Entah
sudah berapa lama, aku menikmati kehidupan modern. Penerangan listrik tanpa
henti. Komputer. Ponsel Pintar. Internetan. Televisi. Kendaraan. Juga hal-hal
lain di dunia ini yang sudah melarutkanku dalam perjalanan kehidupan yang
terasa sangat cepat. Malam segera berganti pagi, siang, sore dan malam kembali
tanpa jeda. Rutinitaspun tak kalah bersaing untuk mengambil bagian di dalamnya.
Dari tahun ke tahun berjalan seiring perputaran roda zaman. Begitulah kehidupan
di abad ini. Apakah manusia berubah menjadi robot ? Tentu saja, kuberharap
tidak terjadi seperti itu. Manusia modern tetap punya hati nurani.
Tanpa diduga, perputaran waktu
terjadi secara mendadak. Tanpa disangka sebelumnya dan tidak sesuai dengan
rencana semula. Di detik ini, aku kembali ke masa silam. Lorong waktu.
Siang itu, sehabis dhzuhur,
rombongan kecil kami, para srikandi menyusuri jalanan menjauhi perkotaan. Ya,
siang itu terjadi anomali. Orang lain berbondong-bondong ke pusat kota atau tempat
keramaian untuk perayaan tahun baru. Kami justru menjauhi kota. Menjauhi
keramaian. Back to Nature. Kembali ke kampung. Kampung halaman salah seorang
srikandi. Liburan murah meriah.
Secara perlahan, suasana kota
berganti suasana pedesaan. Gedung-gedung tinggi serta pertokoan berganti
rumah-rumah biasa dan pasar tradisional. Hutan beton secara bertahap berganti
menjadi hutan asli yang hijau. Aneka pepohonan yang menghiasi jalan. Pohon
buah. Pohon pinus. Kebun teh. Secara bergantian muncul disertai dengan kekhasan
suasana kampung. Sekali-kali kutemui rumah panggung, tempat tinggal khas orang
sunda. Mobil satu per satu mulai menghilang. Mobil orang kotapun bereinkarnasi
menjadi angkutan khas pedesaan. Gaya perlente juga berubah menjadi gaya
bersahaja.
Perlahan tapi pasti, mobil kami
menjadi penguasa tunggal jalanan. Hanya sekali-kali berpapasan dengan motor
atau angkutan pedesaan. Keramaian berubah sunyi. Perkampungan berganti
pepohonan yang menemani. Selama beberapa waktu, kesunyian itu menjadi penghias
perjalanan kami. Hanya celoteh dan candaan kamilah yang sedikit memberi warna
keramaian. Di luar, hanya pohon-pohon membisu yang berlari berkejaran.
Menjelang tempat tujuan, sedikit
hiasan kota mulai mewarnai. Supermarket kecil ada, kami temui. Sedikit memberi
kelegaan. Dindingnya yang putih bersih terasa kontras dengan suasana kampung
yang identik dengan kemuraman. Kemodernan juga muncul dengan berdirinya sebuah
kantor telekomunikasi kecil di sudut jalan. Mobilpun segera berhenti. Telah
sampai pada persimpangan. Tamanjaya dan Bunijaya. Gununghalu Cililin. Kabupaten
Bandung Barat. Kami menunggu kabar selanjutnya dari tuan rumah.
Tak sampai sejam, kabar itupun
datang. Selanjutnya, petualangan di kampungpun dimulai. Mobil merah yang kami
gunakan tak bisa terus mendampingi sampai rumah tujuan. Harus ditinggalkan di
sebuah balai desa. Berikutnya ? Hipa handre… handre… eng… ing… eng… kami
beriringan menggunakan ojek menuju rumah Bapak H. Sodikin di Tamanjaya.
Setelah sekian lama kutinggalkan,
aku berjejak lagi di kampung. Jalanan berbatu besar dan kasar mulai kujejaki.
Pohon-pohon awi (bambu) mulai menyapa. Jalanan tanahpun tak mau kalah. Ada
kubangan-kubangan besar dan cukup dalam di beberapa tempat. Naik turun.
Mesin-mesin perontok bukit belum menjamah daerah ini.
Jika di kota, yang kutakutkan adalah
kecelakaan mobil. Di sini, di kampung, yang kutakutkan dalam perjalanan ini
adalah jatuh terjerembab dari ojek atau terbanting masuk lembah di pinggir
jalan. Kaki terbakar knalpot panas dan tubuh penuh lumpur coklat. Aib nasional.
Hal
lain yang bikin sport jantung adalah saat mobil angkutan desa (bak terbuka)
datang dari arah berlawanan. Jalan cukup kecil. Hanya untuk satu mobil. Kami
bertemu di belokan. Mobil itu mengalah mundur dan menepi. Kami menyisiri
pinggir jalan dengan lembah di sisi kiri. Alhamdulillah mulus. Papasan
terlewati dengan sempurna dan selamat. Tantangan lain adalah mobil mulus bisa
ringsek akibat antukan batu besar di sepanjang jalan. Makanya si merah dijegal di
balai desa. Untuk sampai di rumah Pak H. Sodikin hanya mobil pedesaan atau
mobil yang tinggi. Bisa melebihi tonjolan-tonjolan batu besar di jalan yang
bisa terus menemani.
Setelah melewati, jalanan kampung,
akhirnya, kami sampai di tempat tujuan. Sebuah rumah sederhana menghadapi
pesawahan dan perkebunan teh. Asri. Sejuk. Tentram. Bersih. Perpaduan rumah
desa dan sedikit kota. Rumah kayu dengan teras keramik.
Suasana sore, memberikan banyak
udara segar dan kesejukan di mata. Buah sirsak dan lemon menghiasi halaman. Tangan
dingin sang mpunya rumah memberikan kesuburan pada aneka tanaman yang ditanam
di tanah atau polibag bekas bungkus sabun dan sejenisnya. Halaman menjadi
berwarna dengan aneka tumbuhan dan bungkus-bungkus bekas yang berwarna-warni.
Memasuki rumah, terasa suasana yang
berbeda. Biru berpadu kuning, sungguh serasi dipandang mata. Rumah kayu itu
juga berlantai kayu yang terawat bersih. Memberikan kehangatan di tengah cuaca
dingin.
Bagian yang paling menarik adalah
dapur. Setiap pagi dan sore hari, kami selalu berkumpul di sini. Dua kali pagi
dan dua kali sore. Bersantai-santai. Bercengkrama. Siduru sambil duduk di lantai kayu atau jojodog. Cahaya api menjadi incaran kami untuk menghangatkan diri. Di
sinilah, kembali kutemukan hawu dan seeng
yang sudah menghilang dari peradaban.
Seeng dan Hawu |
Abu panas yang menumpuk seolah
mengundang kami untuk ngabubuy sampeu
atau hui. Sayang, kami luput membawa umbi-umbian tersebut. Sayang seribu
sayang juga, tuan rumah juga sudah membelah sampeu
untuk digoreng.
Alhasil makanan kami selama di
kampung itu adalah kopi. Opak. Kicimpring. Keripik singkong. Ulen. Goreng
singkong. Gembel. Jagung rebus. Kadedemes. Lalab sambal. Tahu goreng. Opor ayam
kampung. Asin peda. Petai dan jengkol. Dipadu dengan nasi putih atau nasi goreng.
Hmmm… nikmat dimakan secara bergantian. Pagi, siang, sore dan malam hari.
Lupakan diet ! Enaknya lagi, di sini bahan makanan dan bumbu berasal langsung
dari kebun. Petik. Cuci. Langsung olah. Fresh
from the oven. Gizinya masih terkandung sempurna. Sehat, kan ?
Menu khas yang baru kurasakan saat
libur tahun baru kemarin adalah gembel
dan kadedemes. Gembel merupakan opieun ( kudapan ) yang terbuat dari aci (
sagu ) yang diolah menggunakan bumbu sederhana, garam dan masako ditambah air
sedikit demi sedikit. Sekilas adonannya mirip cireng. Bedanya, gembel dimasak
dalam bentuk terurai atau bubuk. Sedangkan cireng berbentuk persegi.
Kadedemes merupakan salah satu lauk
pauk sederhana yang terbuat dari kulit singkong. Kulit itu direndam air selama
beberapa jam agar terasa empuk. Kemudian, dipotong-potong memanjang sepanjang
telunjuk dengan lebar setengah sentimeter. Setelah itu, ditumis dengan
menggunakan bumbu seperti: bawang putih, bawang merah, daun bawang, tomat,
cabe, cabe rawit, garam, dan penyedap rasa. Sungguh menggoda rasa !
Setelah makan dengan kadedemes
inilah, pagi itu, sekitar pukul delapan pagi, kami melakukan perjalanan ke CurugMalela. Kembali berojeg ria. Pulang pergi.
Liburan tahun baru ini terasa sangat
berkesan dengan suasana yang berbeda. Nuansa kampung yang asri dan bersih.
Walau kadang saat siduru, hidung kami
digelitik bau hayam, jika pintu
sebelah terbuka. Atau terkadang keriuhan cericit ayam mewarnai keheningan. Yup.
Kolong rumah panggung ini dipadukan dengan kandang hayam, di sebagian rumah. Mirip
longyam. Kandang hayam di atas kolam ikan (balong). Keriuhan lainnya adalah
tingkah kucing yang selalu setia menemani siduru.
Bahkan mengagetkan kami dengan meloncat ke para-para. Yang menarik lainnya
adalah di sini, kami masih bisa mendengar suara-suara binatang, seperti
tonggeret. Benar-benar ndeso.
Perayaan
tahun baru kali ini terasa sepi. Hening bersahaja. Tanpa suara petasan dan
kembang api yang sering memekakkan telinga. Hidup kembali seperti masa lalu
tanpa fasilitas dunia modern. Tak ada sinyal yang kenceng. Tak ada komputer.
Hanya suara radio yang setia mengisi waktu kami dari pagi sampai malam. Syahdu
dengan lantunan ayat suci Al Quran dan ceramah pencerah hati dari ustad
ternama. Kenikmatan dan refreshing yang berbeda. Hidup sejenak di kampung. Back To Nature.
Kami
tinggalkan kemewahan dunia kota. Kami tinggalkan fasilitas listrik. Kami
bereduksi dengan kebersahajaan kehidupan kampung. Menikmati hidup tanpa beban.
Menanggalkan segala gundah di hati. Kembali pada kebersamaan. Ibu dan anak.
Teman dan sahabat. Merajut dan merenda rindu. Kembali pada kedekatan hati yang
telah usang dimakan keegoisan. Kesendirian menjelma kebersamaan. Kesepian
beralih rupa dalam pertemanan. Kepiluan terobati keceriaan dan perhatian.
Inilah liburan yang hakiki. Segar. Sehat lahir batin. Liburan yang murah
meriah. Ringan di kantong. Back to nature. Kembali ke kampung. Kembali pada
kesejatian dan kehakikian manusia. Manusia sebagai makhluk sosial dan
berbudaya. Sungguh, indah terasa !
Kosa kata Bahasa Sunda
:
1. Siduru
= memanaskan tubuh di perapian
2. Jojodog
= bangku kecil dan pendek sebagai tempat duduk dalam posisi seperti jongkok.
3. Hayam
= ayam
4. Hawu
= perapian = tungku
5. Seeng
= alat masak yang terbuat dari baja. Tinggi. Biasa digunakan untuk memasak nasi
atau mengukus.
6. Ngabubuy =
salah satu cara memasak tradisional dengan jalan memasukkan bahan makanan (
sampeu dan hui ) ke dalam abu panas. Ditutup sedemikian rupa selama beberapa
menit atau jam. Setelah matang, aroma khas akan mengundang selera. Bahan
makanan tersebut terasa empuk dan kering.
7. Sampeu = singkong
8. Hui = ubi
saya jug alebih suka liburan ke alam :)
BalasHapusmemang lebih asyik ya mbak. lebih fresh dan lebih irit hehehe...
BalasHapus