Penulis Sri Rahayu
Setiawati, S.Pd
Sekolah akan menjadi racun, jika
pembelajaran hanya berada pada aspek kognitif saja atau teori belaka. Namun,
racun itu akan berubah menjadi madu jika kita memadukan ilmu (teori), praktek
(kebutuhan lapangan) dan sikap positif.
Bagaimana reaksi Anda ketika membaca judul tulisan ini ? Terus terang,
perasaan saya sangat tak menentu. Kaget, khawatir, heran, marah, takut, galau
dan sebagainya. Sebagai orang yang berada di dunia sekolah, pikiran yang muncul
pertama kali ketika membacanya adalah pernyataan seperti itu ditakutkan akan
membenarkan tindakan siswa
yang senang membolos. Siswa siluman yang tidak
mau bersekolah tapi ingin lulus atau naik kelas. Siswa malas yang ingin
bersantai-santai saja. Benar-benar racun bagi dunia pendidikan. Siswa yang
memiliki masalah mental tentu akan membenarkan tindakannya dengan pernyataan
tersebut dan mereka akan tetap berada di zona salahnya itu. Sangat menakutkan,
terlebih lagi jika mereka juga bukan pembelajar sejati.
Namun, setelah membaca tulisan
wawancara seorang blogger dengan Bob Sadino, penulis merasa lega. Mengapa ?
Coba perhatikan kutipan wawancara berikut ini :
Rencana itu buat orang yang belajar
manajemen. Menurutnya, rencana itu linear, mulai dari A, B, C, D sampai Z.
Sedangkan hidup atau bisnis itu jalannya berkelok-kelok, tidak ada yang lurus
dan terlalu urut. Sayangnya, rencana-rencana itulah yang diajarkan di sekolah.
Padahal dalam pandangannya rencana itu adalah racun. Jadi, sekolah itu meracuni
otak Anda, ujarnya bikin kaget.
Selengkapnya silakan
nanti dibaca langsung saja ya !
(Sumber : Idzma Mahayattika,
wikarya net )
Menurut penulis, pernyataan dari pengusaha Bob Sadino itu merupakan
kritikan sekaligus masukan positif untuk dunia pendidikan. Pernyataan itu
sejalan dengan konsep link and match,
kurtilas dan CBSA.
Di zaman modern ini, sekolah bukan lagi sebagai pencetak hapalan.
Sekolah harus menghasilkan sebuah pembelajaran yang berbasis teori (ilmu),
praktek dan mengembangkan sikap positif. Siswa tidak lagi menjadi sekedar
pelahap teori yang diberikan oleh guru. Namun, mereka harus aktif mencari,
mencerna dan mempraktekkannya. 5 M. Mengamati. Menanya. Mengumpulkan Data.
Mengasosiasi atau Meniru. Mengomunikasikan atau mempraktekkannya. Teori harus
sejalan dengan praktek atau pekerjaan di lapangan itu bisa menjadi ilmu-ilmu
baru. Inilah yang seharusnya menjadi ruh pembelajaran. Siswa bukan hanya
belajar di sekolah saja atau di dalam kelas tapi harus terjun ke lapangan.
Siswa bukan hanya
menghapal teorinya saja, tetapi harus
melihat dan memahami perwujudan ilmu itu
dalam kehidupan yang nyata. Dengan demikian, ada kesinambungan dan kontinuitas
antara ilmu atau teori dan kehidupan nyata atau kebutuhan di lapangan. Ilmu
dimanfaatkan untuk memecahkan masalah-masalah di lapangan. Sebaliknya, siswapun
bisa mendapatkan ilmu yang lebih komprehensif dari lapangan.
Pernyataan Bob Sadino itu juga berarti tantangan untuk siswa dan guru.
Siswa ditantang agar belajar secara aktif. Mereka bukan lagi sebagai obyek
pembelajaran tapi menjadi subyek pembelajaran. Merekalah pelaku utama dalam
sebuah proses belajar. Mereka menerima atau mencari ilmu untuk dikaji,
dieksplorasi, dipahami, dikritisi, dan diterapkan di lapangan. Dengan demikian,
ilmu itu akan semakin berkembang, bermakna dan bermanfaat untuk kehidupan siswa
di masa sekarang dan masa depannya. Berbeda hasilnya, jika siswa pasif. Hanya
menerima pelajaran saja. Ilmu itu
hanyalah sebatas angka yang akan tertera di dalam rapot atau ijasah siswa
nantinya. Apa makna dan manfaatnya ? Angka hanya berperan mungkin saat pendaftaran kelanjutan sekolah saja.
Setelah itu, pasti akan disimpan di
lemari sampai ajal menjemput atau hilang tanpa jejak. Inikah tujuan dan wajah
pendidikan di Indonesia ?
Pembelajaran Aktif |
Setelah membaca teks wawancara tadi secara seksama, penulis menyimpulkan
bahwa Bob Sadino itu termasuk pembelajar sejati. Belajar untuk menjadi seorang
pengusaha sukses. Beliau belajar langsung di lapangan, juga belajar dari
pengalaman hidupnya. Tindakanlah yang utama, bukan teori atau rencana. Dari
sanalah, Bob
Sadino mendapatkan ilmu yang tak
terbatas. Beliau senantiasa berpikir kreatif untuk mendapatkan peluang. Beliau
juga termasuk pekerja keras, gigih, ulet, dan berharap orang lain atau calon
pengusaha pun berani bertindak seperti itu. Bob Sadino menginginkan mereka bisa
belajar secara mandiri bukan hanya pandai meniru langkah-langkah yang telah
dilakukannya. Karakter seperti inilah yang seharusnya ada pada seorang
pembelajar, khususnya siswa. Para siswa harus berani beraksi, mau mencoba dan
melakukan sesuatu, berdarah-darah demi sebuah keberhasilan, berusaha untuk
mencipta bukan menyalin apalagi mencontek.
Bagi guru, bisa jadi
pernyataan itu merupakan sebuah angin segar. Guru tidak akan terlalu direpotkan
dengan urusan administrasi. Perencanaan pembelajaran itu perlu tapi bukan yang
utama. Penilaian utama kinerja guru itu haruslah terpusat kepada proses
pembelajaran. Bagaimanakah guru menciptakan sebuah proses pembelajaran yang
berkualitas ? Melaksanakan sebuah proses pembelajaran yang berkualitas di kelas
bukan perkara gampang. Guru harus menghadapi karakter siswa yang beragam,
materi yang bervariasi, waktu yang terbatas dan berbagai kendala lainnya. Jika
guru hanya berteori saja, pekerjaannya akan sangat mudah sekali. Beliau tinggal
membaca materi, menyampaikannya kepada siswa, dan selesailah sudah tugasnya.
Setelah itu, apa yang terjadi ? Pastinya adalah sebuah kesia-siaan besar. Bukan
nol tapi kosong. Itu istilah matematikanya.
Memadukan teori dan praktek bukan perkara mudah. Guru harus benar-benar
memahami ilmunya. Memiliki wawasan yang luas dan kaya dengan pengalaman. Jika
kriteria itu ada pada guru, maka beliau akan mampu mengawinkan teori dan
praktek secara menarik. Namun, jika tidak, maka beliau akan terjebak pada teori
yang rumit dan membosankan. Guru harus benar-benar mengetahui benang merah
antara teori dan permasalahan di lapangan. Hal itulah yang akan dikembangkan
menjadi sebuah proses pembelajaran yang bermakna, berhasil dan berdaya guna.
Jika demikian, siswa akan memiliki pengetahuan yang komprehensif dan mendalam.
Setelah itu, mereka tinggal memiliki jam terbang untuk mengembangkannya, atau bahkan
berinovasi untuk menciptakan hal-hal yang baru.
Jadi, sekolah akan menjadi racun, jika
pembelajaran hanya berada pada aspek kognitif saja atau teori belaka. Namun,
racun itu akan berubah menjadi madu jika kita memadukan ilmu (teori), praktek
(kebutuhan lapangan) dan sikap positif.
Di samping itu, sudah
saatnya bagi sekolah untuk menghilangkan citra menara gading. Sebuah istana
eksklusif yang jauh dari masyarakatnya. Kini, pihak sekolah harus banyak
menjalin kerjasama dengan berbagai pihak agar siswa mendapatkan sumber belajar
yang bervariasi. Dalam undang-undang sistem pendidikan nasional (sisdiknas)
dikatakan bahwa sekolah bukanlah satu-satunya sumber belajar, masyarakatpun
bisa menjadi sumber belajar untuk siswa.
Keragaman
ilmu pengetahuan, keahlian dan keterampilan itu tidak dimiliki oleh seseorang
saja, tapi oleh banyak orang. Oleh karena itu, mereka bisa memberikan ilmu,
keahlian dan pengalamannya itu kepada para siswa. Seperti dalam program
Indonesia Mengajar, siapapun dengan keahlian apapun bisa berbagi dengan
anak-anak sekolah dasar. Walaupun sesaat, tapi bagi siswa maknanya akan terasa
sangat dalam. Bisa jadi hal tersebut menjadi motivasi kuat bagi perjalanan
hidup mereka selanjutnya.
Dengan
sistem pembelajaran seperti itu, kelak di kemudian hari, sekolah tidak akan
menjadi racun bagi siswanya, tapi menjadi kawah candradimuka yang membuka
gerbang keberhasilan hidup para anak didiknya. Proses belajar menjadi sesuatu
yang seharusnya menjadi bagian dalam perjalanan hidup para siswanya. Mereka
akan merasa senang dan butuh untuk belajar selamanya.
Dengan
pemikiran seperti itu pulalah, kini saatnya bagi dunia pendidikan kita, sekolah
khususnya untuk mengakomodasi multikecerdasan manusia. Manusia ( siswa )
memiliki potensi kecerdasan, minat dan bakat yang berbeda-beda. Ada yang cerdas
dalam ilmu logis matematis, bahasa, seni, kinestetis, dan sebagainya. Namun,
dalam proses pembelajaran, hal ini belum terserap secara maksimal. Saat ini,
khususnya di pendidikan dasar, siswa masih dijajah untuk mempelajari
bidang-bidang yang tak dikuasainya atau bahkan tak disenanginya. Akibatnya
muncul banyak permasalahan. Apakah ini racun sekolah ? Di dalam pendidikan
dasar, perlukah siswa mempelajari semua bidang dengan penguasaan yang sama ?
Penguasaan itu diwujudkan dalam bentuk nilai minimal yang harus diraih oleh
siswa (KKM). Haruskah ada pembagian prosentasi bagi multikecerdasan itu,
seperti masalah sikap dalam kurikulum terbaru, yaitu kurikulum 2013 (kurtilas)
? Dalam kurtilas, pembentukan sikap menjadi prioritas utama dalam proses
belajar mengajar di jenjang pendidikan dasar. Prioritas utama ini ada pada
jenjang sekolah dasar. Semakin tinggi jenjang pendidikan siswa, maka prosentase
sikap itu akan semakin mengecil dan teori semakin membesar.
Dapatkah siswa hanya fokus untuk belajar ilmu
logis matematis saja sedini mungkin ? Dalam hal ini, siswa hanya belajar ilmu
matematika atau bidang yang serumpun saja misalnya. Mirip dengan pembinaan
olimpiade yang dilakukan oleh Prof. Surya. Bisakah hal ini diterapkan untuk
pengakomodasian multikecerdasan siswa ? Bagaimana dampak positif dan
negatifnya, jika siswa memiliki spesialisasi proses pembelajaran sesuai dengan
kecerdasan yang dimilikinya itu ? Apa pengaruh yang signifikan terhadap
kehidupan siswa di masa mendatang ?
Hal ini mungkin perlu
pengkajian secara sungguh-sungguh, agar tetap bermanfaat bagi siswa dan tidak
merugikan masa depan mereka. Hidup yang dijalani oleh siswa itu hanya satu kali
saja, jika mereka menjadi kelinci percobaan terus menerus tentunya dikhawatirkan
akan terjadi dampak yang tidak diharapkan.
Seandainya siswa
mengambil spesialisasi proses pembelajaran, akankah mereka tetap bertahan dalam
kehidupan selanjutnya? Kembali pada kata-kata Bob Sadino, hidup itu tidak
selalu lurus dan urut tapi berkelok-kelok. Jika siswa belajar sesuai dengan
kecerdasannya, tapi dalam perjalanan hidup mereka, tuntutan atau kesempatan
yang datang berbeda dengan keahliannya, bagaimanakah mereka bertahan ?
Menurut pemikiran
penulis, agar sekolah itu tidak menjadi racun, maka sekolah -dalam hal ini
komponen sekolah- berkewajiban untuk menumbuhkan semangat dan budaya belajar. Inilah
hal yang sangat penting bagi keberlangsungan hidup siswa. Semangat dan budaya
belajar inilah yang sudah terbukti efektif untuk meraih kesuksesan hidup
seperti yang telah dicontohkan oleh Bob Sadino. Dengan belajar secara
terus-menerus, Bob Sadino mampu mendapatkan temuan-temuan yang menggiringnya
pada keberhasilan hidupnya. Selain itu, sikap positifnyapun, seperti ulet,
bekerja keras, dan tidak mengenal kata
menyerah telah membawanya pada puncak harapan manusia, hidup sukses.
Dengan demikian,
sekolah perlu menumbuhkan ranah kognitif, afektif dan psikomotor secara nyata
agar kelak menjadi madu yang manis dan menyehatkan. Inilah tantangan bagi kita
yang berada di dunia pendidikan, dunia sekolah. Berpulangnya Bob Sadino ke
haribaan-Nya semoga menjadi tonggak awal untuk kemajuan pendidikan Indonesia di
era millennium ini. Semoga menjadi
inspirasi !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar