10/25/2013

PUISI ESAI



MUTIARA YANG HILANG
Kutelusuri gang-gang sempit yang berliku-liku.
Kucari dirimu yang menghilang tiba-tiba tanpa jejak.
Kau bagai jarum dalam tumpukan jerami.
Beberapa kampung telah kutelusuri, tapi tetap tak kutemukan dirimu.
Kutanya orang-orang yang kulewati, tak ada yang tahu siapa dirimu.
Iwan ? Semua menggeleng lesu.
Mata-mata mereka menatapku dengan iba.
Di lain kampung, kutemukan Iwan.
Namun, bukan dirimu yang kucari.
Hanya seorang bocah ingusan yang belum sekolah. 
Kakiku letih mengitari kota.
Garangnya sinar matahari membakarku.
 Dahaga mencekikku.
 Lapar menderaku.
Ingin kucari jejakmu.
Namun, tak juga kudengar secuil beritapun tentang dirimu.
 Kau lenyap tak berbekas.
Hilang ditelan bumi.
 Aaaggghh …. Hari itu, langkahku terhenti oleh redupnya matahari.
Esok pagi, kusambut mentari.
Kutelusuri jejakmu lewat sobat-sobat kecilmu.
Kau semakin misterius.
Bersembunyi dalam gelap.
Aneh, sahabat-sahabatmu tak tahu tempat tinggalmu.
 Kau selalu menolak mereka untuk datang mengunjungimu.
Biar dirimu yang akan selalu menyambangi mereka.
Di balik senyummu tersimpan sebuah teka-teki.
Kau adalah teka-teki terbesarku.
Kotak-kotak misterimu bagai magnet yang menghipnotisku.
Aku harus menemukan jejakmu.
Kau tak boleh lenyap tanpa jejak.
Kerjamu belum selesai.
Kau harus membayar lunas hutangmu.
Kau harus muncul dihadapanku sekarang juga !
Perjalananmu baru setengah. 
Tinggal selangkah lagi kau tamatkan perjalanan itu.
 Akankah kau biarkan dia terabaikan begitu saja ?
Berlalu sia-sia ?
Pergi tanpa hasil ?
Bodohnya kau !
Aku sangat marah padamu.
Mengapa tak kau cerita padaku ?
Sudah sebulan ini, kau menghilang. 
Aku tetap belum menemukanmu.
Nihil.
Masa depanmu, ada di tanganku.
Aku tak boleh menyerah !
Kupasrahkan dirimu kepada  Pemilik Yang Maha Agung.
Aku bersujud pada selembar sajadah.
Kupanjatkan doa-doa untukmu.
Kusebut namamu berulang-ulang dalam keheningan malam dengan sepenuh jiwa.
Aku memohon pada Tuhan agar dipertemukan kembali denganmu. 
Sampai detik ini, aku tetap menginginkanmu.
Tak rela kau lepas dariku begitu saja.
Tanpa makna.
Aku tetap menginginkan kehadiranmu.  
Kau tetap ada di hatiku dan pikiranku.
Kau adalah igauanku saat terlelap.  
Aku berharap kau segera pulang.
Aku berharap ada kabar beritamu.
 Aku berharap Tuhan memberikan petunjuk-Nya.
Keesokan harinya, seseorang memanggilku.
Seorang sahabatmu datang kepadaku.
Berseragam biru putih.
Nafasnya terengah-engah.
 Dia membawa kabar tentangmu.
Dia mengetahui keberadaanmu.
Horeee… ! Tuhan mengabulkan doaku. Terima kasih, ya Allah!
Detik itu juga, aku segera berlari, ingin menjumpaimu.
Tak sabar hatiku untuk melihat wajahmu.
Tak sabar hatiku ingin mengetahui keadaan dirimu.
Kembali kutapaki jalan-jalan kota yang berdebu.
 Kulewati celah-celah sempit menuju rumahmu.
Kampungmu kudatangi.
Orang-orang mengetahui dirimu.
Kau tahu, apa yang mereka lakukan ?
Orang-orang kampung itu mengiringi langkahku menuju tempat tinggalmu.
Satu per satu membentuk barisan panjang.
 Aku bagaikan artis yang mereka puja-puja.
 Kampungmu menjadi ramai.
Kedatanganku menghebohkan kampungmu.
 Mereka terheran-heran.
Mengapa aku mencarimu ?
Di mata mereka, kau hanyalah seorang bocah kecil yang tak berarti.
 Akhirnya, aku sampai di depan pintu rumahmu.
Kau tak terusik.
Aku mengetuk pintu rumahmu.
Tak ada jawaban.
Orang-orang sibuk mencari bapakmu.
Aku mengetuk pintu rumahmu lagi.
Klik. Ah, kau muncul dihadapanku.
Aku bahagia sekaligus bingung.
Sepagi ini kau masih acak-acakan ?
Kau mempersilakan aku untuk masuk ke rumahmu.
 Lalu, kau pergi meninggalkanku kembali.
Orang-orang kampung itu satu per satu melangkah menjauhi rumahmu.
Rasa ingin tahunya sudah terbayar.
 Hening. Aku menatap rumahmu dalam diam.
Sebuah ruang sempit yang sama dengan ukuran kamar tidurku.
Kosong. Tak ada siapa-siapa. Tak ada apa-apa.
Aku duduk di lantai semen tanpa alas.
 Agak berdebu. Rumah ini tak terawat.
Tidak ada sentuhan tangan wanita. 
Kau muncul kembali.
Rambut dan wajahmu basah.
Kau habis cuci muka
Pakaianmu lusuh.
Kau duduk tertunduk dalam di hadapanku.
Tak berkutik. Apakah aku algojo bagimu ?
Aku menatap dirimu lekat-lekat.
Tubuhmu yang kecil mengurus.
Rambutmu tak terawat.
Wajahmu agak pucat.
“Kau sakit ?” tanyaku khawatir.
Kau menggelengkan kepala sambil tetap menunduk dalam.
“Kau sudah makan ?” tanyaku.
Kau kembali menggeleng lemah.
“Mengapa kau tak bersekolah ?” tanyaku.
Kau diam seribu bahasa.
Bibirmu terkunci rapat-rapat.
Aku menanti jawabanmu.
Kau mempermainkan ujung bajumu. Lalu, mematung.
“Wan, angkat wajahmu ! Ibu ingin melihatmu,” kataku lembut.
Perlahan-lahan kau angkat wajahmu malu-malu.
 Tulang rahangmu terlihat jelas. Juga pundakmu.
Matamu tak bercahaya. Aku memegangi pundakmu. Keras.
Tiba-tiba… bapakmu datang tergopoh-gopoh.
“Maafkan Iwan, Bu!
Iwan tak bersalah.
Sayalah yang salah.
 Iwan tidak bersekolah karena saya tidak punya uang.
Saya tidak punya pekerjaan.
Saya hanya kerja serabutan.
Menunggu belas kasihan tetangga.
Rumahpun tidak punya.
Ini hanyalah rumah kontrakan milik bapak.
Saya tidak punya apa-apa, Bu!
Sudah lama, istri saya tidak kirim uang.
Ibunya Iwan pergi ke Arab Saudi.
Jadi TKW sejak tahun 2000.
Kami ditinggalkannya berdua. 
Biaya sekolah Iwan, istri saya yang tanggung.
Sekarang, dia tidak kirim uang lagi.
Saya tidak punya uang untuk bayar ongkosnya.
Boro-boro untuk sekolah, uang untuk makanpun tak ada.
Saya putuskan, Iwan berhenti sekolah saja, Bu.”
“Sayang Pak, tinggal selangkah lagi.
Iwan dinyatakan sudah lulus ujian.
Tinggal melunasi hutang-hutang nilai ujian sekolahnya saja.
 Sayang, kalau berhenti tanpa ijasah, Pak!’ bantahku.
Bapakmu terdiam.
Kau juga diam tak berkutik.
Tak ada sepatah katapun keluar dari bibirmu yang mengering.
“Kau ingin berhenti sekolah, Wan?” tanyaku padamu.
“Tidak, Bu. Saya ingin tetap sekolah,” jawabmu lirih.
“Cepat mandilah, kita pergi ke sekolah sekarang juga.
 Ibu akan membawamu pergi,” kataku tegas.
Bapakmu hanya terdiam tak berdaya. 
Masalah TKW bukan hanya ada di luar negeri saja, tapi juga di dalam negeri.
 Di  dalam rumah.
Dalam sebuah bangunan kecil sederhana.
Bukan hanya pemancungan.
Gaji tak dibayarkan.
Penyiksaan.
Penipuan.
TKW pun menelantarkan bocah-bocah yang tak terawat.
Hidup tanpa sentuhan kelembutan seorang ibu.
Hidup tanpa bimbingan seorang ibu.
Hidup tanpa mampu mencium tangan sang bunda saat berpamitan.
 Hidup dalam kehampaan.
Hidup dalam kesendirian.
Bocah-bocah yang haus kasih sayang.  Mutiara yang hilang.

Featured Post

Festival Cireundeu Cimahi: Maknyus, Icip-Icip Nasi Goreng Rasi

  Halo sobat yayuarundina.com – Kali ini, kita jalan-jalan tipis di dalam kota Cimahi. Tanpa disengaja muncul informasi acara Festival Cire...