Pagi ini, awan
sedikit menghitam. Apakah itu kabut asap seperti berita-berita yang sedang
trend belakangan ini ? Entahlah. Yang jelas, pagi ini di saat musim kemarau,
tapi cuaca seperti ada di musim penghujan. Matahari yang biasa garang menyengat
tampak melunak. Pagi yang biasa terang terlihat seperti mendung. Apakah awanpun menangisi kondisi alam yang
sudah rusak parah akibat ulah dan keserakahan manusia ? Apakah awanpun
menangisi para korban kabut asap yang mulai berjatuhan satu per satu, mulai dari
balita ?
Entahlah. Yang
jelas, burung-burung pagi ini masih bernyanyi riang. Bercengkrama dengan
sahabat-sahabatnya di atas rentangan kabel listrik dan telepon yang ada di
kotaku. Sebagian lagi, beterbangan menyambut awan yang sedang berduka, mendung.
Kulihat burungpun tak seriang tahun lalu. Kulihat mereka menanggung beban
kesedihan. Kicauannya tak seriang tahun-tahun sebelumnya. Parau. Mungkinkah mereka
sama dengan awan ?
Entahlah. Yang jelas jalanan pagi ini sedikit
sepi. Tak seramai dan sepadat kemarin, ketika banyak warga merayakan kemenangan
Persib. Mobil hanya lewat satu-satu dengan kondisi kosong atau hanya satu, dua
penumpang. Tak sepadat tahun-tahun sebelumnya. Jalannya pun tak secepat tahun
lalu, seolah-olah mereka takut mengotori awan yang sedang berduka. Enggan
menambah kabut gelap dari tubuhnya. Namun, mereka harus tetap berjalan demi
memenuhi hajat tuannya. Dilemakah mereka ?
Entahlah. Yang
jelas orang-orangpun tak sebahagia dulu.
Biasanya mereka menyambut pagi dengan riang. Mengelilingi tukang bubur
untuk mengisi perut mereka yang kosong. Celotehan tukang bubur yang berkumis
tebal itu membuat pagi dipenuhi gelak tawa dan canda ria. Namun, kini,
keriangan itu menguap berganti dengan sepi yang tak berujung. Melukiskan
kesedihan tukang bubur yang kehilangan pelanggan. Melukiskan pelanggan yang
meratapi kekosongan kantong baju mereka. Recehpun susah didapatkannya. Apakah
mereka sesedih awan ? Entahlah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar