2/21/2015

RACUN SEKOLAH BOB SADINO



Penulis Sri Rahayu Setiawati, S.Pd


      Sekolah akan menjadi racun, jika pembelajaran hanya berada pada aspek kognitif saja atau teori belaka. Namun, racun itu akan berubah menjadi madu jika kita memadukan ilmu (teori), praktek (kebutuhan lapangan) dan sikap positif.

      Bagaimana reaksi Anda ketika membaca judul tulisan ini ? Terus terang, perasaan saya sangat tak menentu. Kaget, khawatir, heran, marah, takut, galau dan sebagainya. Sebagai orang yang berada di dunia sekolah, pikiran yang muncul pertama kali ketika membacanya adalah pernyataan seperti itu ditakutkan akan membenarkan tindakan siswa
 yang senang membolos. Siswa siluman yang tidak mau bersekolah tapi ingin lulus atau naik kelas. Siswa malas yang ingin bersantai-santai saja. Benar-benar racun bagi dunia pendidikan. Siswa yang memiliki masalah mental tentu akan membenarkan tindakannya dengan pernyataan tersebut dan mereka akan tetap berada di zona salahnya itu. Sangat menakutkan, terlebih lagi jika mereka juga bukan pembelajar sejati.
      Namun, setelah  membaca tulisan wawancara seorang blogger dengan Bob Sadino, penulis merasa lega. Mengapa ? Coba perhatikan kutipan wawancara berikut ini :
      Rencana itu buat orang yang belajar manajemen. Menurutnya, rencana itu linear, mulai dari A, B, C, D sampai Z. Sedangkan hidup atau bisnis itu jalannya berkelok-kelok, tidak ada yang lurus dan terlalu urut. Sayangnya, rencana-rencana itulah yang diajarkan di sekolah. Padahal dalam pandangannya rencana itu adalah racun. Jadi, sekolah itu meracuni otak Anda, ujarnya bikin kaget.
Selengkapnya silakan nanti dibaca langsung saja ya !
(Sumber : Idzma Mahayattika, wikarya net )
    Menurut penulis, pernyataan dari pengusaha Bob Sadino itu merupakan kritikan sekaligus masukan positif untuk dunia pendidikan. Pernyataan itu sejalan dengan konsep link and match, kurtilas dan CBSA.
      Di zaman modern ini, sekolah bukan lagi sebagai pencetak hapalan. Sekolah harus menghasilkan sebuah pembelajaran yang berbasis teori (ilmu), praktek dan mengembangkan sikap positif. Siswa tidak lagi menjadi sekedar pelahap teori yang diberikan oleh guru. Namun, mereka harus aktif mencari, mencerna dan mempraktekkannya. 5 M. Mengamati. Menanya. Mengumpulkan Data. Mengasosiasi atau Meniru. Mengomunikasikan atau mempraktekkannya. Teori harus sejalan dengan praktek atau pekerjaan di lapangan itu bisa menjadi ilmu-ilmu baru. Inilah yang seharusnya menjadi ruh pembelajaran. Siswa bukan hanya belajar di sekolah saja atau di dalam kelas tapi harus terjun ke lapangan. Siswa bukan hanya
menghapal teorinya saja, tetapi harus melihat dan memahami perwujudan ilmu  itu dalam kehidupan yang nyata. Dengan demikian, ada kesinambungan dan kontinuitas antara ilmu atau teori dan kehidupan nyata atau kebutuhan di lapangan. Ilmu dimanfaatkan untuk memecahkan masalah-masalah di lapangan. Sebaliknya, siswapun bisa mendapatkan ilmu yang lebih komprehensif dari lapangan.
      Pernyataan Bob Sadino itu juga berarti tantangan untuk siswa dan guru. Siswa ditantang agar belajar secara aktif. Mereka bukan lagi sebagai obyek pembelajaran tapi menjadi subyek pembelajaran. Merekalah pelaku utama dalam sebuah proses belajar. Mereka menerima atau mencari ilmu untuk dikaji, dieksplorasi, dipahami, dikritisi, dan diterapkan di lapangan. Dengan demikian, ilmu itu akan semakin berkembang, bermakna dan bermanfaat untuk kehidupan siswa di masa sekarang dan masa depannya. Berbeda hasilnya, jika siswa pasif. Hanya menerima pelajaran saja.  Ilmu itu hanyalah sebatas angka yang akan tertera di dalam rapot atau ijasah siswa nantinya. Apa makna dan manfaatnya ? Angka hanya berperan mungkin  saat pendaftaran kelanjutan sekolah saja. Setelah itu, pasti akan disimpan  di lemari sampai ajal menjemput atau hilang tanpa jejak. Inikah tujuan dan wajah pendidikan di Indonesia ?
Pembelajaran Aktif


     Setelah membaca teks wawancara tadi secara seksama, penulis menyimpulkan bahwa Bob Sadino itu termasuk pembelajar sejati. Belajar untuk menjadi seorang pengusaha sukses. Beliau belajar langsung di lapangan, juga belajar dari pengalaman hidupnya. Tindakanlah yang utama, bukan teori atau rencana. Dari sanalah, Bob
Sadino mendapatkan ilmu yang tak terbatas. Beliau senantiasa berpikir kreatif untuk mendapatkan peluang. Beliau juga termasuk pekerja keras, gigih, ulet, dan berharap orang lain atau calon pengusaha pun berani bertindak seperti itu. Bob Sadino menginginkan mereka bisa belajar secara mandiri bukan hanya pandai meniru langkah-langkah yang telah dilakukannya. Karakter seperti inilah yang seharusnya ada pada seorang pembelajar, khususnya siswa. Para siswa harus berani beraksi, mau mencoba dan melakukan sesuatu, berdarah-darah demi sebuah keberhasilan, berusaha untuk mencipta bukan menyalin apalagi mencontek.
           Bagi guru, bisa jadi pernyataan itu merupakan sebuah angin segar. Guru tidak akan terlalu direpotkan dengan urusan administrasi. Perencanaan pembelajaran itu perlu tapi bukan yang utama. Penilaian utama kinerja guru itu haruslah terpusat kepada proses pembelajaran. Bagaimanakah guru menciptakan sebuah proses pembelajaran yang berkualitas ? Melaksanakan sebuah proses pembelajaran yang berkualitas di kelas bukan perkara gampang. Guru harus menghadapi karakter siswa yang beragam, materi yang bervariasi, waktu yang terbatas dan berbagai kendala lainnya. Jika guru hanya berteori saja, pekerjaannya akan sangat mudah sekali. Beliau tinggal membaca materi, menyampaikannya kepada siswa, dan selesailah sudah tugasnya. Setelah itu, apa yang terjadi ? Pastinya adalah sebuah kesia-siaan besar. Bukan nol tapi kosong. Itu istilah matematikanya.
      Memadukan teori dan praktek bukan perkara mudah. Guru harus benar-benar memahami ilmunya. Memiliki wawasan yang luas dan kaya dengan pengalaman. Jika kriteria itu ada pada guru, maka beliau akan mampu mengawinkan teori dan praktek secara menarik. Namun, jika tidak, maka beliau akan terjebak pada teori yang rumit dan membosankan. Guru harus benar-benar mengetahui benang merah antara teori dan permasalahan di lapangan. Hal itulah yang akan dikembangkan menjadi sebuah proses pembelajaran yang bermakna, berhasil dan berdaya guna. Jika demikian, siswa akan memiliki pengetahuan yang komprehensif dan mendalam. Setelah itu, mereka tinggal memiliki jam terbang untuk mengembangkannya, atau bahkan berinovasi untuk menciptakan hal-hal yang baru.
                 Jadi, sekolah akan menjadi racun, jika pembelajaran hanya berada pada aspek kognitif saja atau teori belaka. Namun, racun itu akan berubah menjadi madu jika kita memadukan ilmu (teori), praktek (kebutuhan lapangan) dan sikap positif.
Di samping itu, sudah saatnya bagi sekolah untuk menghilangkan citra menara gading. Sebuah istana eksklusif yang jauh dari masyarakatnya. Kini, pihak sekolah harus banyak menjalin kerjasama dengan berbagai pihak agar siswa mendapatkan sumber belajar yang bervariasi. Dalam undang-undang sistem pendidikan nasional (sisdiknas) dikatakan bahwa sekolah bukanlah satu-satunya sumber belajar, masyarakatpun bisa menjadi sumber belajar untuk siswa.
            Keragaman ilmu pengetahuan, keahlian dan keterampilan itu tidak dimiliki oleh seseorang saja, tapi oleh banyak orang. Oleh karena itu, mereka bisa memberikan ilmu, keahlian dan pengalamannya itu kepada para siswa. Seperti dalam program Indonesia Mengajar, siapapun dengan keahlian apapun bisa berbagi dengan anak-anak sekolah dasar. Walaupun sesaat, tapi bagi siswa maknanya akan terasa sangat dalam. Bisa jadi hal tersebut menjadi motivasi kuat bagi perjalanan hidup mereka selanjutnya.
            Dengan sistem pembelajaran seperti itu, kelak di kemudian hari, sekolah tidak akan menjadi racun bagi siswanya, tapi menjadi kawah candradimuka yang membuka gerbang keberhasilan hidup para anak didiknya. Proses belajar menjadi sesuatu yang seharusnya menjadi bagian dalam perjalanan hidup para siswanya. Mereka akan merasa senang dan butuh untuk belajar selamanya.
            Dengan pemikiran seperti itu pulalah, kini saatnya bagi dunia pendidikan kita, sekolah khususnya untuk mengakomodasi multikecerdasan manusia. Manusia ( siswa ) memiliki potensi kecerdasan, minat dan bakat yang berbeda-beda. Ada yang cerdas dalam ilmu logis matematis, bahasa, seni, kinestetis, dan sebagainya. Namun, dalam proses pembelajaran, hal ini belum terserap secara maksimal. Saat ini, khususnya di pendidikan dasar, siswa masih dijajah untuk mempelajari bidang-bidang yang tak dikuasainya atau bahkan tak disenanginya. Akibatnya muncul banyak permasalahan. Apakah ini racun sekolah ? Di dalam pendidikan dasar, perlukah siswa mempelajari semua bidang dengan penguasaan yang sama ? Penguasaan itu diwujudkan dalam bentuk nilai minimal yang harus diraih oleh siswa (KKM). Haruskah ada pembagian prosentasi bagi multikecerdasan itu, seperti masalah sikap dalam kurikulum terbaru, yaitu kurikulum 2013 (kurtilas) ? Dalam kurtilas, pembentukan sikap menjadi prioritas utama dalam proses belajar mengajar di jenjang pendidikan dasar. Prioritas utama ini ada pada jenjang sekolah dasar. Semakin tinggi jenjang pendidikan siswa, maka prosentase sikap itu akan semakin mengecil dan teori semakin membesar.
 Dapatkah siswa hanya fokus untuk belajar ilmu logis matematis saja sedini mungkin ? Dalam hal ini, siswa hanya belajar ilmu matematika atau bidang yang serumpun saja misalnya. Mirip dengan pembinaan olimpiade yang dilakukan oleh Prof. Surya. Bisakah hal ini diterapkan untuk pengakomodasian multikecerdasan siswa ? Bagaimana dampak positif dan negatifnya, jika siswa memiliki spesialisasi proses pembelajaran sesuai dengan kecerdasan yang dimilikinya itu ? Apa pengaruh yang signifikan terhadap kehidupan siswa di masa mendatang ?
Hal ini mungkin perlu pengkajian secara sungguh-sungguh, agar tetap bermanfaat bagi siswa dan tidak merugikan masa depan mereka. Hidup yang dijalani oleh siswa itu hanya satu kali saja, jika mereka menjadi kelinci percobaan terus menerus tentunya dikhawatirkan akan terjadi dampak yang tidak diharapkan.
Seandainya siswa mengambil spesialisasi proses pembelajaran, akankah mereka tetap bertahan dalam kehidupan selanjutnya? Kembali pada kata-kata Bob Sadino, hidup itu tidak selalu lurus dan urut tapi berkelok-kelok. Jika siswa belajar sesuai dengan kecerdasannya, tapi dalam perjalanan hidup mereka, tuntutan atau kesempatan yang datang berbeda dengan keahliannya, bagaimanakah mereka bertahan ?
Menurut pemikiran penulis, agar sekolah itu tidak menjadi racun, maka sekolah -dalam hal ini komponen sekolah- berkewajiban untuk menumbuhkan semangat dan budaya belajar. Inilah hal yang sangat penting bagi keberlangsungan hidup siswa. Semangat dan budaya belajar inilah yang sudah terbukti efektif untuk meraih kesuksesan hidup seperti yang telah dicontohkan oleh Bob Sadino. Dengan belajar secara terus-menerus, Bob Sadino mampu mendapatkan temuan-temuan yang menggiringnya pada keberhasilan hidupnya. Selain itu, sikap positifnyapun, seperti ulet, bekerja keras,  dan tidak mengenal kata menyerah telah membawanya pada puncak harapan manusia, hidup sukses.
Dengan demikian, sekolah perlu menumbuhkan ranah kognitif, afektif dan psikomotor secara nyata agar kelak menjadi madu yang manis dan menyehatkan. Inilah tantangan bagi kita yang berada di dunia pendidikan, dunia sekolah. Berpulangnya Bob Sadino ke haribaan-Nya semoga menjadi tonggak awal untuk kemajuan pendidikan Indonesia di era millennium ini.  Semoga menjadi inspirasi !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Featured Post

Festival Cireundeu Cimahi: Maknyus, Icip-Icip Nasi Goreng Rasi

  Halo sobat yayuarundina.com – Kali ini, kita jalan-jalan tipis di dalam kota Cimahi. Tanpa disengaja muncul informasi acara Festival Cire...