1/10/2016

LIBURAN MURAH MERIAH : BACK TO NATURE



Entah sudah berapa lama, aku menikmati kehidupan modern. Penerangan listrik tanpa henti. Komputer. Ponsel Pintar. Internetan. Televisi. Kendaraan. Juga hal-hal lain di dunia ini yang sudah melarutkanku dalam perjalanan kehidupan yang terasa sangat cepat. Malam segera berganti pagi, siang, sore dan malam kembali tanpa jeda. Rutinitaspun tak kalah bersaing untuk mengambil bagian di dalamnya. Dari tahun ke tahun berjalan seiring perputaran roda zaman. Begitulah kehidupan di abad ini. Apakah manusia berubah menjadi robot ? Tentu saja, kuberharap tidak terjadi seperti itu. Manusia modern tetap punya hati nurani.
            Tanpa diduga, perputaran waktu terjadi secara mendadak. Tanpa disangka sebelumnya dan tidak sesuai dengan rencana semula. Di detik ini, aku kembali ke masa silam. Lorong waktu.
            Siang itu, sehabis dhzuhur, rombongan kecil kami, para srikandi menyusuri jalanan menjauhi perkotaan. Ya, siang itu terjadi anomali. Orang lain berbondong-bondong ke pusat kota atau tempat keramaian untuk perayaan tahun baru. Kami justru menjauhi kota. Menjauhi keramaian. Back to Nature. Kembali ke kampung. Kampung halaman salah seorang srikandi. Liburan murah meriah.
            Secara perlahan, suasana kota berganti suasana pedesaan. Gedung-gedung tinggi serta pertokoan berganti rumah-rumah biasa dan pasar tradisional. Hutan beton secara bertahap berganti menjadi hutan asli yang hijau. Aneka pepohonan yang menghiasi jalan. Pohon buah. Pohon pinus. Kebun teh. Secara bergantian muncul disertai dengan kekhasan suasana kampung. Sekali-kali kutemui rumah panggung, tempat tinggal khas orang sunda. Mobil satu per satu mulai menghilang. Mobil orang kotapun bereinkarnasi menjadi angkutan khas pedesaan. Gaya perlente juga berubah menjadi gaya bersahaja.
            Perlahan tapi pasti, mobil kami menjadi penguasa tunggal jalanan. Hanya sekali-kali berpapasan dengan motor atau angkutan pedesaan. Keramaian berubah sunyi. Perkampungan berganti pepohonan yang menemani. Selama beberapa waktu, kesunyian itu menjadi penghias perjalanan kami. Hanya celoteh dan candaan kamilah yang sedikit memberi warna keramaian. Di luar, hanya pohon-pohon membisu yang berlari berkejaran.
            Menjelang tempat tujuan, sedikit hiasan kota mulai mewarnai. Supermarket kecil ada, kami temui. Sedikit memberi kelegaan. Dindingnya yang putih bersih terasa kontras dengan suasana kampung yang identik dengan kemuraman. Kemodernan juga muncul dengan berdirinya sebuah kantor telekomunikasi kecil di sudut jalan. Mobilpun segera berhenti. Telah sampai pada persimpangan. Tamanjaya dan Bunijaya. Gununghalu Cililin. Kabupaten Bandung Barat. Kami menunggu kabar selanjutnya dari tuan rumah.
            Tak sampai sejam, kabar itupun datang. Selanjutnya, petualangan di kampungpun dimulai. Mobil merah yang kami gunakan tak bisa terus mendampingi sampai rumah tujuan. Harus ditinggalkan di sebuah balai desa. Berikutnya ? Hipa handre… handre… eng… ing… eng… kami beriringan menggunakan ojek menuju rumah Bapak H. Sodikin di Tamanjaya.
            Setelah sekian lama kutinggalkan, aku berjejak lagi di kampung. Jalanan berbatu besar dan kasar mulai kujejaki. Pohon-pohon awi (bambu) mulai menyapa. Jalanan tanahpun tak mau kalah. Ada kubangan-kubangan besar dan cukup dalam di beberapa tempat. Naik turun. Mesin-mesin perontok bukit belum menjamah daerah ini.
            Jika di kota, yang kutakutkan adalah kecelakaan mobil. Di sini, di kampung, yang kutakutkan dalam perjalanan ini adalah jatuh terjerembab dari ojek atau terbanting masuk lembah di pinggir jalan. Kaki terbakar knalpot panas dan tubuh penuh lumpur coklat. Aib nasional.
Hal lain yang bikin sport jantung adalah saat mobil angkutan desa (bak terbuka) datang dari arah berlawanan. Jalan cukup kecil. Hanya untuk satu mobil. Kami bertemu di belokan. Mobil itu mengalah mundur dan menepi. Kami menyisiri pinggir jalan dengan lembah di sisi kiri. Alhamdulillah mulus. Papasan terlewati dengan sempurna dan selamat. Tantangan lain adalah mobil mulus bisa ringsek akibat antukan batu besar di sepanjang jalan. Makanya si merah dijegal di balai desa. Untuk sampai di rumah Pak H. Sodikin hanya mobil pedesaan atau mobil yang tinggi. Bisa melebihi tonjolan-tonjolan batu besar di jalan yang bisa terus menemani.
            Setelah melewati, jalanan kampung, akhirnya, kami sampai di tempat tujuan. Sebuah rumah sederhana menghadapi pesawahan dan perkebunan teh. Asri. Sejuk. Tentram. Bersih. Perpaduan rumah desa dan sedikit kota. Rumah kayu dengan teras keramik.
            Suasana sore, memberikan banyak udara segar dan kesejukan di mata. Buah sirsak dan lemon menghiasi halaman. Tangan dingin sang mpunya rumah memberikan kesuburan pada aneka tanaman yang ditanam di tanah atau polibag bekas bungkus sabun dan sejenisnya. Halaman menjadi berwarna dengan aneka tumbuhan dan bungkus-bungkus bekas yang berwarna-warni.

            Memasuki rumah, terasa suasana yang berbeda. Biru berpadu kuning, sungguh serasi dipandang mata. Rumah kayu itu juga berlantai kayu yang terawat bersih. Memberikan kehangatan di tengah cuaca dingin.
            Bagian yang paling menarik adalah dapur. Setiap pagi dan sore hari, kami selalu berkumpul di sini. Dua kali pagi dan dua kali sore. Bersantai-santai. Bercengkrama. Siduru sambil duduk di lantai kayu atau jojodog. Cahaya api menjadi incaran kami untuk menghangatkan diri. Di sinilah, kembali kutemukan hawu dan seeng yang sudah menghilang dari peradaban. 
Seeng dan Hawu
             Abu panas yang menumpuk seolah mengundang kami untuk ngabubuy sampeu atau hui. Sayang, kami luput membawa umbi-umbian tersebut. Sayang seribu sayang juga, tuan rumah juga sudah membelah sampeu untuk digoreng.
            Alhasil makanan kami selama di kampung itu adalah kopi. Opak. Kicimpring. Keripik singkong. Ulen. Goreng singkong. Gembel. Jagung rebus. Kadedemes. Lalab sambal. Tahu goreng. Opor ayam kampung. Asin peda. Petai dan jengkol. Dipadu dengan nasi putih atau nasi goreng. Hmmm… nikmat dimakan secara bergantian. Pagi, siang, sore dan malam hari. Lupakan diet ! Enaknya lagi, di sini bahan makanan dan bumbu berasal langsung dari kebun. Petik. Cuci. Langsung olah. Fresh from the oven. Gizinya masih terkandung sempurna. Sehat, kan ?
            Menu khas yang baru kurasakan saat libur tahun baru kemarin adalah gembel dan kadedemes. Gembel merupakan opieun ( kudapan ) yang terbuat dari aci ( sagu ) yang diolah menggunakan bumbu sederhana, garam dan masako ditambah air sedikit demi sedikit. Sekilas adonannya mirip cireng. Bedanya, gembel dimasak dalam bentuk terurai atau bubuk. Sedangkan cireng berbentuk persegi.
            Kadedemes merupakan salah satu lauk pauk sederhana yang terbuat dari kulit singkong. Kulit itu direndam air selama beberapa jam agar terasa empuk. Kemudian, dipotong-potong memanjang sepanjang telunjuk dengan lebar setengah sentimeter. Setelah itu, ditumis dengan menggunakan bumbu seperti: bawang putih, bawang merah, daun bawang, tomat, cabe, cabe rawit, garam, dan penyedap rasa. Sungguh menggoda rasa !
            Setelah makan dengan kadedemes inilah, pagi itu, sekitar pukul delapan pagi, kami melakukan perjalanan ke CurugMalela. Kembali berojeg ria. Pulang pergi.
            Liburan tahun baru ini terasa sangat berkesan dengan suasana yang berbeda. Nuansa kampung yang asri dan bersih. Walau kadang saat siduru, hidung kami digelitik bau hayam, jika pintu sebelah terbuka. Atau terkadang keriuhan cericit ayam mewarnai keheningan. Yup. Kolong rumah panggung ini dipadukan dengan kandang hayam, di sebagian rumah. Mirip longyam. Kandang hayam di atas kolam ikan (balong). Keriuhan lainnya adalah tingkah kucing yang selalu setia menemani siduru. Bahkan mengagetkan kami dengan meloncat ke para-para. Yang menarik lainnya adalah di sini, kami masih bisa mendengar suara-suara binatang, seperti tonggeret. Benar-benar ndeso.
Perayaan tahun baru kali ini terasa sepi. Hening bersahaja. Tanpa suara petasan dan kembang api yang sering memekakkan telinga. Hidup kembali seperti masa lalu tanpa fasilitas dunia modern. Tak ada sinyal yang kenceng. Tak ada komputer. Hanya suara radio yang setia mengisi waktu kami dari pagi sampai malam. Syahdu dengan lantunan ayat suci Al Quran dan ceramah pencerah hati dari ustad ternama. Kenikmatan dan refreshing yang berbeda. Hidup sejenak di kampung. Back To Nature.
Kami tinggalkan kemewahan dunia kota. Kami tinggalkan fasilitas listrik. Kami bereduksi dengan kebersahajaan kehidupan kampung. Menikmati hidup tanpa beban. Menanggalkan segala gundah di hati. Kembali pada kebersamaan. Ibu dan anak. Teman dan sahabat. Merajut dan merenda rindu. Kembali pada kedekatan hati yang telah usang dimakan keegoisan. Kesendirian menjelma kebersamaan. Kesepian beralih rupa dalam pertemanan. Kepiluan terobati keceriaan dan perhatian. Inilah liburan yang hakiki. Segar. Sehat lahir batin. Liburan yang murah meriah. Ringan di kantong. Back to nature. Kembali ke kampung. Kembali pada kesejatian dan kehakikian manusia. Manusia sebagai makhluk sosial dan berbudaya. Sungguh, indah terasa !

Kosa kata Bahasa Sunda :
1.      Siduru = memanaskan tubuh di perapian
2.      Jojodog = bangku kecil dan pendek sebagai tempat duduk dalam posisi seperti jongkok.
3.      Hayam = ayam
4.      Hawu = perapian = tungku
5.      Seeng = alat masak yang terbuat dari baja. Tinggi. Biasa digunakan untuk memasak nasi atau mengukus.
6.      Ngabubuy = salah satu cara memasak tradisional dengan jalan memasukkan bahan makanan ( sampeu dan hui ) ke dalam abu panas. Ditutup sedemikian rupa selama beberapa menit atau jam. Setelah matang, aroma khas akan mengundang selera. Bahan makanan tersebut terasa empuk dan kering.
7.      Sampeu = singkong
8.      Hui = ubi
           

2 komentar:

Featured Post

Dua Puisiku di Bulan September

                                                                                    Peristiwa Sumber Inspirasi                              ...