OLIN
DI NEGERI BATU
“
Olin !”
“Olin!”
“Olin,
bangun !”
Cecilia dan Kristin berusaha menyadarkan
Olin, temannya. Olin mulai membuka mata. Terdiam sebentar. Lalu duduk. Dia
memandang sekitarnya. “Dimanakah kita ?” tanyanya bingung.
“Entahlah,
kami juga belum tahu,” jawab Cecilia dan Kristin berbarengan.
“Mungkin
kita dilahirkan kembali di Negeri Batu,” balas Cecilia yang percaya
reinkarnasi.
“Dilahirkan
kembali ? Memangnya kita sudah mati ?” tanya Kristin agak kalap. “Aku belum mau
mati !” ujarnya lagi. Kristin mulai histeris.
“Tenang,
Kristin ! Tenanglah ! Kita masih hidup !” kata Olin sambil mencubit lengan
Kristin.
“Auw…
sakiiit !” jeritnya kesakitan.
“Tuh
kan, masa orang mati bisa merasa sakit,” jawab Olin tenang.
Ketiganya
terdiam. Mengamati sekitar. Mereka terdampar diantara dua buah batu besar. Yang
sebelah kanan tinggi menjulang, sedangkan yang sebelah kiri lebih besar dan
sangat lebar. Langit terlihat lebih kelabu. Mirip seperti sehari sebelum
gerhana matahari total. Mereka bertiga bangkit. Lalu, berjalan sambil
mengobservasi situasi. Tak ada seorangpun di sana. Hanya mereka bertiga. Mereka
melangkah menuju sebuah ruangan kecil. Ada tulisannya di sana. Mushala.
“Wah,
gawat ! Jam berapa ini ? Aku belum shalat ashar,” kata Olin kaget. Ia segera
bergegas ke pancuran kecil yang ada di ujung mushala dan segera melaksanakan
kewajiban muslimahnya. Kristin dan Cecilia menunggu di luar mushala.
“Kita
duduk di sana, yuk !” ajak Kristin. Keduanya segera menghampiri dua bangku
kecil yang terbuat dari batu. Mereka duduk di bawah pohon besar yang rindang.
Cuaca terasa sejuk dan adem.
“Apa
yang kamu rasakan sekarang, Lia ?” tanya Kristin pada Cecilia.
“Hmm,
aku merasa nyaman di sini. Entahlah, tempat ini serasa dekat dengan diriku. Aku
merasa tak asing dengan tempat ini. Seperti ada ikatan khusus. Entahlah !
Namun, aku tak tahu kita sedang berada di mana. Sepertinya, kita memiliki misi
khusus di sini !” jelas Cecilia.
“Kamu
sendiri bagaimana ?” Cecilia balik bertanya.
“Ya,
aku juga seperti itu. Aku merasa aman di sini. Perasaanku mengatakan bahwa kita
berada di sini, karena ada tugas khusus juga. Tapi, entahlah,” jawab Kristin
sambil mengangkat kedua tangannya.
Mereka
berdua terdiam. Kembali mengamati tempat mereka berada kini. Tak ada petunjuk. Tak ada rumah. Hanya ada sebuah dinding
panjang dengan tonjolan berbagai macam bentuk batu di depan mereka. Juga sebuah
lapangan mirip tempat main sepak bola
yang ditumbuhi rumput hijau segar.
“Hai,
kita mau kemana sekarang ? Mau tetap di sini ?” Tiba-tiba Olin datang.
“Sebaiknya,
kita mencari tempat berlindung. Sebentar lagi malam. Kita tidak tahu cuaca atau
bahaya yang ada di malam hari,” saran Kristin.
“Kita
telusuri tempat itu, yuk!” ajak Olin.
Tiga
sekawan itu mulai menjelajahi tempat baru mereka. Menyusuri tembok panjang.
Berharap bisa bertemu dengan seseorang atau rumah penduduk.
“Hei,
lihat ! Aneh ya, pohon dan batu itu. Keduanya kompak miring ke kiri !” tunjuk
Olin. Kedua sahabatnya mengiyakan. Mereka melewati batu-batu besar lagi.
“Sepertinya,
itu sebuah pintu gerbang, ya?” kata Olin lagi ragu. Mereka mendekatinya.
“Hei,
itu sidik jari siapa ? Besar sekali !” ujar Cecilia sambil menunjuk ke atas. Klik.
Olin dan Kristin menggeleng.
|
Gerbang Negeri Batu |
“Kita
masuk ke sana ?” tanya Kristin.
“Perasaanku
mengatakan kita harus menyebrangi jembatan itu !” jawab Cecilia sambil melihat
ke sebelah kiri.
Mereka
segera belok kiri. Ada batu kotak besar dengan lingkaran-lingkaran aneh di
atasnya. Mereka melewatinya dan segera bergegas menuju jembatan. Takut
kegelapan menyergap mereka di tempat asing dan terbuka ini. Langit mulai
memerah.
“Lingkaran
tadi apa maksudnya, ya?” tanya Olin.
“Entahlah.
Betapa banyak misteri di tempat ini, ya!” ujar Cecilia.
“Hei,
lihat ada sebuah bangunan di depan sana
!” kata Kristin.
“Ah,
akhirnya. Mudah-mudahan ada seseorang yang bisa membantu kita !” ujar mereka
girang.
Dengan
semangat, mereka menuju bangunan yang mirip seperti rumah panjang di
Kalimantan. Hanya bangunan itu berdinding batu dan sebagian lagi lebih
benderang. Mereka berkeliling mencari pintu. Ada sebuah ruang kecil dikelilingi
tembok mirip kaca tebal. Di dalamnya ada pintu besar yang kokoh. Kuno tapi
masih terawat dengan baik. Mirip pintu jati. Tiba-tiba pintu itu terbuka.
Ketiganya terlonjak kaget dan mundur beberapa langkah ke belakang. Meeka bisa
melihat ruang dalam yang terang dan hangat.
“Masuklah
!” kata seseorang dengan suara yang berat.
Mereka
bertiga ketakutan. Saling berangkulan. Kaki mereka terpaku dalam di tempat
masing-masing.
“Jangan
takut, Cicitku ! Masuklah Olin, Cecilia, Kristin !” kata suara itu lagi.
Ketiga
sahabat itu saling berpandangan. Heran. Suara itu mengenali mereka.
“Ayo,
masuklah ! Kedatangan kalian sudah ditunggu sejak lama. Masuklah ! Kalian aman
di sini ! Tak ada bahaya di dalam ! Masuklah, jangan takut !” ujar suara itu
lagi.
Olin,
Kristin dan Cecilia saling dorong. Tak ada yang mau berjalan duluan. Karena
hari sudah gelap, akhirnya, Cecilia memberanikan diri jalan paling depan.
Langkah kakinya gemetar. Olin dan Kristin berjalan di belakangnya sambil
memegangi bahu Lia, kiri dan kanan. Mereka melewati pintu besar itu. Seiring
dengan kaki mereka yang sudah masuk ke dalam ruangan. Pintu itu perlahan
tertutup. Ketiganya saling berpandangan. Bingung.
“Ayo,
jangan takut, teruslah masuk ! Kalian lapar bukan ?” ujar suara itu lagi.
Mereka
bertiga terus melangkah. Masuk ke sebuah ruangan mirip ruang makan. Ada meja
panjang di sana. Di atasnya, sudah tersedia berbagai macam masakan. Menerbitkan
air liur. Membuat perut mereka keroncongan. Di ujung meja panjang itu, duduk
seseorang.
“Kemarilah,
Cicitku!” ujar orang itu sambil melambaikan tangan.
Dengan
ragu, ketiganya mendekati beliau. Betapa terkejutnya Cecilia setelah melihat
wajah orang itu.
“Opa
!” teriaknya. Dia berlari menghampirinya. Bersujud di depannya. Lalu, memeluk
opanya. Olin dan Kristin mengamati lelaki bertopi itu. Wajahnya putih bersih. Tubuhnya
tinggi besar. Kulitnya mulus segar. Mirip para biksu. Meneduhkan. Beliau
tersenyum bahagia menyambut cicitnya.
“Mengapa
kalian lama sekali sampai di sini ?” tanyanya. “Ah, nanti saja ceritanya. Kalian
sudah melakukan perjalanan jauh. Bersihkan badan dulu di sana! Lalu, kita makan
bersama. Perut kalian sudah ribut minta diisi makanan,” ujarnya ramah.
Ketiga
sahabat itu segera melakukan perintah opa. Setelah itu, mereka duduk dan makan
bersama. Setelah tenaga mereka pulih dan perut kenyang, Lia membuka pertanyaan.
“Kami
ini, berada dimana, Opa ?” tanyanya.
Kalian
berada di Altitude, negeri batu. Jutaan
cahaya di atas bumi. Opa sengaja membawa kalian ke sini, karena ada tugas
khusus yang harus kalian lakukan di bumi. “Ayo, kita pindah ruangan,” ajak Opa.
Mereka berempat bangkit. Lalu, masuk ke sebuah ruangan yang terang. Kedua
sisinya menyajikan pemandangan yang berbeda.
“Kedua
pemandangan itu adalah gambaran bumi di masa depan. Jika manusia-manusia bumi
serakah, tidak mau diatur, egois, maka pemandangan sebelah kirilah yang
terjadi. Bumi hancur. Manusia kelaparan. Tak ada pohon. Gersang. Sampah
menggunung dimana-mana.”
“Sebaliknya,
jika manusia tetap taat pada Tuhannya, saling menghargai, kerja sama,
toleransi. Penuh kasih sayang, maka bumi akan damai dan tentram !”
“Sayangnya,
keseimbangan itu mulai terganggu sekarang. Manusia lebih cenderung
materialistis. Melupakan sisi kemanusiaannya. Melupakan kebaikan. Melupakan
kepentingan orang lain. Serakah. Mereka mengejar ketentraman dan kebahagiaan
yang semu. Akibatnya, bumi mulai merana. Bumi akan hancur. Bencana akan datang.”
Hana nguni hana mangke
Tan
Hana nguni tan hana mangke
“Nah,
tugas kalianlah untuk mencegah hal itu. Kalian harus tetap mempertahankan
keseimbangan di bumi ! Untuk itu, kalian akan beberapa lama tinggal di sini
untuk diberikan bekal demi tugas suci itu. Setelah siap, kalian akan kembali ke
bumi ! Besok, pembelajaran pertama akan dimulai. Sekarang,
beristirahatlah. Kamar kalian ada di
sebelah kanan.” jelas Opa panjang lebar.
Keesokan
harinya, ketiga sahabat itu sudah berada di ruangan besar dengan lemari-lemari
buku. Koleksi bukunya sangat lengkap. Perpustakaan sekolah pasti kalah dengan
ini. Di samping itu, ada beberapa komputer dengan bentuk yang lebih canggih
dari komputer rumah Olin. Membuat mereka betah berjam-jam, bahkan berhari-hari
berada di sana.
Setelah
belajar keras, mereka akhirnya memiliki waktu rehat sejenak. Olin lebih memilih
baca Quran terbitan Syamil Quran.
Cecilia lebih senang membaca kumpulan
Cerpen My Destiny terbitan Kaifa. Sedangkan Kristin lebih memilih
berselancar di dunia maya.
Setelah
menyelesaikan kewajibannya, Olin mengikuti jejak Kristin. Dia membutuhkan
banyak informasi tentang berbagai macam hal untuk melakanakan tugasnya nanti. Tantangan
berat baginya dan kedua sahabatnya. Namun, mereka bertiga harus siap !
“Hei,
asyik yah berselancar di sini. Swing…swing…swing. Tak ada acara ngadat atau
lola,” kata Kristin senang.
“Yup,
betul. Wah, pantesan nih modemnya Smartfren
4G Lte !” jawab Olin sambil menunjuk benda hitam di samping komputernya.
“Kalau
di bumi ada yang seperti ini, gak ya ? Eh, Lia, bilang pada Opa, kalau misi
kita beres, aku mau dikasih hadiah ini !” ujar Olin semangat. Kristin
mengiyakan. Cecilia tersenyum senang.
Tiba-tiba,
opa datang. “Saatnya, kalian kembali ke bumi. Ayo, Opa antar ke gerbang !”
katanya memutus kegembiraan ketiga sahabat itu.
“Gerbang
?” tanya Olin.
“Ya,
kalian pernah melewatinya. Untung tak masuk ke sana !” jawab Opa.
Tak
lama kemudian, mereka sudah tiba di depan gerbang. Opa kembali mengingatkan
misi ketiga belia tersebut. Olin dan para sahabatnya berjanji untuk melaksanakan
tugasnya dengan baik. Mereka ingin bumi aman, damai dan tentram. Opa
menempelkan jempol tangannya. Hamparan air dengan susunan batu yang indah
tampak di depan mereka. Saatnya berpisah. “Semoga sukses !” kata Opa mengakhiri
pertemuan mereka.
|
Negeri Batu |
Lokasi Gambar
Galeri Seni Selasar Sunaryo
Jalan Bukit Pakar Timur no 100 Ciburial, Bandung Jawa Barat
Ide Cerita
Cerita Si Olin karya Ali Muakhir