2/16/2016

MENJEMPUT AROMA


Tempat yang melegenda di Bandung


Pagi sedikit mendung. Aku segera bersiap memenuhi janjiku. “7.30 di stasiun,” ujar sahabatku. Kulirik jam tangan, masih 30 menit lagi kereta berangkat. Perjalanan ke stasiun hanya 5 menit saja. Segera kulangkahkan kaki dan bergegas naik angkot.
            ON : Besok jadwalku padat. Pagi-pagi kubelanja di ABC. Lanjut, ke Garut. Terus ke      museum Mandala. Sorenya, baru ke Geologi at Night. Gimana, jadi ikut ?
            YU : Ok !
            Aaagh, dugaanku meleset. Mobil ini lama tak bergerak. Menunggu penumpang dengan sabar. Aku masih bersikap tenang. “Masih ada waktu,” pikirku.
            ON : Hei, dirimu dimana ? Kereta sudah datang.
            Segera kubalas pesan singkat itu. Dag dig dug. Pikiranku langsung membuat rencana baru. Jika tak sempat. Kita bertemu di pabrik saja. Kau naik kereta, aku ngangkot. Tak lama, aku segera berlari ke stasiun. Ular panjang itu sudah terdiam tenang. Aku celingukan mencari temanku.
            PETUGAS : Mau kemana Teh ? Menjemput ?
            YU : Bukan. Ke Bandung.
            PETUGAS : Oh. Ada tiketnya.
            YU : Sebentar ( Aku mulai panik ).
            Kutelpon temanku. Kriiing.
YU :  “Tiketku sudah kau belikan ?” tanyaku.
ON : “Belum,” jawabnya.
 Segera kututup. Aku berlari ke loket. “Bandung satu,” kataku. Seorang petugas loket memberiku selembar tiket. “Segera naik,” ujarnya.
Aku kembali ke gerbang kereta. Tangga naik kereta sudah dibereskan. Gawat. Aku berlari. Hap. Berhasil ! Aku telah berada di dalam gerbong. Kucari temanku. Tak ada.
YU : Kriiing. Dimana ?
ON : Gerbong putih, belakang.
Aku segera bergerak lagi. Melintasi gerbong. Namun, kereta mulai berjalan perlahan. Aku terduduk. Kereta cukup padat. Hampir semua kursi terisi. Wajah-wajah penuh semangat. Penuh pengharapan berharap rejeki yang lebih baik dari hari kemarin. Tak sampai setengah jam, kereta berhenti. Beberapa penumpang mulai turun di stasiun pertama. Ciroyom.
Ah, tak enak juga duduk sendirian. Aku kembali bergerak rusuh melintasi gerbong. Kucari temanku. Beberapa pasang mata di setiap gerbong yang kulewati menatapku. Ups, kikuk juga menjadi perhatian orang. Dikepoin hehehe…. Akhirnya, kutemukan dirimu.
Tak lama kemudian, kereta sampai di stasiun tujuan. Bandung. Kami segera keluar. Melintasi jalan. Menapaki terminal. Menyebrang jalan. Lurus. Belok. Gerak langkah kakiku terasa berat. Temanku bergerak lincah. Pagi-pagi menyusuri Bandung yang masih sepi. Udara masih relatif bersih. Kehidupan sudah mulai berjalan. Kios-kios di Pasar Baru mulai terbuka. Banyak orang sedang membereskan barang dagangannya. Tumpukan barang yang bergunung-gunung di luar mulai diangkut.
Aku menyebrang lagi. Memasuki jalan ABC. Tak banyak mobil atau motor yang melintas. Beberapa kendaraan sudah mulai terparkir. Kami terus melangkah ke ujung jalan. Hidungku menangkap aroma yang menggugah selera. Khas. Gedung putih sudah mulai terlihat. Jam menunjukkan pukul delapan lewat sepuluh menit. Kami segera mendekati gedung tua itu.
Pabrik Kopi Aroma

Wow. Antriannya panjang. Baru kali ini, kulihat antrian seperti itu di sebuah toko sebelum jam sembilan-sepuluh. Orang-orang sudah berbaris rapi. Mengular. Tua muda. Rata-rata berjenis kelamin laki-laki. Cocok. Biasanya, kepadatan seperti ini pada jam seperti ini hanya ada di pasar tradisional. Kami segera memasuki barisan. Seorang nenek-nenek dengan tongkat berdiri di pintu toko. Seorang laki-laki berjaket merah asyik mengambil gambar. Kehidupan sudah mulai aktif di sini. 
Antrian Panjang

Perlahan, barisan mulai maju. Satu per satu orang-orang keluar barisan sambil membawa bungkusan. Ada juga, beberapa orang yang hanya memberikan selembar kertas, lalu pergi. Makan bubur atau entah kemana.
Siap Action
 
Kopi Aroma
Hari ini, ya hari ini kujejakkan juga kakiku di sebuah toko legendaries di Bandung. Gaungnya sudah lama berkumandang sampai jauh. Informasinya sudah banyak terkuak di media. Aku pernah melihat liputannya di televisi. Ah, aku lupa entah di televisi yang mana. Sudah lama sekali. Melaluinya, aku bisa melihat kunjungan ke sebuah pabrik kopi. Saat itu, sambil nonton, hatiku berbisik, “ Semoga suatu saat, aku bisa mendatanginya juga.”
Hari ini doaku dikabulkan. Temanku yang berbisnis di bidang kopi mengajakku ke sini. Dia mendapatkan pesanan kopi untuk segera dikirim ke berbagai kota. Kopi ini ternyata memiliki banyak penggemar. Buktinya, temanku selalu datang ke sini. Sampai-sampai orang sana hapal dengan pesanannya. Sayangnya, pembelian dibatasi sampai lima kilogram saja perharinya.
Biji Kopi dan Mesin

Ada yang tahu kunjungan kulinerku di Bandung ini kemana ? Aku menatap bangunan tua yang masih terlihat kokoh dan bersih ini. Jendela dan pintunya masih kental dengan nuansa masa lalu. Kayu coklat tua yang kokoh. Elegan. Dan Khas. Rasanya jarang kulihat model kusen seperti itu lagi di zaman sekarang ini. Wangi kopi turut menyemarakkan suasana pagi ini. Memberikan kebahagiaan dalam cuaca yang sedang redup.
Perlahan tapi pasti, akhirnya aku sampai juga di tempat pemesanan. Tergoda dengan kopi Aroma yang melegenda itu, aku ikut memesannya. 1 bungkus kopi Robusta. Done, Aku segera keluar barisan. Temanku hanya memberikan selembar kertas. Lho ? Pesanan banyak memang seperti itu. Supaya tidak mengganggu pelanggan lain, kita bisa menunggu orang toko menyiapkan pesanan kita. Kalau sudah siap, dia akan memberikannya pada kita.
Semula aku ragu membeli kopi, karena punya maag. Tahu kan efeknya ? Namun, di sisi lain, kopi hitam ada juga manfaatnya. Bisa menjaga kesegaran badan. Pembunuh sel kanker juga ternyata. Jadi, kubeli deh. Atas dasar saran temanku, aku memilih Robusta yang lebih bersahabat dengan perut. Pada dasarnya, di sini, hanya ada dua jenis kopi. Robusta dan Arabika. Kopi-kopi ini berasal dari berbagai tempat di Indonesia. Semuanya dilebur dalam dua jenis kopi tersebut. Kecuali kopi Java dan Toraja yang bisa dipesan secara terpisah. Sebelumnya, biji-biji kopi itu sudah disimpan lama di gudang, sehingga kopi ini memiliki kekhasan tersendiri. Kita juga bisa memilih jenis gilingan kopi, yaitu halus, medium atau kasar. Konon kabarnya, sebuah tempat ngopi terkenal di Bandung selalu menerima pasokan rutin dari tempat ini.
Yang mana pilihanmu ?

Nah, sambil menunggu pesanan siap, kami berdua dan beberapa orang lain melakukan kegiatan kuliner. Sarapan pagi. Lokasinya ada di depan toko tersebut. Kalau yang ingin kenyang bisa memilih bubur ayam. Konon kabarnya, rasanya enak, banyak topingnya dan murah. Harganya kurang dari sepuluh ribu. Pilihan lainnya yang lebih ringan adalah kue-kue. Salah satunya adalah roti. Terlihat menggoda juga. Namun, pagi itu, aku lebih penasaran dengan kuliner khas Bandung. Comro. Oncom dijero. Rekomendasi beberapa orang sangat meyakinkan. Enak. Renyah. Dan, isinya juga enak oncomnya serta tidak pedas. Pas dengan lidahku. Pas aku menggigit comro yang masih hangat itu, rasanya memang juara.
Seiring dengan gigitan terakhir cemilan khas Bandung tersebut, selesai juga pesanan temanku. Lima kilogram aneka jenis kopi. Selanjutnya, kami masih akan berkeliling di kota Bandung. Mengunjungi Rumah Belajar Rancage (Pusat Studi Bahasa Sunda ) milik Ajip Rosidi di jalan Garut untuk sosialisasi gerhana matahari. Setelah itu akan bergerak ke Museum Mandala Wangsit Siliwangi dan menikmati malam di Museum Geologi Bandung. Night At Museum. Seru kan ? Ada yang mau ikut ? Hayuuu !


Tulisan ini diikutsertakan dalam NiaHaryanto1stgiveaway: The UnforgetableBandung

4 komentar:

  1. Aku paling suka Robusta. Tapi moka arabika juga enak sih :D

    BalasHapus
  2. waah... jadi pengen ke aroma kalo ke bandung :)

    BalasHapus
  3. hayu mbak, asyiiik ternyata. kopinya juga enak hehehe... kemarin bnyk yg bawa buat oleh2

    BalasHapus

Featured Post

Dua Puisiku di Bulan September

                                                                                    Peristiwa Sumber Inspirasi                              ...