Hari
masih belum terang benar. Aku sudah sibuk untuk melakukan perjalanan. Membuang
segala gundah hatiku. “Aku pergi, Ma!” ujarku sambil menyandang ransel.
“Kamu
mau kemana ?” tanya beliau kaget.
“Bali,”
jawabku singkat.
“Pergi
dengan siapa?” tanyanya hati-hati.
“Biasa,
the gank,” jawabku singkat. Aku merasa
gusar juga dengan pertanyaan-pertanyaan tak penting itu. Hatiku sedang panas.
Apapun bisa membuat hatiku bergolak.
Sesaat kemudian, aku melangkah cepat
menuju pintu depan. Ibu mengikutiku.
Wajahnya cemas untuk melepas putri tercintanya pergi dengan hati gundah
gulana. Beliau bisa menangkap sinyal kekesalan hatiku. Namun, beliau tahu
kebiasaanku ini. Perjalanan bersama sahabatku adalah obat mujarab untuk menyembuhkan
luka.
“Semoga
kamu bahagia di sana,” katanya setengah berteriak. Aku mengangguk tanpa melihat
wajah beliau. Terbayang kerut cemas di wajahnya . Namun, aku tak bisa berdiam
diri di rumah saat situasi galau seperti ini. Perjalanan ke stasiun kereta api
kulalui dengan rusuh hati. Muncul juga rasa bersalah pada beliau yang telah
melahirkanku.
“Ini
semua gara-gara kamu !” umpatku kesal.
Suasana ribut membuyarkan pikiranku.
Aku kembali menapaki dunia nyata. Teman-temanku sudah lengkap dan siap berangkat.
Ransel-ransel yang menggembung memberati punggung mereka. Pengorbanan untuk
sebuah perjalanan. Mencari kebahagiaan.
Sepuluh menit kemudian, kami telah menikmati ayunan kereta api menuju
Banyuwangi. Tawa dan canda mewarnai perjalanan dua hari ini. Satu persatu bekal
yang kami bawa ludes, pindah ke perut. Belum lagi koki kereta api yang dibuat
rusuh oleh kami yang lapar. Jail.
Akhirnya, tiba waktunya bagi kami
untuk menikmati angin laut. Kami melintasi selat bali dengan Feri. Perjalanan
sekitar lima belas menit itu telah menghamburkan logam-logam yang memadati
dompet. Logam-logam kecil itu menjadi rebutan anak-anak pantai. Atraksi yang
menarik. Tubuh mereka yang kurus dan hitam berada di dalam air. Di sisi kapal.
Lambaian tangan mereka menyita perhatian kami. “Koin… koin…koin…,” teriak
mereka. Sayup sayup suaranya terdengar bercampur dengan suara mesin kapal dan
angin. Spontan para penumpang kapalpun bergantian melempar koin pada sekawanan
anak-anak itu. Dekat ataupun jauh dari jangkauan mereka. Tertangkap tangan atau
tenggelam ke dalam laut. Anak-anak itu bagai ikan saja. Lincah memburu koin
yang tenggelam. Aku tersenyum miris melihatnya.
Tooot … toot … toootttt…. Saatnya
kapal merapat di pelabuhan. “Akh, akhirnya kakiku sampai juga di pulau Bali,”
ujarku dalam hati. Lalu, bis melaju membawa kami menuju hotel. Aku sekamar
dengan Winda. Setelah membereskan ransel. Kami menikmati empuknya tempat tidur
yang tertata rapi. “Pulau Dewata, kami datang dan siap menjelajahimu !” ucap
Winda bahagia. Aku menatap langit-langit kamar. Wajah menyebalkan itu terlukis
di sana. Menghiasi malam pertamaku di Bali. Tersenyum penuh kemenangan. Hatiku
terkulai layu. Butiran air mata menetes di sudut mataku.
“Kamu
baik-baik saja, kan ?” tanya Winda perlahan. Dia menghampiriku. Menggenggam
tanganku. Aku mengangguk tak pasti.
“Lupakan
luka itu!” ucapnya tegas. “Kita berada
di sini untuk bersenang-senang. Kau ingat itu, kan?” ujarnya lagi. Aku menarik nafas sangat dalam dan perlahan.
Sesak di hatiku mengalir pelan menuju udara bebas.
“Tidurlah!
Besok kita perlu tenaga untuk menjelajahi Bali,” perintah sahabatku itu halus.
Lelah. Aku berusaha keras menghilangkan rasa sakit yang membelenggu hati dan
pikiranku. Namun, akhirnya lelap membiusku.
Tawa riang di depan kamar membangunkanku.
Sahabat-sahabatku telah siap berpetualang. Aku segera bergegas. Berdandan.
Mataku sembab.
“Kau
masih menangisinya ?” tanya Renata.
“Aaah,
rugi banget,” ujar yang lain.
“Mari
kita ke ruang makan. Sarapan terus kita jelajahi pulau Dewata ini. Lupakan
semua masalah. Setujuu ?” ujar Sasha member semangat.
“Yuuuk
mariii…,” jawab semuanya kompak seperti sebuah paduan suara. Sejenak kemudian,
kami beriringan menuju ruang di depan sana. Tampak sudah ada beberapa tamu yang
menikmati hidangan pagi itu. Kami pun segera bergabung untuk membersihkan
piring-piring hidangan yang telah diisi aneka menu sarapan pagi. Warna-warni
hidangan itupun satu persatu menghilang dari pandangan. Tak memakan waktu lama.
Langkah berikutnya, kaki-kaki kami
menyusuri pantai Sanur yang letaknya tak jauh dari tempat menginap. Ombaknya
tak terlalu besar. Yang berbeda adalah penataan. Indah dipandang mata. Sedap
dinikmati dan juga nyaman. Tempat pertama yang kami datangi adalah jajaran
kios-kios kecil di pinggir pantai. Agak jauh dari air.Aroma dupa menyergap
hidungku. Di sudut kios, ada kepulan asap kecil. Memanjang. Meninggi menuju
angkasa. Kabur. Berbaur dengan udara pagi. Warna-warni kain dan corak memikat
mata. Menguras kantong.
“Yuk, kita ke pantai. Berjalan di
pasir!” rengek Ayu yang memang paling gemar menikmati laut. Kicauan suara kami
beralih dari kios menuju pantai. Sekilas orang-orang menatap kami. Heran
mungkin dengan keributan sepagi ini. Kami abaikan mereka seperti para bule yang
asyik menikmati Sanur. Indahnya pantai Sanur ini agak berbeda dengan pantai
lain yang pernah kudatangi. Pangandaran atau Pelabuhan Ratu. Ini lebih eksotis.
Lebih bersih dan rapi. Banyak bule. Kami menyusuri pantai, merasakan
butiran-butiran pasir di kaki. Lumayan panjang dan pegal kaki. Setelah lelah,
kami duduk-duduk di sebuah tikar plastik yang telah disediakan oleh pedagang
baso. Wangi kuahnya menggelitik perut. Kami pun beramai-ramai menikmati
semangkok baso sanur. Sedap. Licin tandas. Disambung rujak buah. Mmmhh segar
sekali. Kami menikmati sumber vitamin itu sambil tak henti-hentinya memandangi
Sanur yang ayu.
Tak
jauh dari tempat kami berkumpul, kulihat sepasang manusia yang juga sedang
menikmati keindahan Sanur. Bepegangan tangan. Mesra sekali. Sang wanita
menggelayut manja. Tangan sang kekasih memegangi pundaknya. Romantis. Dengan
rapat, mereka menikmati Sanur. Deburan ombak di pantai menghancurkan
ketegaranku. Rasa sakit itu kembali muncul. Aku tersedu pelan. Kania yang
berada di sampingku langsung menyadari situasi.
“Ah,
mewek lagi deh. Lelaki bejad itu jangan kau tangisi terus. Percuma. Toh dia
sudah pergi jauh bersama wanita lain. Dia tak akan mengingatmu. Lupakanlah dia.
Kau pasti akan mendapatkan cowok pengganti yang lebih baik dari dirinya.
Tersenyumlah !” ujarnya memberi semangat.
“Yup,
betul tuh Ir. Mending makan rujak buah yang manis dan legit ini. Aaam…,” ujar
Renata sambil menyuapiku dengan rujak. Teman-teman yang lain pun jadi tertawa
riuh. Satu persatu mereka mengikuti jejak Renata.
Aku
kembali tersenyum. Sahabat-sahabatku ini memang obat mujarab penghilang rasa
sakit, sedih dan luka. Merekalah sumber bahagiaku. Penyemangat jiwaku. Dukungan
mereka sangat berarti untuk kebangkitanku. Di dunia ini, hanya ada dua sumber
kebahagiaan untukku: ibuku dan sahabat
sejatiku. Merekalah makna terdalam bahagiaku.
Perputaran
waktu berjalan cepat. Matahari semakin berani menampakkan dirinya. Udara
menjadi panas. Kami bergegas meninggalkan pantai Sanur. Tenggelam dalam hiruk
pikuk keramaian pasar Sukowati. Pada sore menjelang, kami menjelajahi
sudut-sudut kota Denpasar. Menyusuri mall, tempat makan. Toko-toko. Juga para
pecakalang yang menjaga kota di malam hari.
Keesokan
harinya, kami menuju Nusa Dua. Menikmati santap siang di The Bay Bali. Bebek
Bengil menjadi pilihan favorit untuk mengisi perut. Bebek goreng yang terkenal
renyahnya. Mantap. Pas banget dengan selera lidahku. Sedangkan Hanoman menjadi
penyegar setelah santap siang itu. Segarnya jeruk dan markisa membuat diriku
dan para sahabatku seolah-olah ada di surga firdaus dengan segala kelezatannya.
Makan siang yang berkelas. Setelah itu, kami kembali menikmati panorama laut
yang semakin eksotis. Restoran dan hotel ini memang dekat dengan laut. Penataan
yang berkelas dengan desain khas bali semakin membuat kami merasa betah berada
di sini. Suasana nyaman. Teduh. Tempat yang cocok bagi segala usia. Keluarga.
Pengunjung dimanjakan dengan berbagai macam hal. Suasana semakin syahdu pada
malam hari. Kami kembali menikmati The Bay Bali dalam cahaya lampu yang
temaram. Romantis. “Seandainya saja, pendampingku hadir saat ini,” batinku.
Hatiku menjerit.
“Hei,
jangan melamun!” kata Sasha sambil menyikutku. “Tuh, pangeranmu datang,”
ujarnya kemudian.
“Ah,
kau ada-ada saja. Jangan ngaco, ah.
Nanti, termehek-mehek lagi nih,” rajukku.
“Serius,
arah jam dua,” lanjutnya. “Tampan juga tuh,” katanya sambil tertawa pelan.
Dengan
malu-malu, kuarahkan pandanganku sesuai petunjuknya. Deg. Sepasang mata yang
memesona sedang menatapku. Dia mengangguk dan tersenyum. Aku memalingkan wajah.
Tak ada orang lain di sini, selain aku dan Sasha. Sahabat-sahabatku yang lain
agak jauh dari kami. Mereka asyik berfoto-foto. Aku menatap Sasha. Kami
tersenyum dan menunduk penuh arti.
“Hai
Sasha, Irene… sini. Kalian belum narsis nih. Ayo, sini !” Mereka memanggil
kami. Kami segera berlari kecil menghampiri. Sekilas,tatapan lelaki itu mengikuti gerak langkahku. Aku dan
para sahabatku rasanya kekurangan waktu untuk menikmati keindahan ini. Malam
semakin larut. Saatnya tiba untuk kembali keperaduan. Besok pagi, kami akan
menjelajahi pantai Kuta.
Perjalanan
panjang, kembali harus kami tempuh agar bisa sampai di pantai Kuta. Pesona
utama Bali. Identitas diri Bali. Takjub rasanya saat kembali kaki ini
menapakinya. Gambar hidup dan nyata. Pura kecil di sebrang laut sana yang
sering menjadi simbol utama, dapat kulihat jelas. Berdiri dengan kokoh diantara
deburan ombak. “Kalau Mbak mau, bisa ke sana. Dangkal, kok. Mungkin hanya
sepinggang. Aku dan para sahabatku mulai tergoda.
“Bahaya
tidak ,Bli?” tanyaku ragu.
“Aman,
kok. Banyak orang yang berhasil mencapai pura itu,” ujarnya sambil menunjuk
rombongan di tengah laut.
“Bagaimana,
kita berani mencobanya?” tanya Renata. Kami mengangguk mantap. Rasanya belum ke
Bali kalau tidak sampai ke pura itu.
“Tunggu
sebentar, ya!” kata lelaki pribumi itu.
Kami
menanti sambil tetap menikmati keindahan pantai Kuta. Tak berapa lama kemudian,
rombongan kami, mulai memasuki laut. Tubuhku basah. Kami berada di tengah.
Tiba-tiba ombak datang. Aku limbung. “Aaahhh….
Ireeeene !” Sesosok tangan tangguh menangkapku. Aku selamat. Tubuhnya merapat
ke badanku hingga aku sampai di sebrang pantai. Sebuah pulau kecil tempat pura
itu menyombongkan diri. Setelah yakin aman, dia melepaskanku. Dengan perasaan
kaget dan takut, aku membalikkan badan dan mengucapkan terima kasih atas
pertolongannya. Kekagetanku bertambah. Penolongku adalah lelaki di The Bay Bali
tadi malam. Bule tampan. Tinggi. Putih
bersih. Dia tersenyum menenangkan.
“Are you, ok Irene?” ujarnya. Belum sempat
kujawab. Para sahabatku memelukku.
“Irene,
kamu tidak apa-apa, kan?” ujar mereka
cemas. “Untung kamu selamat !” kata mereka lagi. Tak henti-hentinya, mereka
mengucapkan terima kasih pada bule ganteng itu. Mereka tak mau kehilanganku.
Pada akhirnya, bule bernama Willy itu bergabung dalam tur kami, menjelajahi
Bali. Mentariku di Pulau Dewata. Atas bantuan para sahabatku, aku bisa kembali
meraih kebahagiaanku. Merajut asa dan cita. Menatap hari esok dengan penuh
warna. Lara berganti bahagia. Letters of happiness !