Mendung tebal
menggelayut di langit yang kelabu. Sejak semalam, hujan turun tiada henti. Jam
di dinding menunjuk angka sembilan. Namun, sinar mentari enggan melaksanakan
tugasnya. Bumi menjadi sendu terbalut dingin dan gerimis yang cukup deras.
“Ah, rasanya aku malas beranjak pergi. Di pagi sedingin
ini lebih enak berselimut lagi,” pikirku. Namun, janji tetaplah janji. Aku
menyesali janji yang telah kubuat pagi ini. Dengan malas, aku segera menuju
stasiun kereta api. Suasananya masih
belum ramai walaupun keberangkatan kereta tinggal sepuluh menit lagi dari jadwal.
Loketpun masih tutup. Hanya satu yang sudah terbuka, tapi itu untuk jurusan
Surabaya. Aku menuju loket itu. Namun, ditolak, salah jurusan. Aku menunggu loket dibuka dengan perasaan dag
dig dug tak karuan. Suasana stasiun yang biasa penuh sesak, pagi ini cukup
sepi. Kursi-kursi yang berderet rapi
tampak bosan menanti. Penumpang tak banyak hari ini. Mungkin mereka enggan
keluar rumah.
Tak lama kemudian, loket pun dibuka. Aku segera membeli
empat tiket. Teman-temanku sudah duduk manis di kursi tunggu dekat pintu
pembatas. Biasa narsis berfoto-foto ria. Belum lama kursi itu kududuki,
panggilan untuk para penumpang sesuai jurusanku terdengar nyaring. Dengan langkah
berat, aku melangkah menuju pinggir rel. Terdengar suara kereta dari kejauhan.
Perlahan menuju ke tempatku. Dengan segera, kami berlompatan naik. Memilih
tempat duduk yang sudah penuh. Untung masih ada sisa sedikit.
Kereta yang tak sabar segera beranjak pergi melanjutkan
perjalanan menuju stasiun terakhir. Melewati deretan rumah-rumah yang
berdesakan. Melewati pepohonan yang berlomba dengannya. Dan, tanpa memakan
waktu yang panjang, kami telah sampai di stasiun terakhir. Kami langsung
mencari jemputan, taxibike. Belum datang. Kembali kami menunggu. Rasanya,
perjalanan kali ini tak selancar biasanya. “Mungkin karena setengah hati, ya?”
pikirku.
“Kita jalan aja, yuk!
Daripada lama menunggu. Siapa tahu, kita bertemu mereka di jalan,” usul Onnie,
temanku.
“Aduh, kakiku sakit
nih. Lututku cedera, gak bisa jalan jauh,” jawab Aal, temanku yang lain.
“Pelan-pelan aja deh.
Daripada cape menunggu,” jawab Onnie.
Dia tetep ingin jalan, olah raga gratis.
Akhirnya, kamipun mengikuti keinginannya, setelah lama menunggu tanpa ada
kabar. Ditemani gerimis yang cukup deras dari tadi, kami menyusuri jalanan
beraspal. Belum jauh kami berjalan meninggalkan stasiun, taxibike pun datang.
Lagi-lagi sial. Motor yang menjemput hanya dua sedangkan kami berempat. Aku
memutuskan untuk tetap melanjutkan perjalanan bersama Onnie.
“Tempatnya tak jauh
dari sini, kok. Tunggu aja di jembatan. Nanti kami jemput di sana,” ujar pak
ketua yang baik hati itu.
Kami kembali melangkahkan kaki dibawah guyuran hujan yang
mulai deras. Kami mengamati tempat sekitar, mencari tempat berteduh. Nihil.
Hanya ada tembok dan pepohonan. Kami bergegas. Jaketku mulai basah. Kami
berhenti sejenak untuk menangkis hujan dengan jas antibasah. Hujan kembali
membasahi bumi dengan penuh semangat. Aku melihat sebuah warung di depan sana.
Kami berlari ke arahnya agar bisa segera berteduh. Sepanjang jalan tadi, kami
tak melihat jembatan.
“Masih jauhkan
perjalanan ini ?” pikirku masgul.
Rasa
malasku untuk sampai di tempat tujuan semakin membesar. Rasanya aku ingin segera
pulang saja. Kembali ke rumahku yang pasti memberikan kehangatan. Aku menatap
tumpukan pasir yang cukup tinggi di sebrang jalan. Banyak motor melintas melewatinya. Hujan mulai
reda. Onnie menanyakan alamat tempat pertemuan kami kepada pemilik warung.
Masih cukup jauh ternyata. Kami segera melanjutkan perjalanan.
“Teman-temanku pastinya
sudah menikmati liwet yang disediakan tuan rumah. Tidak kedinginan seperti
ini,” batinku.
Kami kembali mencari jejak sesuai petunjuk yang ada d
sms. Sekitar lima belas menit kemudian, kami segera menemukan sebuah perusahaan
yang cukup terkenal di daerah itu. Di sanalah, kami harus menunggu. Hujan
kembali mengguyur. Kami lalu berteduh di emperan toko. Tak jauh dari gerbang
perusahaan. Sepertinya, alam tak merestui kami melakukan perjalanan ini.
Tiba-tiba….
“Onnie, dimana ?” tanya
sebuah suara dalam telepon genggam Onnie. Dia sengaja mengaktifkan speakernya
agar suara itu tak tenggelam dalam ributnya hujan dan obrolan orang yang
berteduh agak jauh dari kami.
Kau
tahu, teman? Ternyata kami tersesat. Tempatnya terlalu jauh dari penjanjian
tadi. Jembatan itu sudah terlewat.
“Hah ?!” Dari tadi kami
tidak melewati jembatan, kan?” tanyaku heran.
“Yup!” jawab Onnie
pendek.
“Kita disuruh menunggu
di sini saja,” lanjutnya.
Tak sampai sepuluh menit, taxibike itu datang juga. Kami
segera melesat pergi. Jalanan kampung yang tidak begitu luas ini cukup
menanjak. Setelah berbelok dua kali, kami sampai di tempat tujuan. Teman-teman
yang lain masih menunggu. Liwet belum matang. Kami akhirnya menanti sambil
ngobrol-ngobrol tentang banyak hal. Sedang asyik-asyiknya bercengkrama, sesuatu
yang berat menubruk kakiku. Lingkaran pun terpecah. Teman-temanku segera
mebubarkan diri, saat melihat kakiku ditabrak. Aku tak bisa menghindar.
Bangunan rumah menghalangiku. Aku terpojok. Di depanku, dia menanti dengan
garang. Tatapan matanya tajam menatapku. Ada nada marah di raut wajahnya.
Kebenciannya memuncak tanpa kutahu sebabnya. Dengan membabi buta, dia
menyerangku secara terus-menerus. Kakiku menjadi sasaran kemarahannya. Aku
menjerit minta tolong. Tak ada seorangpun yang bisa menghentikan kemarahannya.
Kutendang dia sebisaku. Sedikit menjauh. Lalu, menyerangku lagi.
“Dia cembokur tuh,”
kata seseorang di depanku. Suaranya sayup-sayup kudengar. Lemah. Hilang dari
pendengaranku.
Dia semakin ganas
menyerangku. Aku menjerit-jerit ketakutan. Dia melompat-lompat seolah-olah
ingin mencakar wajahku. Aku harus memberanikan diri. Aku tak mau celaka
karenanya. Aku terus menendang. Dia terus menyerangku. Tak mau menyerah. Sampai
akhirnya, sang mpu ayam jago itu datang menghalaunya. Seperti dihipnotis, dia
terkulai layu dan menjauh dariku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar