Tempat yang melegenda di Bandung |
Pagi
sedikit mendung. Aku segera bersiap memenuhi janjiku. “7.30 di stasiun,” ujar
sahabatku. Kulirik jam tangan, masih 30 menit lagi kereta berangkat. Perjalanan
ke stasiun hanya 5 menit saja. Segera kulangkahkan kaki dan bergegas naik angkot.
ON
: Besok jadwalku padat. Pagi-pagi kubelanja di ABC. Lanjut, ke Garut. Terus
ke museum Mandala. Sorenya, baru ke
Geologi at Night. Gimana, jadi ikut ?
YU : Ok !
Aaagh, dugaanku meleset. Mobil ini
lama tak bergerak. Menunggu penumpang dengan sabar. Aku masih bersikap tenang.
“Masih ada waktu,” pikirku.
ON : Hei, dirimu dimana ? Kereta
sudah datang.
Segera kubalas pesan singkat itu.
Dag dig dug. Pikiranku langsung membuat rencana baru. Jika tak sempat. Kita
bertemu di pabrik saja. Kau naik kereta, aku ngangkot. Tak lama, aku segera
berlari ke stasiun. Ular panjang itu sudah terdiam tenang. Aku celingukan
mencari temanku.
PETUGAS : Mau kemana Teh ? Menjemput
?
YU : Bukan. Ke Bandung.
PETUGAS : Oh. Ada tiketnya.
YU : Sebentar ( Aku mulai panik ).
Kutelpon temanku. Kriiing.
YU
: “Tiketku sudah kau belikan ?” tanyaku.
ON
: “Belum,” jawabnya.
Segera kututup. Aku berlari ke loket. “Bandung
satu,” kataku. Seorang petugas loket memberiku selembar tiket. “Segera naik,”
ujarnya.
Aku
kembali ke gerbang kereta. Tangga naik kereta sudah dibereskan. Gawat. Aku
berlari. Hap. Berhasil ! Aku telah berada di dalam gerbong. Kucari temanku. Tak
ada.
YU
: Kriiing. Dimana ?
ON
: Gerbong putih, belakang.
Aku
segera bergerak lagi. Melintasi gerbong. Namun, kereta mulai berjalan perlahan.
Aku terduduk. Kereta cukup padat. Hampir semua kursi terisi. Wajah-wajah penuh
semangat. Penuh pengharapan berharap rejeki yang lebih baik dari hari kemarin.
Tak sampai setengah jam, kereta berhenti. Beberapa penumpang mulai turun di
stasiun pertama. Ciroyom.
Ah,
tak enak juga duduk sendirian. Aku kembali bergerak rusuh melintasi gerbong.
Kucari temanku. Beberapa pasang mata di setiap gerbong yang kulewati menatapku.
Ups, kikuk juga menjadi perhatian orang. Dikepoin hehehe…. Akhirnya, kutemukan
dirimu.
Tak
lama kemudian, kereta sampai di stasiun tujuan. Bandung. Kami segera keluar.
Melintasi jalan. Menapaki terminal. Menyebrang jalan. Lurus. Belok. Gerak
langkah kakiku terasa berat. Temanku bergerak lincah. Pagi-pagi menyusuri
Bandung yang masih sepi. Udara masih relatif bersih. Kehidupan sudah mulai
berjalan. Kios-kios di Pasar Baru mulai terbuka. Banyak orang sedang
membereskan barang dagangannya. Tumpukan barang yang bergunung-gunung di luar
mulai diangkut.
Aku
menyebrang lagi. Memasuki jalan ABC. Tak banyak mobil atau motor yang melintas.
Beberapa kendaraan sudah mulai terparkir. Kami terus melangkah ke ujung jalan.
Hidungku menangkap aroma yang menggugah selera. Khas. Gedung putih sudah mulai
terlihat. Jam menunjukkan pukul delapan lewat sepuluh menit. Kami segera
mendekati gedung tua itu.
Pabrik Kopi Aroma |
Wow.
Antriannya panjang. Baru kali ini, kulihat antrian seperti itu di sebuah toko
sebelum jam sembilan-sepuluh. Orang-orang sudah berbaris rapi. Mengular. Tua
muda. Rata-rata berjenis kelamin laki-laki. Cocok. Biasanya, kepadatan seperti
ini pada jam seperti ini hanya ada di pasar tradisional. Kami segera memasuki
barisan. Seorang nenek-nenek dengan tongkat berdiri di pintu toko. Seorang
laki-laki berjaket merah asyik mengambil gambar. Kehidupan sudah mulai aktif di
sini.
Antrian Panjang |
Perlahan,
barisan mulai maju. Satu per satu orang-orang keluar barisan sambil membawa
bungkusan. Ada juga, beberapa orang yang hanya memberikan selembar kertas, lalu
pergi. Makan bubur atau entah kemana.
Siap Action |
Hari
ini, ya hari ini kujejakkan juga kakiku di sebuah toko legendaries di Bandung.
Gaungnya sudah lama berkumandang sampai jauh. Informasinya sudah banyak terkuak
di media. Aku pernah melihat liputannya di televisi. Ah, aku lupa entah di
televisi yang mana. Sudah lama sekali. Melaluinya, aku bisa melihat kunjungan
ke sebuah pabrik kopi. Saat itu, sambil nonton, hatiku berbisik, “ Semoga suatu
saat, aku bisa mendatanginya juga.”
Hari
ini doaku dikabulkan. Temanku yang berbisnis di bidang kopi mengajakku ke sini.
Dia mendapatkan pesanan kopi untuk segera dikirim ke berbagai kota. Kopi ini
ternyata memiliki banyak penggemar. Buktinya, temanku selalu datang ke sini.
Sampai-sampai orang sana hapal dengan pesanannya. Sayangnya, pembelian dibatasi
sampai lima kilogram saja perharinya.
Biji Kopi dan Mesin |
Ada
yang tahu kunjungan kulinerku di Bandung ini kemana ? Aku menatap bangunan tua
yang masih terlihat kokoh dan bersih ini. Jendela dan pintunya masih kental
dengan nuansa masa lalu. Kayu coklat tua yang kokoh. Elegan. Dan Khas. Rasanya
jarang kulihat model kusen seperti itu lagi di zaman sekarang ini. Wangi kopi
turut menyemarakkan suasana pagi ini. Memberikan kebahagiaan dalam cuaca yang
sedang redup.
Perlahan
tapi pasti, akhirnya aku sampai juga di tempat pemesanan. Tergoda dengan kopi Aroma yang melegenda itu, aku ikut
memesannya. 1 bungkus kopi Robusta. Done, Aku segera keluar barisan. Temanku
hanya memberikan selembar kertas. Lho ? Pesanan banyak memang seperti itu.
Supaya tidak mengganggu pelanggan lain, kita bisa menunggu orang toko menyiapkan
pesanan kita. Kalau sudah siap, dia akan memberikannya pada kita.
Semula
aku ragu membeli kopi, karena punya maag. Tahu kan efeknya ? Namun, di sisi
lain, kopi hitam ada juga manfaatnya. Bisa menjaga kesegaran badan. Pembunuh
sel kanker juga ternyata. Jadi, kubeli deh. Atas dasar saran temanku, aku
memilih Robusta yang lebih bersahabat dengan perut. Pada dasarnya, di sini,
hanya ada dua jenis kopi. Robusta dan Arabika. Kopi-kopi ini berasal dari
berbagai tempat di Indonesia. Semuanya dilebur dalam dua jenis kopi tersebut.
Kecuali kopi Java dan Toraja yang bisa dipesan secara terpisah. Sebelumnya,
biji-biji kopi itu sudah disimpan lama di gudang, sehingga kopi ini memiliki
kekhasan tersendiri. Kita juga bisa memilih jenis gilingan kopi, yaitu halus, medium
atau kasar. Konon kabarnya, sebuah tempat ngopi terkenal di Bandung selalu
menerima pasokan rutin dari tempat ini.
Yang mana pilihanmu ? |
Nah,
sambil menunggu pesanan siap, kami berdua dan beberapa orang lain melakukan
kegiatan kuliner. Sarapan pagi. Lokasinya ada di depan toko tersebut. Kalau
yang ingin kenyang bisa memilih bubur ayam. Konon kabarnya, rasanya enak,
banyak topingnya dan murah. Harganya kurang dari sepuluh ribu. Pilihan lainnya
yang lebih ringan adalah kue-kue. Salah satunya adalah roti. Terlihat menggoda
juga. Namun, pagi itu, aku lebih penasaran dengan kuliner khas Bandung. Comro. Oncom dijero. Rekomendasi
beberapa orang sangat meyakinkan. Enak. Renyah. Dan, isinya juga enak oncomnya
serta tidak pedas. Pas dengan lidahku. Pas aku menggigit comro yang masih hangat
itu, rasanya memang juara.
Seiring
dengan gigitan terakhir cemilan khas Bandung tersebut, selesai juga pesanan
temanku. Lima kilogram aneka jenis kopi. Selanjutnya, kami masih akan
berkeliling di kota Bandung. Mengunjungi Rumah
Belajar Rancage (Pusat Studi Bahasa Sunda ) milik Ajip Rosidi di jalan
Garut untuk sosialisasi gerhana matahari. Setelah itu akan bergerak ke Museum Mandala Wangsit Siliwangi dan
menikmati malam di Museum Geologi
Bandung. Night At Museum. Seru
kan ? Ada yang mau ikut ? Hayuuu !
Tulisan ini diikutsertakan dalam NiaHaryanto1stgiveaway: The UnforgetableBandung
Aku paling suka Robusta. Tapi moka arabika juga enak sih :D
BalasHapusyup. gak pahit dan aman d perut
Hapuswaah... jadi pengen ke aroma kalo ke bandung :)
BalasHapushayu mbak, asyiiik ternyata. kopinya juga enak hehehe... kemarin bnyk yg bawa buat oleh2
BalasHapus