Pagi ini, matahari masih bersembunyi.
Kehangatannya belum menyapa kami, walaupun jarum jam dinding berwarna biru itu
sudah berada di angka delapan tiga puluh. Kota terlihat suram. Berselimut
kabut. Bumi seolah-olah masih disiram oleh jarum-jarum abu letusan Kelud. Aku
tak bisa menikmati keindahan panorama gunung di sebrang sana. Jika cuaca cerah,
aku bisa memandangi gunung-gunung yang berbaris rapi seperti sekompi tentara dibawah naungan langit biru
yang jernih. Biasanya setiap pagi, barisan gunung yang berlapis itu akan
menemaniku menikmati pagi sambil diiringi nyanyian burung-burung gorejra yang
senantiasa terbang dan hinggap di sekitar tempat tinggalku ini. Alam seolah-olah sedang berempati
kepadaku.
Sejak subuh tadi, aku
duduk di balkon ini. Berharap panorama indah di seberang bangunan sederhana ini
akan mengobati kegalauanku. Aku tak bisa meninggalkan dunia yang sudah kutekuni
sedari kecil. Sudah mendarah daging. Cinta sejatiku. Tanggung jawabku.
Obsesiku. Haruskah kuikuti keinginannya memenuhi nafsu dunia yang tak pernah
ada batasnya ? Dilema.
Hatiku dag dig dug tak
menentu. Jantung berdetak cepat. Badan terasa letih. Tak bertenaga. Pikiranku
kembali melayang pada pertengkaran hebat itu. Aagghh …. Aku hanya mampu meninju
kursi yang kududuki. Kursi tak berdosa itu terkulai layu. Jok busanya yang
sudah dimakan usia, tak mampu menahan keperkasaanku. Busa-busa kuning kusampun
berhamburan memenuhi balkon. Nafasku menderu. Rasanya, aku ingin memuntahkan
segala materi vulkanik dari dalam kawah amarahku. Aku tak bisa menerima
ucapannya yang sangat menusuk harga diriku. Meruntuhkan impianku. Wanita
berparas ayu itu tak sesuai harapanku. Tapi, aku sangat mencintainya. Aku
bertekuk lutut padanya. Masih adakah cinta itu di hatiku? Suasana telah
berubah. Aku beralih ke ruang tengah. Menatap ruang yang suram ini. Pikiranku
tenggelam pada masa lalu.
Aku jatuh cinta pada
pandangan pertama. Saat duduk di sebuah teras pusat perbelanjaan, aku melihat
seorang wanita muda berjalan dengan anggun. Berpakaian merah. Celana panjang
yang dikenakannya mirip seperti celana Aladin dalam dongeng seribu satu malam.
Gadis itu tertawa riang. Ia berjalan melewatiku bersama seorang wanita lain. Masih muda. Dari penampilannya,
kutaksir mereka mahasiswi. Mungkin teman seperjalanannya menceritakan sesuatu
yang lucu. Mereka tertawa cekikikan.
“Kita duduk-duduk dulu
di sini, yuk !” ujar wanita muda itu. Mereka berhenti berjalan. Tak jauh dari
tempatku. Keduanya mematung. Temannya langsung berhenti dan menatap
berkeliling.
“Ayo, duduklah para
gadis,” harapku.
“Wah, asyik juga
tempatnya, nih,” balas temannya dengan hati riang. Mereka melangkah pelan.
Mencari tempat duduk yang kosong dan nyaman. Suasana teras ini cukup ramai
juga. Banyak orang yang sendirian sepertiku, berpasangan atau bersama keluarga
menikmati santap siang. Seorang anak kecil berpakaian lusuh menyelinap dari
bangku satu ke bangku lain untuk menawarkan tisu yang dibawanya. Aku
mengabaikan tawarannya. Aku tak ingin kehilangan dirinya. Momen ini sangat
penting untukku.
Permohonanku terkabul.
Kedua gadis itu duduk di tenda payung, tak jauh dariku.
“Re, aku ingin memesan
makanan. Perutku keroncongan. Sudah waktunya makan siang, nih”
“Mmmh… namanya Re,”
ujarku dalam hati. Aku terus menguping obrolan mereka sambil terus
memperhatikan Si Baju Merah tanpa aksi yang mencurigakan.
“Kamu mau makan apa ?
balas Re. “ Aku juga lapar. Pizza enak. Ayam goreng juga enak. Kita pesan apa,
ya Ma? tanya si Baju Merah sambil meminta persetujuan sahabatnya.
“Ayam goreng saja, yuk
! Aku ingin makan nasi nih,” balas wanita yang dipanggil Ma itu. Mereka segera
bangkit untuk memesan makanan di kedai ayam goreng.
Tadinya, aku akan beranjak pergi dari tempat
ini. Acara makanku sudah selesai. Namun, gara-gara gadis berbaju merah itu, aku
harus memperpanjang acara nongkrongku. Aku segera memesan kopi pada pelayan
yang kebetulan lewat. Mataku tak bisa lepas darinya. Penampilan gadis berbaju
merah itu menarik. Dia memakai kerudung modern ala gadis-gadis hijaber. Modis.
Tubuhnya berisi. Tidak gemuk ataupun kurus. Sedikit lebih berat daripada
peragawati. Dia memakai alas kaki dengan hak setinggi lima sentimeter, model
wedges yang etnik. Penampilan yang proporsional. Aku menyukainya. Diam-diam,
hatiku berbunga-bunga. Perburuan yang menarik.
Tak berapa lama
kemudian, Re dan temannya kembali ke kursinya. Re duduk menghadapku. Anugrah.
Pucuk dicinta ulampun tiba. Aku bisa memandangi wajahnya yang bercahaya. Rasa
bahagia mengalir dalam darahku. Tubuhku lebih bersemangat. Aku menikmati kopi
yang lebih terasa nikmat dan manis. Walaupun samar, aku menguping obrolan
mereka sambil mengaduk-aduk kopi yang telah kutambahkan gula.
“Laki-laki itu, apa
pendapatmu,” kata Ma.
Aku terperanjat. “Apakah diriku yang sedang mereka bicarakan?
tanyaku dalam hati.”Jangan-jangan aku ketahuan telah memperhatikan gadis
bernama Re itu sejak tadi,” pikirku. Aku mengubah posisi dudukku. Menenangkan
diri seperti maling yang ketahuan aksinya. Mencari alibi Aku segera menajamkan
kupingku. Untung, suasana sudah mulai sepi. Hanya suara angin berdesir.
Sejenak, mereka serius.
Lalu, tertawa berderai. .”Hatimu bagaimana ? Kamu naksir dia, kan?” tanyanya.
“Ya, mungkin,Re,” jawab Ma. “Semalam, dia
datang lagi ke rumahku. Berbicara dengan ibu. Aku tak tahu hal apa yang
dibicarakan mereka. Tadi pagi, ibu menanyakan pendapatku tentangnya.”
“Kamu tahu sendiri kan
bahwa dia masih beristri, walaupun katanya, istrinya sedang sakit parah. Diabetes
Melitus. Tapi, tetap kan dia masih terikat perkawinan yang sah. Aku tak mungkin
menikah dengannya. Aku tak mau,”
“Apa pendapat ibumu?”
tanyanya lagi.
“Tampaknya ibu cocok
dengan dia. Kalau dia memang jodohmu, siapapun takkan bisa menghalanginya,” balas
Ma lagi.
“Wah, restu mertua
sudah turun tuh,” jawab Re sambil tertawa renyah. Giginya yang berderet putih
semakin menawan hatiku. Cantik.
Re terus menggoda temannya. Ma melempar tubuh
Re dengan bungkus kacang. Mereka kembali tertawa-tawa sampai orang di
sekitarnya menatap ke arah bangku mereka. Bangku yang paling ribut. Menyadari
sedang diperhatikan oleh orang banyak, kedua gadis itu menahan tawa sambil
menutup mulut dengan telapak tangannya. Tak berapa lama kemudian, pesanan pun
datang. Mereka terdiam. Kedua gadis muda itu makan dengan lahap. Aku suka cara
makan Re. Anggun. Rapi. Berkelas.
Tambahan poin untuknya di mataku.
Sejak kecil, aku memang selalu dibiasakan cara
makan yang tertib. Tidak boleh ada nasi sebutirpun yang berceceran. Ibu akan
langsung menegur jika hal itu terjadi. Keluargaku memang masih menaati
aturan-aturan lama. Warisan nenek moyang. Tak boleh dilanggar. Itu kewajiban
kami.
Re dan temannya telah
selesai menyantap makan siang mereka. Keduanya langsung beranjak meninggalkan
tempat. Aku terhenyak. Untung otakku cepat bekerja. Setelah membayar kopi, aku
segera berjalan mengikuti mereka dengan lantip. Mereka berjalan mengitari pusat
perbelanjaan itu. Khas perempuan, melihat dan membeli baju atau sepatu.
Akhirnya, mereka memasuki sebuah toko buku yang berada di lantai dua.
Kesempatan bagiku untuk berkenalan. Si gadis berbaju merah itu bernama Raesita Puspitaningsih. Sejak itulah, aku dan
Re resmi berpacaran.
Tak terasa dua tahun hampir berlalu. Aku tak suka dengan
gaya hidupnya yang berbiaya tinggi. Itu yang menjadi pemicu pertengkaran kami.
“Kamu harus cari jalan
lain, Mas ! Kalau kita mengandalkan hidup pada kesenian tradisional itu, kita
akan kelaparan. Uangnya tak seberapa. Hanya cukup untuk sekali makan !” kata Re
dengan bibir cemberut.
“Ini duniaku, Re. Ini
kesenanganku,” balasku pendek.
“Kesenanganmu bukan
kesenanganku !” balas Re ketus.
“Sabar saja sayang.
Sekarang ini, permintaan orang pada kesenian degung memang sedang sepi. Nanti
juga pasti ada rejeki lagi,” jawabku mencoba bersabar.
“Sampai kapan, kita
harus bersabar, Mas ? Orang zaman sekarang lebih memilih hiburan dengan organ
tunggal daripada degung. Apakah kita akan menunggu sampai organ tunggal punah
dimakan waktu?” sindir Re dengan ketus.
Selama ini, degung
memang menjadi duniaku. Seni tradisional
khas Jawa Barat yang diwariskan orang tuaku. Kini, akulah yang dilimpahi
wewenang untuk meneruskan, melestarikan dan mempertahankan kesenian ini agar
tidak tergerus zaman. Aku harus bertahan demi semua anggota kelompok sanggar
yang dulu telah dibentuk oleh ayahku dengan susah payah. Mereka hanya mampu
menggantungkan hidupnya pada kesenian ini. Tak ada degung, tak ada makan.
Mempertahankan degung agar bisa menjadi sumber rejeki memang lebih sulit dewasa
ini. Kalah bersaing dengan organ tunggal. Dulu, degung selalu ada pada setiap
acara perkawinan. Sekarang, orang mulai beralih pada musik yang lebih modern.
Lebih murah. Lebih bergengsi dan lebih menarik. Apalagi, jika para penyanyinya
berpenampilan nyentrik. Urakan. Bergoyang bagai penari ular. Para tamupun,
khususnya kaum adam akan ikut bergoyang sambil nyawer. Bang Rhoma Irama pasti akan mencela, jika beliau melihat
hal itu. Seringkali, aku juga merasa miris dan malu jika harus melihat
penampilan yang tak terjaga itu. Mereka lebih menjual body daripada suara. Sedangkan degung sebenarnya memiliki
nilai-nilai luhur yang tak banyak disadari orang. Sayang, aku tak bisa
mengumumkan hal itu pada dunia.
“Mas, dengar
kata-kataku tidak ? Kita perlu uang untuk makan. Bayar uang kuliahku. Membeli
kosmetikku. Membeli baju. Bahkan rumah yang lebih layak untuk tempat tinggal
kita. Aku bosan berdiam diri di rumah terus. Skripsiku hampir selesai. Aku
ingin jalan-jalan lagi seperti dulu. Sana, cari kerja yang lebih mapan lagi !,”
bentak Re membuyarkan lamunanku.
“Aku sudah berusaha, Re
!” jawabku datar.
“Usahamu kurang keras
dan gigih. Cari pelanggan sebanyak-banyaknya dong! Jangan hanya satu atau dua
orang yang menggunakan jasa degung kita! Pakai otak ! Mikir !” jawab Re lebih
tajam.
Mendengar kata-katanya
itu. Darahku serasa mendidih. Menggelegak dan menjalar cepat ke ubun-ubun.
Ingin rasanya aku menampar mulut wanita itu. Namun, nuraniku masih mampu
mengendalikan amarah. Sekarang, dia adalah istriku. Menyesal juga aku
menikahinya. Hidupnya yang terbiasa enak, serba cukup dan mudah mendapatkan
sesuatu berbalik seratus delapan puluh derajat sejak tinggal bersamaku.
Wataknya yang biasa lembut juga berubah tiga ratus enam puluh derajat.
Sekarang, dia bagi kucing garong yang manis. Apa-apa duit. Apa-apa duit. Batok
kepalanya telah penuh diisi oleh uang dolar yang melambung tinggi, melebihi
rupiah beberapa tingkat. Membuat kepalaku pusing tujuh keliling.
“Mas, laki-laki sejati
itu harus bisa cari duit yang banyak, supaya anak istrinya bisa hidup enak. Jalan-jalan
ke luar negeri seperti para artis. Liburan,” cerocosnya lagi.
“Ya, sabar sajalah,
mudah-mudahan nanti, kita juga bisa seperti mereka!” jawabku.
“Jawabanmu sangat tidak
kreatif. Sabar. Sabar. Sabaar…,” ujarnya sambil mencibir. Aku langsung membuang
muka.
“Kepalamu itu, jangan
hanya diisi dolar! Uang. Uang dan uang. Hidup itu jangan hanya mengejar uang!
Masih banyak hal lain yang lebih bermanfaat. Kita harus bersyukur masih bisa
makan dan memiliki rumah sederhana ini,” kataku gusar.
“Laki-laki itu harus
kreatif kalau ingin sukses. Bagaimana akan maju kalau hanya diam di tempat
saja? Tuh, contoh Saung Mang Ujo. Mereka bisa menjual seni tradisional sampai
mendunia. Mereka menjual angklung pada bule-bule yang berduit banyak. Mereka bisa pergi ke Amerika. Mereka bisa
memberdayakan masyarakat sekitar. Hidup makmur. Pendapatan rutin. Itu hasil
berpikir kreatif. Pakai otak cemerlang.” Dia terus mengoceh tak karuan.
Menyepelekanku.
“Aku tidak memiliki
teman bule. Bagaimana aku bisa menjadikan mereka menonton acaraku atau
mengundang kelompok degungku?” jawabku frustasi.
“Mentalmu tempe, Mas!
Belum apa-apa sudah menyerah duluan. Bagaimana akan maju kalau seperti itu
terus? Kamu bisa menggunakan You Tube. Facebook. Atau kamu pergi saja ke. Saung
Mang Ujo. Dapetin tuh bule-bule berkantong tebal! Berkenalan. Silaturahmi. Atau
kamu temui bos Saung Mang Ujonya. Nanti, bisa bekerja sama. Teken kontrak,”
sanggahnya kesal.
Goooong ….!!! Aku
memukul waditra besar yang ada di dekatku.
Suaranya membahana memenuhi ruangan. Pelampiasan emosiku. Aku kesal pada
istriku yang selalu menganggap sesuatu itu mudah didapatkan.
“Maaaassss … !” istriku berteriak keras sambil menutup
telinga. Suara gong itu menjadi jeda ocehannya. Aku mulai menata emosiku.
Kuatur nafasku yang memburu penuh nafsu angkara murka. Seiring dengan
melemahnya suara gong, amarahku mulai mereda. Walau rasa marah dan kesal itu
masih tetap ada.
Setelah itu, aku hanya duduk berdiam diri saja
walau kuping dan hatiku masih terasa panas. Aku hanya bersandar pada dinding
sambil menerawang jauh. Dinginnya dinding semakin mampu meredakan ketegangan
urat sarafku. Mendinginkan hatiku. Aku menatap alat-alat degung yang sudah agak
lama teronggok di ruangan ini. Sepi peminat. Bonang. Cempres. Panerus.
Jengglong dan Goong hanya mampu duduk melamun seharian di ruang yang sempit dan
pengap ini. Sepengap diriku saat ini. Pun para penabuhnya. Mereka sudah mulai
frustasi. Sudah lama, asap dapur mereka tak mengepul. Aku tak berhasil
mendapatkan orderan manggung. Satu per satu mereka mulai berpikir untuk beralih
profesi pada pekerjaan yang bisa menghidupi mereka dengan layak.
“Lebih baik aku
berdagang saja, pasti dapat uang untuk makan.”
“Aku lebih baik menjadi
sopir pribadi. Dapat gaji bulanan. Penampilan necis. Bawa mobil. Kelihatan
keren.”
“Aku lebih baik pulang
kampung. Mengurus sawah dan kebun.”
Obrolan-obrolan seperti
itu secara tak sengaja kudengar saat mereka duduk berkumpul sambil membersihkan
waditra-waditra ini. Membuat hatiku miris. Jantungku seolah mendapat hantaman godam.
Mereka tanggung jawabku. Aku tak ingin mereka bernasib naas seperti itu. Aku
ingin mereka bisa hidup dari kesenian tradisional ini. Warisan dan budaya
leluhur. Aku ingin degung menjadi sumber kekayaan untuk mereka, sekaya budaya
di negri tercinta ini. Namun sayang, aku belum bisa membawa mereka ke arah itu.
Nasib seni tradisional ini masih terseok-seok. Saat pikiranku melayang kepada
nasib para penabuh waditra ini, istriku tetap berkoar-koar memekakkan telinga.
“Jangan menjual degung
pada orang lokal yang kere, tak berduit. Tak mampu menghargai seni. Apa-apa
inginnya murah. Barang berkualitaspun dihargai murah. Orang kita memang pelit.
Apalagi untuk seni tradisional. Mereka pasti hanya memandangnya dengan sebelah
mata. Itu masih untung. Bahkan mungkin lebih banyak yang sudah menutup mata,
mengabaikannya. Mereka lebih senang memilih barang dan seni impor. Berapa
jutapun pasti akan ditebak tanpa dipikir panjang. Kocek-kocek tebal mereka akan
beterbangan melintasi pulau dan benua untuk menonton konser-konser musik dari
luar negeri.. Mereka pasti rela duitnya habis untuk itu. Tapi, kalau untuk seni
tradisional, waaah ampuuun deh,” ujarnya dengan nada menyindir.
Baru kali ini, aku
menerima pendapatnya itu. Dia memang benar. Seni tradisional memang sudah tak
dihargai. Seni tradisional telah tergilas seni modern. Seni tradisional hidup
dengan lesu tak bertenaga. Hidup segan, mati tak mau.
“Zaman sekarang, kalau ingin bisa menjual, ya
harus berinovasi. Apalagi seni tradisional yang sudah banyak tak dianggap lagi
oleh masyarakat kita itu. Tanpa inovasi, dia akan mati. Kamu benahi
manajemennya. Pertunjukkannya. Ceritanya. Wawasanmu harus luas, Mas! Jangan
hanya berkutat di masalah-masalah yang tradisional saja. Kamu harus mengetahui
kebutuhan dan keinginan masyarakat modern sekarang. Kamu juga harus mengetahui
segala hal yang mereka sukai. Dari situlah, kamu bisa menciptakan
inovasi-inovasi baru. Mungkin kamu, bisa memadukan degung dengan musik modern.
Atau, Mas bisa menyajikan pertunjukan degung dalam nuansa yang lebih modern
sesuai selera pasar,” ujarnya bersemangat sambil menatapku tajam. Hening.
“Sini, Mas, ikut aku !”
ajaknya sambil menarik lenganku dengan paksa. “Cepat bangkit ! Aku punya
sesuatu yang bagus untukmu,” ujarnya gusar. Dengan langkai gontai, aku
mengikuti dirinya ke dalam kamar. Dia membuka laptopnya.
“Aku baru ingat ini.
Aku punya contoh-contoh inovasi itu. Kamu bisa belajar dari sini. Aku
mendapatkannya saat mengikuti Konferensi dan Festival Budaya Internasional di
Bali,” ujarnya dengan mata berbinar. Matanya bercahaya terang. Cahaya itu
memasuki otakku yang membeku. Sesaat kemudian, kami berdua menikmati
pertunjukkan gamelan Sunda dalam nuansa yang lain. Rasa marah di hati yang
belum hilang, membuatku agak membuat jarak dengannya. Aku melihat Krakatau berkolaborasi dengan musisi
Sunda untuk menghasilkan jenis musik Jazz Fussion. Lalu, sebuah grup gamelan
degung bernama Degung Dedikasi
menampilkan keberhasilan mereka dalam mengkreasikan lagu-lagu pop barat dengan
gaya tabuhan gamelan degung dalam sistem tonal.
“Selesai! Bagaimana
pendapatmu, Mas?” tanyanya penuh suka cita. Dia menatapku, berharap mendapatkan
jawaban. Wajah dan suaranya yang tadi marah-marah berangsur-angsur mulai
tenang. Aku tidak memberikan jawaban. Mulut kukunci rapat-rapat. Namun,
diam-diam aku suka dengan ide-idenya. Aku balas tatapan matanya. Aku nikmati
wajahnya yang ayu. Bola mataku tembus di bola matanya. Aku makin mencintai
istriku. Cewek matre yang masih peduli pada seni tradisional. Hidupku. Aku
beranjak mendekatinya. Aku memeluknya erat. Urat-urat syarafku mengalirkan rasa
sayang yang luar biasa padanya. Istriku, sumber inspirasiku.
“Terima kasih, kau
telah mencairkan kebuntuanku. Aku akan berusaha semaksimal mungkin. Aku
berjanji akan membuatmu hidup senang. Doakan suamimu dan dukung aku terus, ya!
Suamimu. Masmu. Bukan kamu-mu,” kataku lembut sambil sedikit meralat kata-kata
terakhirnya. Aku membelai rambutnya. Aku merindukannya lagi.
“Engngng… maaf, Mas,”
balasnya sambil mencubit pinggangku. Kemanjaannya muncul. Aku menyukai hal itu.
Rasanya dunia ini hanya milik kami berdua.
Matahari
berangsur-angsur menyinari rumah kami. Meneranginya dengan kehangatan cahaya
yang lembut. Sehangat mentari pagi. Suasana rumah yang semula berkabut, sedikit
demi sedikit mulai benderang. Memberikan satu harapan baru. Sebuah kebangkitan.
Sumber gambar degung
https://www.goodnewsfromindonesia.id/2018/03/12/kolaborasi-degung-sunda-dan-wayang-bali-di-london
Tidak ada komentar:
Posting Komentar