Tulisan yang ringkas, padat dan bermakna sangat dalam serta dituangkan dalam bentuk bait. Itulah puisi. Pada umumnya, puisi itu hemat kata-kata. Termasuk juga dalam puisi prosa. Ciri khas ini tidak akan hilang, karena seorang penyair akan mengkristalkan permasalahan yang dituangkan dalam puisinya sedemikian rupa. Kehematan kata itu menjadikan sebuah puisi demikian sangat padat dan bermakna dalam. Penyair ditantang untuk melakukan diksi atau pemilihan kata secara tepat.
Belajar tentang puisi, kita harus berani membuat puisi dan membiarkan diri kita terbuka dengan pemikiran orang lain. Mari, belajar dari para penulis perempuan berikut ini ! Simaklah, cermatilah dan kritisilah puisi-puisi mereka ! Perhatikan pula cara mereka meramu sebuah permasalahan hidup dalam bentuk puisi. Piawai menjalin kata, menciptakan makna dan frasa baru, juga begitu dalamnya mereka mengkristalkan momen-momen puitik itu. Simak pula komentar/ masukan/ tanggapan dari penyair ternama sebagai guru mereka, Kang Cecep Syamsul Hari.
Puisi-
Puisi Adelina
(1)Bulan Suci Itu
Jangan hadirkan Ramadhan, Tuhan
Bila ritual menjadi kebanggaan
Bila lebaran hanya kesenangan
[NN1]Penggunaan
kata yang disengaja sebagai pola repetitif cukup baik.
(3) Di Atas Sungai
Di atas sungai Seine dalam
dekapan megahnya Eiffel
Mata kanakmu menyapu setiap butiran
tanah
Melangkah tiada gontai
[NN1]Biasanya
orang berkata “menyungging senyum”. Jadi upaya pengungkapan baru “menyungging
ujung bibir” dapat difahami sebagai langkah keluar dari klise atau dengan kata
lain mencari ungkapan baru.
Aku, ibumu
[NN1]di
sana, bukan disana
[NN1]Lagi,
penutup sajak yang elok. Keseluruhan sajak ini kontemplatif.
Jasad kaku tanpa paras
Menatap setajam parang
Denyut lambat mengelebat
[NN1]Bait
ini imajinatif. Oke!
(5) Pisau
Pisau tubuhmu bermandikan tuak
Tuak aren tanah batak
Menyehatkan sekaligus memabukkan
Membuatku berdarah-darah
*ada alusi ke dan referensi kepada kekayaan lokal
Melipat Februari dalam sebuah keinginan yang terpenggal[NN1]
[NN1]Kalimat
agak rancu dan dipaksakan.
[NN1]Baris
ini asyik. Sangat imajinatif dan metaforis. Bagus.
Jalan menuju muara
Menjauhi mata airmu
Hingga air mata menjarak dari mata air
[NN1]
[NN1]Pemilihan
kata (diksi) “muara” dan “mata air” di sini dibingkai oleh kesatuan makna
gramatikal.
[NN1]Judul
oke euy. Sip!
Engkau pengembara sunyi.Aku pun harus
sunyi.
[NN1]Singkat,
padat. Oke.
dan kamu tak pernah mengerti
cinta seperti apa yang kuberi untukmu
[NN1]
[NN1]Ungkapan
yang sederhana tapi cukup kuat.
(1)Terlambat[NN2]
Maka kulerai segala selisih di dalam sini yang
entah apa karena aku tak boleh lupa kalau kita mesti berpayung sama, langit pun
lelangit.
Kita tak mungkin selamanya menimang rasa yang
bernas, mesti sesekali diremukan[NN3]
saja sampai halus atau direndam dalam air hangat kuku lalu menikmatinya susut
dan larut. Rasanya sangat konyol membiarkan terjadi yang semestinya tak
terjadi. Seperti huruf H yang menguap karena penuh udara Seperti air yang ingin
kusulap menjadi agar-agar Biar tak lari disela [NN4] jemari.
[NN1]Catatan
khusus untuk Xenny: teruslah menulis
sajak-sajak dengan gaya dan rancang bangun seperti ini. Tampaknya Xenny merasa
nyaman dengan penulisan dengan gaya ini. Nanti jika suatu saat Xenny merasa
perlu melakukan ekplorasi estetik lain,
terimalah sebagai fase penulisan sajak/eksplorasi estetik berikutnya.
[NN2]Secara
keseluruhan puisi ini cukup kuat. Diperlukan nafas panjang dan konsentrasi
penuh untuk menulis sajak-sajak berkecenderungan prosais. Catatan ini juga
berlaku untuk Farra Yanuar.
[NN3]“diremukkan”,
bukan “diremukan”.
[NN4]“di
sela jemari”, bukan “disela jemari”.
hadir bukan karena dirinya
tapi hadir karena-Nya
*kontemplatif
(9)LELAH
Bila salahku menjelma
Karena…[NN1]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar