4/18/2014

CERPEN : MENTARI DI PULAU DEWATA

Hari masih belum terang benar. Aku sudah sibuk untuk melakukan perjalanan. Membuang segala gundah hatiku. “Aku pergi, Ma!” ujarku sambil menyandang ransel.
“Kamu mau kemana ?” tanya beliau kaget.
“Bali,” jawabku singkat.
“Pergi dengan siapa?” tanyanya hati-hati.
“Biasa, the gank,” jawabku singkat.  Aku merasa gusar juga dengan pertanyaan-pertanyaan tak penting itu. Hatiku sedang panas. Apapun bisa membuat hatiku bergolak.
            Sesaat kemudian, aku melangkah cepat menuju pintu depan. Ibu mengikutiku.  Wajahnya cemas untuk melepas putri tercintanya pergi dengan hati gundah gulana. Beliau bisa menangkap sinyal kekesalan hatiku. Namun, beliau tahu kebiasaanku ini. Perjalanan bersama sahabatku adalah obat mujarab untuk menyembuhkan luka.
“Semoga kamu bahagia di sana,” katanya setengah berteriak. Aku mengangguk tanpa melihat wajah beliau. Terbayang kerut cemas di wajahnya . Namun, aku tak bisa berdiam diri di rumah saat situasi galau seperti ini. Perjalanan ke stasiun kereta api kulalui dengan rusuh hati. Muncul juga rasa bersalah pada beliau yang telah melahirkanku.
“Ini semua gara-gara kamu !” umpatku kesal.
            Suasana ribut membuyarkan pikiranku. Aku kembali menapaki dunia nyata. Teman-temanku sudah lengkap dan siap berangkat. Ransel-ransel yang menggembung memberati punggung mereka. Pengorbanan untuk sebuah perjalanan. Mencari kebahagiaan.  Sepuluh menit kemudian, kami telah menikmati ayunan kereta api menuju Banyuwangi. Tawa dan canda mewarnai perjalanan dua hari ini. Satu persatu bekal yang kami bawa ludes, pindah ke perut. Belum lagi koki kereta api yang dibuat rusuh oleh kami yang lapar. Jail.
            Akhirnya, tiba waktunya bagi kami untuk menikmati angin laut. Kami melintasi selat bali dengan Feri. Perjalanan sekitar lima belas menit itu telah menghamburkan logam-logam yang memadati dompet. Logam-logam kecil itu menjadi rebutan anak-anak pantai. Atraksi yang menarik. Tubuh mereka yang kurus dan hitam berada di dalam air. Di sisi kapal. Lambaian tangan mereka menyita perhatian kami. “Koin… koin…koin…,” teriak mereka. Sayup sayup suaranya terdengar bercampur dengan suara mesin kapal dan angin. Spontan para penumpang kapalpun bergantian melempar koin pada sekawanan anak-anak itu. Dekat ataupun jauh dari jangkauan mereka. Tertangkap tangan atau tenggelam ke dalam laut. Anak-anak itu bagai ikan saja. Lincah memburu koin yang tenggelam. Aku tersenyum miris melihatnya.
            Tooot … toot … toootttt…. Saatnya kapal merapat di pelabuhan. “Akh, akhirnya kakiku sampai juga di pulau Bali,” ujarku dalam hati. Lalu, bis melaju membawa kami menuju hotel. Aku sekamar dengan Winda. Setelah membereskan ransel. Kami menikmati empuknya tempat tidur yang tertata rapi. “Pulau Dewata, kami datang dan siap menjelajahimu !” ucap Winda bahagia. Aku menatap langit-langit kamar. Wajah menyebalkan itu terlukis di sana. Menghiasi malam pertamaku di Bali. Tersenyum penuh kemenangan. Hatiku terkulai layu. Butiran air mata menetes di sudut mataku.
“Kamu baik-baik saja, kan ?” tanya Winda perlahan. Dia menghampiriku. Menggenggam tanganku. Aku mengangguk tak pasti.
“Lupakan luka itu!” ucapnya tegas.  “Kita berada di sini untuk bersenang-senang. Kau ingat itu, kan?” ujarnya lagi.  Aku menarik nafas sangat dalam dan perlahan. Sesak di hatiku mengalir pelan menuju udara bebas.
“Tidurlah! Besok kita perlu tenaga untuk menjelajahi Bali,” perintah sahabatku itu halus. Lelah. Aku berusaha keras menghilangkan rasa sakit yang membelenggu hati dan pikiranku. Namun, akhirnya lelap membiusku.
            Tawa riang di depan kamar membangunkanku. Sahabat-sahabatku telah siap berpetualang. Aku segera bergegas. Berdandan. Mataku sembab.
“Kau masih menangisinya ?” tanya Renata.
“Aaah, rugi banget,” ujar yang lain.
“Mari kita ke ruang makan. Sarapan terus kita jelajahi pulau Dewata ini. Lupakan semua masalah. Setujuu ?” ujar Sasha member semangat.
“Yuuuk mariii…,” jawab semuanya kompak seperti sebuah paduan suara. Sejenak kemudian, kami beriringan menuju ruang di depan sana. Tampak sudah ada beberapa tamu yang menikmati hidangan pagi itu. Kami pun segera bergabung untuk membersihkan piring-piring hidangan yang telah diisi aneka menu sarapan pagi. Warna-warni hidangan itupun satu persatu menghilang dari pandangan. Tak memakan waktu lama.
            Langkah berikutnya, kaki-kaki kami menyusuri pantai Sanur yang letaknya tak jauh dari tempat menginap. Ombaknya tak terlalu besar. Yang berbeda adalah penataan. Indah dipandang mata. Sedap dinikmati dan juga nyaman. Tempat pertama yang kami datangi adalah jajaran kios-kios kecil di pinggir pantai. Agak jauh dari air.Aroma dupa menyergap hidungku. Di sudut kios, ada kepulan asap kecil. Memanjang. Meninggi menuju angkasa. Kabur. Berbaur dengan udara pagi. Warna-warni kain dan corak memikat mata. Menguras kantong.
            “Yuk, kita ke pantai. Berjalan di pasir!” rengek Ayu yang memang paling gemar menikmati laut. Kicauan suara kami beralih dari kios menuju pantai. Sekilas orang-orang menatap kami. Heran mungkin dengan keributan sepagi ini. Kami abaikan mereka seperti para bule yang asyik menikmati Sanur. Indahnya pantai Sanur ini agak berbeda dengan pantai lain yang pernah kudatangi. Pangandaran atau Pelabuhan Ratu. Ini lebih eksotis. Lebih bersih dan rapi. Banyak bule. Kami menyusuri pantai, merasakan butiran-butiran pasir di kaki. Lumayan panjang dan pegal kaki. Setelah lelah, kami duduk-duduk di sebuah tikar plastik yang telah disediakan oleh pedagang baso. Wangi kuahnya menggelitik perut. Kami pun beramai-ramai menikmati semangkok baso sanur. Sedap. Licin tandas. Disambung rujak buah. Mmmhh segar sekali. Kami menikmati sumber vitamin itu sambil tak henti-hentinya memandangi Sanur yang ayu.
Tak jauh dari tempat kami berkumpul, kulihat sepasang manusia yang juga sedang menikmati keindahan Sanur. Bepegangan tangan. Mesra sekali. Sang wanita menggelayut manja. Tangan sang kekasih memegangi pundaknya. Romantis. Dengan rapat, mereka menikmati Sanur. Deburan ombak di pantai menghancurkan ketegaranku. Rasa sakit itu kembali muncul. Aku tersedu pelan. Kania yang berada di sampingku langsung menyadari situasi.
“Ah, mewek lagi deh. Lelaki bejad itu jangan kau tangisi terus. Percuma. Toh dia sudah pergi jauh bersama wanita lain. Dia tak akan mengingatmu. Lupakanlah dia. Kau pasti akan mendapatkan cowok pengganti yang lebih baik dari dirinya. Tersenyumlah !” ujarnya memberi semangat.
“Yup, betul tuh Ir. Mending makan rujak buah yang manis dan legit ini. Aaam…,” ujar Renata sambil menyuapiku dengan rujak. Teman-teman yang lain pun jadi tertawa riuh. Satu persatu mereka mengikuti jejak Renata.
Aku kembali tersenyum. Sahabat-sahabatku ini memang obat mujarab penghilang rasa sakit, sedih dan luka. Merekalah sumber bahagiaku. Penyemangat jiwaku. Dukungan mereka sangat berarti untuk kebangkitanku. Di dunia ini, hanya ada dua sumber kebahagiaan untukku:  ibuku dan sahabat sejatiku. Merekalah makna terdalam bahagiaku.
Perputaran waktu berjalan cepat. Matahari semakin berani menampakkan dirinya. Udara menjadi panas. Kami bergegas meninggalkan pantai Sanur. Tenggelam dalam hiruk pikuk keramaian pasar Sukowati. Pada sore menjelang, kami menjelajahi sudut-sudut kota Denpasar. Menyusuri mall, tempat makan. Toko-toko. Juga para pecakalang yang menjaga kota di malam hari.
Keesokan harinya, kami menuju Nusa Dua. Menikmati santap siang di The Bay Bali. Bebek Bengil menjadi pilihan favorit untuk mengisi perut. Bebek goreng yang terkenal renyahnya. Mantap. Pas banget dengan selera lidahku. Sedangkan Hanoman menjadi penyegar setelah santap siang itu. Segarnya jeruk dan markisa membuat diriku dan para sahabatku seolah-olah ada di surga firdaus dengan segala kelezatannya. Makan siang yang berkelas. Setelah itu, kami kembali menikmati panorama laut yang semakin eksotis. Restoran dan hotel ini memang dekat dengan laut. Penataan yang berkelas dengan desain khas bali semakin membuat kami merasa betah berada di sini. Suasana nyaman. Teduh. Tempat yang cocok bagi segala usia. Keluarga. Pengunjung dimanjakan dengan berbagai macam hal. Suasana semakin syahdu pada malam hari. Kami kembali menikmati The Bay Bali dalam cahaya lampu yang temaram. Romantis. “Seandainya saja, pendampingku hadir saat ini,” batinku. Hatiku menjerit.
“Hei, jangan melamun!” kata Sasha sambil menyikutku. “Tuh, pangeranmu datang,” ujarnya kemudian.
“Ah, kau ada-ada saja.  Jangan ngaco, ah. Nanti, termehek-mehek lagi nih,” rajukku.
“Serius, arah jam dua,” lanjutnya. “Tampan juga tuh,” katanya sambil tertawa pelan.
Dengan malu-malu, kuarahkan pandanganku sesuai petunjuknya. Deg. Sepasang mata yang memesona sedang menatapku. Dia mengangguk dan tersenyum. Aku memalingkan wajah. Tak ada orang lain di sini, selain aku dan Sasha. Sahabat-sahabatku yang lain agak jauh dari kami. Mereka asyik berfoto-foto. Aku menatap Sasha. Kami tersenyum dan menunduk penuh arti.
“Hai Sasha, Irene… sini. Kalian belum narsis nih. Ayo, sini !” Mereka memanggil kami. Kami segera berlari kecil menghampiri.  Sekilas,tatapan  lelaki itu mengikuti gerak langkahku. Aku dan para sahabatku rasanya kekurangan waktu untuk menikmati keindahan ini. Malam semakin larut. Saatnya tiba untuk kembali keperaduan. Besok pagi, kami akan menjelajahi pantai Kuta.
Perjalanan panjang, kembali harus kami tempuh agar bisa sampai di pantai Kuta. Pesona utama Bali. Identitas diri Bali. Takjub rasanya saat kembali kaki ini menapakinya. Gambar hidup dan nyata. Pura kecil di sebrang laut sana yang sering menjadi simbol utama, dapat kulihat jelas. Berdiri dengan kokoh diantara deburan ombak. “Kalau Mbak mau, bisa ke sana. Dangkal, kok. Mungkin hanya sepinggang. Aku dan para sahabatku mulai tergoda.
“Bahaya tidak ,Bli?” tanyaku ragu.
“Aman, kok. Banyak orang yang berhasil mencapai pura itu,” ujarnya sambil menunjuk rombongan di tengah laut.
“Bagaimana, kita berani mencobanya?” tanya Renata. Kami mengangguk mantap. Rasanya belum ke Bali kalau tidak sampai ke pura itu.
“Tunggu sebentar, ya!” kata lelaki pribumi itu.
Kami menanti sambil tetap menikmati keindahan pantai Kuta. Tak berapa lama kemudian, rombongan kami, mulai memasuki laut. Tubuhku basah. Kami berada di tengah. Tiba-tiba ombak datang. Aku limbung.  “Aaahhh…. Ireeeene !” Sesosok tangan tangguh menangkapku. Aku selamat. Tubuhnya merapat ke badanku hingga aku sampai di sebrang pantai. Sebuah pulau kecil tempat pura itu menyombongkan diri. Setelah yakin aman, dia melepaskanku. Dengan perasaan kaget dan takut, aku membalikkan badan dan mengucapkan terima kasih atas pertolongannya. Kekagetanku bertambah. Penolongku adalah lelaki di The Bay Bali tadi malam.  Bule tampan. Tinggi. Putih bersih. Dia tersenyum menenangkan.
 “Are you, ok Irene?” ujarnya. Belum sempat kujawab. Para sahabatku memelukku.
“Irene, kamu tidak apa-apa, kan?” ujar  mereka cemas. “Untung kamu selamat !” kata mereka lagi. Tak henti-hentinya, mereka mengucapkan terima kasih pada bule ganteng itu. Mereka tak mau kehilanganku. Pada akhirnya, bule bernama Willy itu bergabung dalam tur kami, menjelajahi Bali. Mentariku di Pulau Dewata. Atas bantuan para sahabatku, aku bisa kembali meraih kebahagiaanku. Merajut asa dan cita. Menatap hari esok dengan penuh warna. Lara berganti bahagia. Letters of happiness !

 Where are We 




1 komentar:

Featured Post

Dua Puisiku di Bulan September

                                                                                    Peristiwa Sumber Inspirasi                              ...