GORESAN LUKA
Aku mengawali hari ini dengan
berbunga-bunga. Akhirnya, kakiku mampu menapaki pasir yang terkenal berharga
mahal ini. Saat melewati pintu masuk ada rasa tak percaya bahwa pada akhirnya
aku bisa sampai juga di tempat ini. Sungguh menakjubkan. Keajaiban yang tak
terduga. Detik-detik berikutnya, aku bersama dengan teman-teman lainnya segera
menyusuri tepian pantai yang menawarkan keindahan pagi.
“Akh, udara laut yang
menyegarkan,” ujarku dalam hati.
Berkali-kali kuhirup udara pagi
sambil menikmati pemandangan laut dan deburan ombak yang memecah karang.
“Subhanalloh, indah sekali. Rasanya ada yang
berbeda dari suasana dan keindahan pantai yang sering kukunjungi,” batinku.
Kami kembali menyusuri bagian
lain dari pantai ini. Pohon-pohon nyiur berbaris rapi di tepi pantai. Pantai masih sepi.
”Hanya rombongan kami yang sudah
menjengukmu sepagi ini,” pikirku sambil menatap kesombongan bukit karang yang
menghadang perjalanan kami seolah-olah memberikan tantangan. Aku menaiki tangganya
satu persatu.
“Mampukah aku menuju puncak?”
pikirku ragu.
Banyak orang yang sudah terlebih
dahulu menaklukkan tantangan.
“Pemandangan di puncak sana
sangat menakjubkan!” ujar mereka.
Seolah mendapatkan suntikan
semangat, aku bertekad harus sampai puncak. Dalam rombonganku kemudian muncul
penjual minuman. Seorang wanita muda berambut panjang. Bertubuh kurus. Kutaksir
umurnya belum genap lima belas tahun. Kulitnya kecoklatan. Bakul digendongnya
seperti seorang ibu menggendong anaknya dengan samping kebat (kain). Langkah-langkahnya mantap menaiki puncak
bukit. Beban berat seolah-olah tak ada. Harapan mengais rejeki mungkin menjadi
pendorong utamanya. Ia meninggalkanku jauh di belakang. Aku hanya menatap
punggungnya. Kepalanya tertunduk seolah-olah menghitung rejeki yang akan
didapatnya hari itu dalam deretan tangga-tangga batu karang. Berjalan lurus
tanpa peduli pada keadaan sekitar. Takut datang pesaing lain mungkin. Sedangkan
aku dengan santai menaiki karang sambil menikmati keindahan pemandangan alam
yang berada di sisi kiri tangga. Sekali-kali mengatur nafas sambil menatap
pepohonan di sisi kanan. Tiba-tiba, datang seorang anak kecil setengah memaksa
meminta sumbangan sambil menyodorkan kantung uang. Hatiku iba melihatnya. Aku
memperhatikannya sambil berpura-pura acuh.
“Uh, dasar parelit !” tiba-tiba
saja makian itu keluar dari mulutnya yang mungil. Ketus. Aku terkejut sekaligus
sebal mendengarnya. Jari tanganku yang sudah menarik uang dalam saku segera
kubatalkan. Kuabaikan kehadirannya. Kubiarkan ia berlalu tanpa hasil. Ia
menghampiri temannya yang berambut pirang. Sambil menggerutu, ia pergi
meninggalkan kami.
“Ah, ketidaksabaranmu telah
menghapus rejekimu hari ini, boy!” kataku dalam hati sambil menatapnya pergi.
Keibaanku bercampur dengan kemasgulan, kekecewaan. Satu goresan luka yang
tertoreh dalam jiwaku. Aku melanjutkan perjalananku menuju puncak. Angin
berdesir tipis menghapus keringat yang menetes. Pemandangannya sangat luar
biasa. Lautan yang luas mengitari kami. Fenomena matahari terbit yang segera
berlalu menghapus segala keletihan perjalanan menuju puncak. Sejauh mata
memandang hanyalah pemandangan biru laut yang memanjakan mata. Kami menikmati
pemandangan itu sepuasnya. Saat matahari mulai terasa panas, kamipun turun.
Goresan luka itu kembali ada.
Di
bawah, kulihat banyak orang sudah berkumpul. Duduk mengitari lapangan dekat
karang bolong. Suasana lebih ramai. Banyak rombongan lain yang mulai
berdatangan. Para pedagang mulai beraksi. Tubuh mereka menghitam terbakar
matahari. Pakaiannya sederhana. Sangat kontras dengan para wisatawan yang
datang. Kostum santai yang mengabarkan kemakmuran. Jumlah pedagang tak
sebanding dengan jumlah pengunjung. Mereka berebut mencari mangsa. Menghampiri
para pengunjung sambil menawarkan aneka ukuran emping. Besar, sedang dan
kecil-kecil. Dengan wajah memelas, mereka mencoba merayu pembeli. Tangannya
dengan terampil memasukkan dan menghitung emping ke dalam kantung plastik
hitam. Pedagang lain menimbang emping. Berbagai rayuan mereka sampaikan agar
menarik minat pembeli. Jarang yang tertarik. Harganya terlalu mahal. Barang
dagangannya tidak sebagus di tempat lain. Hanya satu dua orang yang terayu
untuk membeli emping-emping itu.
Luka
itu kembali menggores batinku. Seorang pedagang berbicara dengan sangat memelas
agar kami membeli empingnya. Perjalanan jauh dari rumah menuju tempat wisata
ini tak berbuah manis. Kualitas dagangannya menjadi penghalang rejekinya.
Emping yang tebal dan besar tak karuan. Pastinya akan keras saat digigit nanti.
Belum lagi, pikiran pembeli yang sudah berumur. Mereka takut terserang asam
urat jika mengkonsumsi produk khas anyer itu.
Saat
kuperhatikan dari waktu ke waktu, kusadari sesuatu. Mereka, para pedagang kecil
itu tidak berilmu. Mereka menjual produk tanpa dibekali dengan ilmu pemasaran yang bagus. Strategi jual mereka hanyalah
paksaan dan menjual kisah sedih kehidupannya. Tak ada keterampilan promosi yang
menarik. Tak ada survey pasar. Tak ada keahlian lainnya yang mampu meningkatkan
taraf hidup mereka. Inilah tantangan sumber daya manusia di tanah air tercinta
ini. Miskin harta, miskin ilmu, miskin wawasan. Kemiskinan kompleks yang
menyebabkan mereka tetap berada di bawah garis kesejahteraan. Kuharap luka itu
segera berlalu. Beralih rupa menjadi sebuah kemajuan. Peningkatan kualitas
sumber daya manusia. Peningkatan kesejahteraan hidup rakyat. Memunculkan wajah
baru berupa sebuah bangsa yang berkualitas, sehat lahir batin. Semoga !