketika kami ke dokter penyakit dalam sambil membawa hasil rontgen tersebut, beliau menyarankan untuk segera bergerak cepat. Mamah harus segera menjalani operasi. Kejutan luar biasa yang berikutnya !
            Oleh karena itu, adikku segera mencari informasi ke rumah sakit. Dengan berbagai macam pertimbangan, akhirnya kami lebih memilih Rumah Sakit Al Islam Bandung. Di sini, kami menemui dokter spesialis bedah digestive, Dr Tommy Ruchimat, SpBD.
            Setelah itu, mamah kembali menjalani berbagai serangkaian pemeriksaan. Kali ini ke Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Beliau menjalani Endoskopi dan CT Scan Abdomen. Pendarahan saluran pencernaan dan perubahan kebiasaan BAB-lah dan juga pertumbuhan dalam usus besar (pohon) yang menyebabkan dokter merekomendasikan pemeriksaan itu.
Endoskopi adalah prosedur nonbedah yang digunakan untuk memeriksa saluran pencernaan. Mungkin mamah menjalani yang namanya kolonoskopi, yaitu endoskopi yang dikirim lewat usus besar/ kolon melalui dubur untuk memeriksa daerah ini dari usus.
Sedangkan CT Scan Abdomen adalah jenis khusus X-ray yang dapat menampilkan gambar penampang area tertentu (perut) dari tubuh. Pemeriksaan ini akan memperjelas hasil pemeriksaan fisik. Alasan dokter melakukannya adalah perencanaan presurgery dan dugaan massa abdomen teraba (pohon). Tindakan ini juga dapat dilakukan untuk sakit perut, batu ginjal, infeksi, radang usus dan pembekuan darah.
Setelah melewati prosedur yang panjang dan bolak-balik ke berbagai rumah sakit, dugaan dokter semakin kuat dan nyata. Semua rumah sakit menyatakan hal yang sama. Mamah menderita kanker usus besar, khususnya kanker rectum dengan tipe yang mudah berdarah. Astagfirullahhaladzim ! Lutut inipun melunglai. Jantung berdegup kencang. Kenyataan yang harus dihadapi. Demi mamah, kami harus kuat !
Tanpa menunda waktu, kami segera menyetujui pelaksanaan operasi. Perayaan awal tahun baru yang unik. Awal Januari 2014, tak ada pesta kembang api. Yang terjadi adalah degup jantung yang semakin bertalu kencang melebihi bedug Idul Fitri. Keringat dingin. Perasaan yang nano-nano. Harapan baik dan harapan buruk datang silih berganti selama tiga jam menanti selesainya operasi. Panggilan nama keluarga setelah selesai operasi ibarat genderang duka atau suka. Kami tak sabar melihat kondisi mamah.
Dengan didorong oleh suster, mamah dibawa ke ruang pascaoperasi. Kami hanya bisa menemuinya sebentar saja. Kesadarannya belum pulih seratus persen. Ada buliran air di sudut matanya. Jejak sakit yang luar biasa. Namun, mamah masih tersenyum manis melihat kami berdua. “Sakit, Mah?” tanyaku. Dia menggeleng lemah sambil tersenyum. Mendamaikan ! Setelah itu penantian panjangpun kembali kujalani. H2c. Harap-harap cemas. Menanti mamah melewati masa kritis. Takut. Sedih. Galau. Melow. Saat itu, rasanya aku berada di lembah kesedihan yang paling curam. Mencoba pasrah dan ikhlas menerima segala ketentuan dari Sang Maha Kuasa. See you again or leave me forever !? Selamat atau selesai  di titik itu ! Dua hari yang benar-benar sangat mendebarkan. Pengalaman yang luar biasa dalam hidupku.
Alhamdulillah, mamah masih bisa kuat bertahan ! Selanjutnya, beliau masuk ke ruang pemulihan/ perawatan biasa. Senyumnya yang sumringah senantiasa menghiasi hari. Tak ada jejak kesakitan sedikitpun. Aneh ! Optimis. Doa. Kepasrahan dan keinginan yang kuat untuk sembuh menjadi motivasi hidupnya. Semangatnya luar biasa. Dokterpun menyampaikan hal yang sama.
Ketakutanku pascaoperasi bahwa mamah akan mengalami kondisi yang mengkhawatirkan lenyap tak berbekas. Awalnya, mamah masih takut keluar rumah karena merasa tidak percaya diri dengan kantong bawaannya. Ya, setelah operasi, banyak perubahan yang terjadi dan harus dilakukan ! Makanan salah satu hal wajibnya. Yang ini ada dalam tulisan yang lain yah !
Sekarang, mamah harus selalu menggunakan kantong khusus, bagcolostomy untuk menampung BAb-nya. Kalau bertemu orang lain, takut mereka mencium aroma tak sedap dari sana. Sejak operasi itu, aktivitas mamah berhenti total. Yang dilakukan beliau hanyalah berbaring, duduk, nonton televisi. Benar-benar menikmati masa tua dalam nuansa baru.
Namun, hal itu tak berlangsung lama. Sedikit demi sedikit kepercayaan mamah kembali pulih. Beliau banyak mendengar pengalaman yang sama. Tak menakutkan lagi. Setelah itu, sedikit-sedikit beliau mulai mengerjakan aktivitas lamanya, bekerja di dapur, berkebun dan jalan-jalan atau belanja ke warung. Semangat hidup dan optimisnya kembali bangkit ! Kami siap mendukungnya. Keceriaan kembali mewarnai kehidupan kami. Tak terasa hampir dua tahun !
Menjelang kontrol dokter untuk yang kedua kalinya, tiba-tiba datang kabar buruk.
“Teh, Ceuceu jatuh di jalan !” ujar saudaraku.
“Mamah tadi beli nasi kuning, kok !” balasku tak percaya.
“Ya, tadi jatuh di jalan. Berdarah. Sekarang, lukanya sedang dibersihkan oleh Neng, sepupuku, “ ujarnya menambahkan.
“Oh, ok, aku segera menyususl ke sana !” jawabku bingung.
Namun, baru melangkah keluar pintu, mamah dan sepupuku sudah tiba. Wajahnya tetap sumringah. Dagunya ditutup plester.
“Pusing, Mah ?” tanyaku cemas.
Heunteu! Mamah kabita mie ayam, terus titajong,” jawabnya dalam logat Sunda yang khas.  (“Tidak. Mamah Ingin mie ayam. Terus terantuk polisi tidur,”)
            Aku segera memeriksa lukanya. Pendarahan masih terus terjadi. Darah terus keluar dari dagu dan gusinya. Ada lubang bulat.Karena cemas dengan perutnya, kolostominya, kami membawanya lagi ke rumah sakit. Luka-lukanya mendapat beberapa jaitan. Alhamdulillah, perutnya tidak apa-apa. Keajaiban lagi untuk kesekian kalinya.
            Setelah itu, berturut-turut beberapa kabar duka datang. Beberapa saudaraku meninggal dalam waktu yang hampir berdekatan. Kabar itu rupanya mempengaruhi psikologis mamah. Kondisinya drastis menurun. Keceriaan berubah kemurungan. Mamah mogok makan dan tidak mau lagi minum obat-obatan alami yang biasanya disantap dengan senang hati. Koneng gede. Kuning putih. Propolis. Madu. Susu. Kami mulai kebingungan. Serba salah.

            Kekhawatiran kami bertambah parah, ketika suatu malam, mamah jatuh secara tiba-tiba dari kursi. Tak bertenaga. Tak berdaya. Kesadarannya mulai berkurang. Setelah tiga hari di rumah, adikku kembali memboyongnya ke rumah sakit. Mamah ditangani tiga dokter spesialis: penyakit dalam, syaraf dan urologi.
            Setelah hampir dua minggu, tak ada kemajuan berarti. Makanan tetap utuh tak tersentuh. Tenaga semakin berkurang. Yang paling pilu adalah mamah selalu kesakitan di sekitar perut. “Aduh…aduh…aduh,” erangnya beberapa kali sambil memegangi perutnya. Aku curiga pohon di perutnya mulai berulah lagi. Kuraba sebuah benjolan di sana. Tak ada yang bisa kami lakukan, selain mengusapnya dengan kayu putih dan doa. Pada saat operasi dulu, masa tumornya sudah menyebar ke rahim, jadi tak bisa diangkat. Dokter Tommy melakukan tindakan agar mamah bisa makan enak dan tidak bolak-balik lagi ke belakang. Upayanya berhasil.
            Namun, kuasa Allah SWT lebih berbicara. Maut tak bisa ditolak jika saatnya tiba. Setelah kembali dirawat di rumah, sehari setelah kontrol ke dokter urologi, kami harus rela melepas beliau untuk selama-lamanya. Kembali menghadap Sang Pencipta. Beliau menghembuskan nafas pada tanggal 2 Desember 2015, sekitar pukul 23.00.
            Semoga ibunda tersayangku dapat hidup berbahagia di sisi-Nya. Kami telah berusaha semaksimal mungkin. Namun, Allah lebih menyayangimu. Selamat jalan, bundaku ! Kami berharap segala upaya dan bakti anak-anak dapat membahagiakanmu. Maafkan segala salah, khilaf, dan alpha kami ! Rinduku untukmu selalu !

Referensi Tulisan :
1.      rudyday.blogspot.com
2.      www.mwebmd.com
3.      www.healthline.com


           


7 komentar:

  1. Kisah yang sangat menyentuh, :') semoga beliau tenang berada di sisi-Nya, aamiin...

    BalasHapus
  2. Membaca ini membuat saya terharu mba, apalagi saya juga seorang survivor kanker.

    Semoga Ibunda sudah tenang dan bahagia serta mendapatkan tempat terindah di sisi Allah. Mba dan sekeluarga juga selalu diberikan kesabaran dan kekuatan. Amin.

    Film Iam Hope juga sungguh membuat perasaan tersendiri dalam diri saya mba. Walaupun baru menonton traillernya saja,tetapi serasa melihat perjuangan sendiri dan teman-teman survivor kanker. :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. aamiin. makasih ya mbak yuni zuhri.
      tetep semangat dan optimis yaa, itu kekuatan utama utk penyembuhan

      Hapus
  3. turut berduka atas meninggalnya ibunda tercinta :,(

    BalasHapus
  4. Wow, thats surely awesome to know the reality and I am positive you will also love my article written here apple juice nutrition facts approximately Hope so that you will love to provide me a go-to.

    BalasHapus

Featured Post

Festival Cireundeu Cimahi: Maknyus, Icip-Icip Nasi Goreng Rasi

  Halo sobat yayuarundina.com – Kali ini, kita jalan-jalan tipis di dalam kota Cimahi. Tanpa disengaja muncul informasi acara Festival Cire...