GELAR BEREAN
“Mak,
aku ingin melanjutkan sekolah,” kataku pada ibu.
“Aduh Jang, Emak tidak punya biaya untuk
itu. Bapakmu baru saja meninggal. Emak tidak bekerja. Kita hanya punya uang pensiun
yang tidak seberapa. Emak doakan semoga kamu mendapatkan rejeki untuk sekolah
lagi,” jawab Emak sendu.
Beliau hanya bisa menatapku dengan sorot
mata suram. Kekecewaan yang luar biasa ada pada raut wajahnya. Selama ini,
Emaklah yang mendorongku untuk terus rajin belajar agar menjadi orang sukses.
Emak ingin agar aku bisa sekolah tinggi dan menjadi orang yang bermanfaat bagi
kehidupan pribadiku dan lingkungan sekitarku. Aku bisa merasakan semangat baja
Emak dalam diriku. Namun, semangat itu redup begitu saja oleh harga pendidikan
yang melambung tinggi hingga puluhan juta rupiah. Emak tak mampu membayarnya.
Gaji pensiun bapak tak lebih dari sejuta.
Emak tercenung. Diam. Aku merasa kasihan padanya. Aku merasa bersalah
telah membawa beliau pada kekecewaan maha dahsyat ini. Aku mendekapnya erat-erat.
“Sudahlah Mak. Jangan bersedih hati.
Kalau rejeki takkan kemana. Pasti ada jalan,” ujarku lembut sambil mendekap
beliau erat-erat.
Ingin kurontokkan seluruh rasa kecewa
itu dari dalam hatinya agar beliau kembali bahagia. Aku mencium pipi dan
keningnya. Aku menggodanya. Beliau tersenyum manis.
Beberapa bulan setelah
itu, aku menerima tawaran bekerja pada orang asing yang baru datang ke
Indonesia. Beliau membutuhkan tenaga administrasi untuk mendukung pekerjaannya.
Aku mengandalkan kemampuan bahasa Inggrisku dari hasil belajar di sekolah
selama SMP dan SMA. Orang asing itu berasal dari Amerika. Kulitnya putih khas
bule. Bola matanya hitam. Rambutnya pirang pendek. Tubuhnya tinggi sekali.
Terkadang aku sedikit minder jika harus berdiri di depannya. Aku bagaikan
liliput di hadapan Guliver. Bedanya, muka orang asing itu mirip Osama Bin
Leiden. Penuh janggut dan brewokan. Tapi, rambut-rambut di wajahnya itu tertata
bersih. Aku suka bekerja padanya. Orangnya ramah dan kebapakan. Di sini, dia
tinggal bersama istri dan seorang anaknya yang berusia sekitar delapan tahun. Herannya,
di Amerika dia ternyata seorang dokter. Namun, di Indonesia dia bekerja sebagai
konsultan pendidikan. Sering juga memberikan pelajaran bahasa Inggris di
beberapa sekolah.
Sejak saat itu, aku melupakan impian
untuk melanjutkan sekolah. Aku serius bekerja padanya. Banyak hal yang
kudapatkan darinya. Penataan hidupnya lebih teratur. Dia banyak bercerita
tentang banyak hal. Kebiasaan orang Amerika. Cerita rakyat Amerika. Aku
mendapatkan banyak wawasan baru karenanya. Tanpa terasa, setahun telah berlalu.
Dia memanggilku. Aku diminta duduk di ruang kerjanya. Dia tampak serius di meja
kerjanya. Dia menatapku tajam. Aku tak bisa menerka pikirannya. Hatiku waswas.
Aku takut kalau dipecat.
“Kalau dipecat, aku akan bekerja dimana
? batinku.
“Apa salahku sehingga dia memecatku
secara tiba-tiba?” tanyaku dalam hati.
Aku tak berani
menatapnya. Dia tak bersuara. Hanya angin yang masuk menerobos celah-celah
lubang angin. Dingin. Aku menanti dengan cemas.
“Dinda,” panggilnya mengejutkanku.
“Ya, Pak!” jawabku pendek dengan suara
yang tercekik di kerongkongan.
“Hari ini, kau kupecat sebagai pegawaiku,”
katanya tegas dengan bahasa Indonesia yang fasih.
Aku terkejut bukan kepalang.
Kekhawatiran itu menjadi kenyataan. Aku tak mampu berkata-kata. Aku hanya
menatapnya dengan sejuta rasa. Aku tertunduk lesu. Butiran air mata jatuh
menghangat di pipiku.
“Dinda, kau mendengarkan suaraku ?”
tanyanya lagi.
Aku mengangguk pelan.
“Sejak hari ini, aku tak membutuhkan
tenagamu lagi. Kau terlalu cerdas untuk pekerjaan semacam ini. Kau harus kuliah
lagi. Aku akan membayar uang kuliahmu. Jangan khawatir !” ujarnya sambil
tersenyum.
Aku menatapnya tak percaya. Rasanya
seperti mendapatkan durian runtuh di siang bolong yang teramat terik. Tangisku
berganti tawa bahagia.
“Bapak serius ?” tanyaku ragu.
“Ya, aku menyukaimu. Istriku dan anakku
juga. Kau tahu? Anakku tak ingin kembali ke Amerika. Dia betah di sini. Katanya
rumahnya ada di Indonesia,” ujarnya tertawa senang.
“Kau banyak membantu kami selama berada
di sini. Kau mengajari kami bahasa Indonesia sehingga bisa berkomunikasi dengan baik pada warga
sekitar sini dan teman-teman Indonesiaku. Kau adalah keluargaku. Aku senang
jika keluargaku maju dan berpendidikan. Oleh karena itu, kau harus bersekolah
lagi. Aku serius !” jelasnya panjang lebar.
“Terima kasih, Pak !” kataku senang.
“Emak, doamu terkabul. Aku bisa
melanjutkan sekolah lagi,” bisikku dalam hati.
Aku membayangkan wajah Emak sumringah
bila mendengar kabar ini. Belaiu pasti senang, anaknya jadi sarjana sesuai
dengan cita-citanya. Aku akan segera melayangkan surat pada beliau.
Setelah dua puluh dua
tahun berlalu. Peristiwa itu kembali terulang.
Hari ini, aku dipanggil menghadap atasan
di ruang kerjanya. Pak satpam sengaja menemuiku di ruang atas.
“Teh, dipanggil Ibu,” katanya pendek.
Setelah membereskan pekerjaanku sejenak,
aku segera menyusulnya ke bawah dan menemui atasanku. Wajahnya berseri-seri.
Kulitnya yang putih bersih seolah-olah memancarkan cahaya bahagia itu.
“Duduklah !” ujarnya sambil berjalan
menuju meja kerjanya.
“Saya baru saja mendapatkan kabar bahwa ada
beasiswa untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia kita. Saya memilihmu
untuk menerima beasiswa itu. Konditemu bagus. Kemampuanmu ada. Usiamu sesuai.
Jadi, kamu harus mau menerimanya, ya?” terangnya panjang lebar.
Kembali aku terpana.
“Emak, aku akan kuliah S2 sekarang.
Rejeki itu datang lagi. Terima kasih, ya Allah. Engkau telah memberikan
kesempatan ini padaku. Cita-citaku dan Emak dapat terwujud karena kasih
sayangmu. Engkau memberikannya melalui orang-orang yang tepat. Semoga aku bisa
memenuhi harapan itu !” doaku.