2/28/2016

FOTO BERCERITA




GORESAN LUKA
Aku mengawali hari ini dengan berbunga-bunga. Akhirnya, kakiku mampu menapaki pasir yang terkenal berharga mahal ini. Saat melewati pintu masuk ada rasa tak percaya bahwa pada akhirnya aku bisa sampai juga di tempat ini. Sungguh menakjubkan. Keajaiban yang tak terduga. Detik-detik berikutnya, aku bersama dengan teman-teman lainnya segera menyusuri tepian pantai yang menawarkan keindahan pagi.
“Akh, udara laut yang menyegarkan,” ujarku dalam hati.
Berkali-kali kuhirup udara pagi sambil menikmati pemandangan laut dan deburan ombak yang  memecah karang.
 “Subhanalloh, indah sekali. Rasanya ada yang berbeda dari suasana dan keindahan pantai yang sering kukunjungi,” batinku.
Kami kembali menyusuri bagian lain dari pantai ini. Pohon-pohon nyiur berbaris rapi di tepi pantai.  Pantai masih sepi.
”Hanya rombongan kami yang sudah menjengukmu sepagi ini,” pikirku sambil menatap kesombongan bukit karang yang menghadang perjalanan kami seolah-olah memberikan tantangan. Aku menaiki tangganya satu persatu.
“Mampukah aku menuju puncak?” pikirku ragu.
Banyak orang yang sudah terlebih dahulu menaklukkan tantangan.
“Pemandangan di puncak sana sangat menakjubkan!” ujar mereka.
Seolah mendapatkan suntikan semangat, aku bertekad harus sampai puncak. Dalam rombonganku kemudian muncul penjual minuman. Seorang wanita muda berambut panjang. Bertubuh kurus. Kutaksir umurnya belum genap lima belas tahun. Kulitnya kecoklatan. Bakul digendongnya seperti seorang ibu menggendong anaknya dengan samping kebat (kain). Langkah-langkahnya mantap menaiki puncak bukit. Beban berat seolah-olah tak ada. Harapan mengais rejeki mungkin menjadi pendorong utamanya. Ia meninggalkanku jauh di belakang. Aku hanya menatap punggungnya. Kepalanya tertunduk seolah-olah menghitung rejeki yang akan didapatnya hari itu dalam deretan tangga-tangga batu karang. Berjalan lurus tanpa peduli pada keadaan sekitar. Takut datang pesaing lain mungkin. Sedangkan aku dengan santai menaiki karang sambil menikmati keindahan pemandangan alam yang berada di sisi kiri tangga. Sekali-kali mengatur nafas sambil menatap pepohonan di sisi kanan. Tiba-tiba, datang seorang anak kecil setengah memaksa meminta sumbangan sambil menyodorkan kantung uang. Hatiku iba melihatnya. Aku memperhatikannya sambil berpura-pura acuh.
“Uh, dasar parelit !” tiba-tiba saja makian itu keluar dari mulutnya yang mungil. Ketus. Aku terkejut sekaligus sebal mendengarnya. Jari tanganku yang sudah menarik uang dalam saku segera kubatalkan. Kuabaikan kehadirannya. Kubiarkan ia berlalu tanpa hasil. Ia menghampiri temannya yang berambut pirang. Sambil menggerutu, ia pergi meninggalkan kami.
“Ah, ketidaksabaranmu telah menghapus rejekimu hari ini, boy!” kataku dalam hati sambil menatapnya pergi. Keibaanku bercampur dengan kemasgulan, kekecewaan. Satu goresan luka yang tertoreh dalam jiwaku. Aku melanjutkan perjalananku menuju puncak. Angin berdesir tipis menghapus keringat yang menetes. Pemandangannya sangat luar biasa. Lautan yang luas mengitari kami. Fenomena matahari terbit yang segera berlalu menghapus segala keletihan perjalanan menuju puncak. Sejauh mata memandang hanyalah pemandangan biru laut yang memanjakan mata. Kami menikmati pemandangan itu sepuasnya. Saat matahari mulai terasa panas, kamipun turun. Goresan luka itu kembali ada.
                Di bawah, kulihat banyak orang sudah berkumpul. Duduk mengitari lapangan dekat karang bolong. Suasana lebih ramai. Banyak rombongan lain yang mulai berdatangan. Para pedagang mulai beraksi. Tubuh mereka menghitam terbakar matahari. Pakaiannya sederhana. Sangat kontras dengan para wisatawan yang datang. Kostum santai yang mengabarkan kemakmuran. Jumlah pedagang tak sebanding dengan jumlah pengunjung. Mereka berebut mencari mangsa. Menghampiri para pengunjung sambil menawarkan aneka ukuran emping. Besar, sedang dan kecil-kecil. Dengan wajah memelas, mereka mencoba merayu pembeli. Tangannya dengan terampil memasukkan dan menghitung emping ke dalam kantung plastik hitam. Pedagang lain menimbang emping. Berbagai rayuan mereka sampaikan agar menarik minat pembeli. Jarang yang tertarik. Harganya terlalu mahal. Barang dagangannya tidak sebagus di tempat lain. Hanya satu dua orang yang terayu untuk membeli emping-emping itu.
                Luka itu kembali menggores batinku. Seorang pedagang berbicara dengan sangat memelas agar kami membeli empingnya. Perjalanan jauh dari rumah menuju tempat wisata ini tak berbuah manis. Kualitas dagangannya menjadi penghalang rejekinya. Emping yang tebal dan besar tak karuan. Pastinya akan keras saat digigit nanti. Belum lagi, pikiran pembeli yang sudah berumur. Mereka takut terserang asam urat jika mengkonsumsi produk khas anyer itu.
                Saat kuperhatikan dari waktu ke waktu, kusadari sesuatu. Mereka, para pedagang kecil itu tidak berilmu. Mereka menjual produk tanpa dibekali dengan ilmu pemasaran  yang bagus. Strategi jual mereka hanyalah paksaan dan menjual kisah sedih kehidupannya. Tak ada keterampilan promosi yang menarik. Tak ada survey pasar. Tak ada keahlian lainnya yang mampu meningkatkan taraf hidup mereka. Inilah tantangan sumber daya manusia di tanah air tercinta ini. Miskin harta, miskin ilmu, miskin wawasan. Kemiskinan kompleks yang menyebabkan mereka tetap berada di bawah garis kesejahteraan. Kuharap luka itu segera berlalu. Beralih rupa menjadi sebuah kemajuan. Peningkatan kualitas sumber daya manusia. Peningkatan kesejahteraan hidup rakyat. Memunculkan wajah baru berupa sebuah bangsa yang berkualitas, sehat lahir batin. Semoga !


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Featured Post

Festival Cireundeu Cimahi: Maknyus, Icip-Icip Nasi Goreng Rasi

  Halo sobat yayuarundina.com – Kali ini, kita jalan-jalan tipis di dalam kota Cimahi. Tanpa disengaja muncul informasi acara Festival Cire...