5/05/2013

MENIKMATI SUASANA JAJAN DI PINGGIR JALAN

www.kompasiana.com/arundina
<a href='http://www.femina.co.id/track.banner/133'><img src='http://www.femina.co.id/webTemplate/femina3/images/blogCompetition/bc_banner.jpg'/></a>



Dulu, aku merasa jijik jika harus jajan di pinggir jalan. Namun, setelah menyusuri jalan Malioboro, Jogjakarta dan icip-icip di sana, rasanya aku jadi terhipnotis. Jajan di pinggir jalan ternyata mengasyikkan. Banyak nuansa baru yang kudapatkan. Jajan di pinggir jalan memiliki kekhasan tersendiri yang tak akan kita dapatkan jika jajan atau makan-makan di restoran ataupun rumah makan.
            Jajan di pinggir jalan memiliki suatu suasana khusus yang berbeda, terutama saat sore atau malam hari. Kita bisa menikmati suasana kota dalam balutan malam. Menikmati kerlap-kerlip lampu yang membawa suatu nuansa tersendiri. Kita bisa melihat hiruk pikuk kehidupan secara nyata. Sambil menunggu pesanan datang, seringkali kita didatangi para pengamen jalanan. Sekali lagi, nuansanya berbeda dengan sajian music di rumah makan. Ada kekhasan tersendiri. Kita bisa memesan lagu sambil berbincang-bincang dengan mereka. Saat itu, ada jalinan keakraban tersendiri yang jarang kita dapatkan saat makan di restoran atau rumah makan.
            Jajan di pinggir jalan mampu mendobrak kekakuan yang selama ini mengungkungi kita. Jajan di pinggir jalan membuat kita lebih santai, bebas dari keformalan yang seringkali menyebalkan. Kita bisa tertawa lepas. Bercengkrama atau ngobrol dengan teman secara bebas. Situasi yang enak untuk curhat  dan  berdiskusi tanpa ada ikatan yang kaku. Saat itu, saya baru menyadari sebuah alasan para sastrawan Jogjakarta, khususnya sering mengadakan kegiatan berbincang-bincang secara lesehan. Dan itulah yang terjadi saat kita menikmati sajian makanan di pinggir jalan. Duduk tanpa kursi,menghadapi meja pendek yang menawarkan kenyamanan. Menikmati sepiring nasi hangat, burung dara goreng yang garing, berasa asin yang sedap ditemani sambal dan lalab. Bondan Winarno pasti akan mengatakan kata-kata ajaibnya, yaitu top markotop !
Jajanan di pinggir jalan pun akan menawarkan kelezatan makanan yang berbeda dari rasa restoran ataupun rumah makan. Kesederhanaan cita rasanya mampu membangkitkan selera. Ada magic tersendiri, jika kita telah mencicipi makanan di pinggir jalan itu. Perpaduan antara suasana dan kelezatan itu menjadi nilai tambah tersendiri saat kita icip-icip makanan di pinggir jalan. Takkan ada duanya dan takkan mampu ditawarkan oleh sebuah restoran mewah sekalipun. Jajan di pinggir jalan sungguh asyik. Bagi saya yang suka nulis, hal itu mampu membangkitkan inspirasi. Mampu melambungkan angan dan mengaktifkan semua panca indera kita. Top markotop yang kedua ! Tak ada salahnya, jika kita hendak jajan di pinggir jalan.
Jajan di pinggir jalan pun akan menawarkan tantangan tersendiri. Kita harus pandai-pandai memilih., Jangan sampai terjebak harga yang melambung tinggi. Inilah salah satu kelemahannya. Seringkali para pedagang kaki lima ini berpikiran pendek. Mereka akan pasang tarif seenaknya kepada para pembelinya. Mereka tidak memiliki standar harga yang khusus. Keegoisan seringkali menjadi penentu harga jual makanan. Akibatnya, para pembeli akan bersungut-sungut, bahkan menyumpahi pedagang itu agar jualannya tidak laku. Satu fenomena yang seringkali terjadi, harga selangit, makanan tak enak. Oleh karena itu, kita harus mengatur strategi. Jangan terburu-buru !
Jajan di pinggir jalan memiliki nilai seni tersendiri. Jika kita memiliki strategi yang tepat, maka keindahan dan kenikmatanlah yang akan kita dapatkan. Sebaliknya, jika strategi kita kurang tepat, maka kekecewaanlah yang akan kita peroleh. Oleh karena itu, nikmati dulu perjalanan anda dan amati deretan para penjual makanan tersebut. Itulah seninya. Kita dihadapkan pada beberapa pilihan yang seringkali menjebak. Ada beberapa panduan yang biasanya dilakukan oleh banyak orang.  Hal pertama yang akan saya pilih adalah kebersihannya, baik kebersihan tempat maupun penjualnya. Kebersihan inilah yang akan mampu membangkitkan selera. Lalu, kedua adalah saya seringkali menjatuhkan pilihan pada makanan yang tak biasa. Makanan baru atau makanan khas suatu tempat yang belum pernah saya cicipi. Makanan seperti itu daya magnetnya kuat sekali. Dan ketiga, pilihan saya akan jatuh pada jajanan pinggir jalan yang banyak diserbu orang. Konon, katanya jika seperti itu artinya makanannya enak dan dijamin takkan ada makanan yang basi atau kadaluarsa. Nilai seni ini juga berkaitan dengan cara kita menikmati makanan. Seringkali kita melihat berbagai macam gaya menikmati makanan, khususnya yang menggunakan tangan ( tanpa sendok ). Ada yang acak-acakan. Ada yang teratur. Ada yang mengambil makanan sedikit demi sedikit. Ada yang mencampur semua makanan menjadi satu dan lain sebagainya. Inilah salah satu kekhasan jajan di pinggir jalan. Kita dihadapkan pada fenomena-fenomena yang seringkali bertentangan dengan kebiasaan kita. Apakah kita akan menerimanya ? Itulah nila-nilai  seni kehidupan.
Hal lain yang membuat kita ingin jajan di pinggir jalan adalah harganya yang murah. Jajan di pinggir jalan tidak akan menguras kantung terlalu dalam. Hal itulah yang saya sukai dari jajan di pinggir jalan. Perbandingan harga antara jajanan di pinggir jalan dengan di restoran atau rumah makan biasanya cukup jauh. Jika jajan di pinggir jalan, kita bisa puas. Makan sekenyang-kenyangnya, banyak variasinya dan kita bisa menghemat pengeluaran. Sangat menarik bukan ? Saat jajan di pinggir jalan, saya seringkali melihat banyak orang bermobil ( mewah ) juga menikmati kuliner di pinggir jalan. Mereka tetap enjoy icip-icip makanan di pinggir jalan. Mereka juga tampak senang menikmati kuliner sambil membuka pergaulan. Jika tidak ada tempat, mereka akan makan di dalam mobil dengan pintu terbuka, menghadap jalan. Penghematan. Mungkin itulah yang juga mereka pikirkan. Aku menemukan satu pemikiran yang sama. Jajan enak dengan harga murah. Itulah asyiknya jajan di pinggir jalan. Anda siap kuliner di jalanan ? Ayo, siapa takut !
Hal-hal seperti itulah yang mungkin menyebabkan jajan di pinggir jalan lebih berkembang pesat di Indonesia. Hampir di setiap kota, khususnya di tempat-tempat yang menjadi tujuan wisata, banyak bermunculan tempat jajan di pinggir jalan. Di Jogjakarta, malioboro misalnya. Di Bandung, jalan Cilaki. Para pengusaha kuliner besar pun sudah mulai memikirkan memikirkan pengembangan usaha dengan metode jajan di pinggir jalan ini. Menurut mereka, hal seperti itu lebih menghemat biaya daripada harus membuka cabang baru. Jika pemerintah mampu memfasilitasi pengembangan usaha seperti ini, mungkin pkl tidak akan menjadi masalah yang mengkumuhkan kota lagi. Para pengusaha itu diberi tempat khusus sehingga menjadi objek baru untuk wisata kuliner. Banyak keuntungan yang akan didapatkan. Para pengusaha, khususnya yang bermodal kecil tetap mendapatkan sumber penghidupannya, pemerintah tidak pusing dan kota tetap menjadi indah. Bahkan jika pengelolaannya baik, wisata kuliner itu akan mendatangkan sumber pendapatan bagi banyak pihak. Kegiatan seperti jajanan bangau tidak akan bisa dinikmati hanya sesaat, tapi bisa tetap eksis sepanjang waktu. Selamat menikmati kuliner pinggir jalan !

3 komentar:

  1. hadeuuuh tuh banner lenyap dimana yah ? maaf ya fem, maybe technical error. sorry

    BalasHapus
  2. bannernya dicopas lwt HTML aja mba mungkin bisa nongol... kalo lwt compose ga keliatan :)

    BalasHapus

Featured Post

Festival Cireundeu Cimahi: Maknyus, Icip-Icip Nasi Goreng Rasi

  Halo sobat yayuarundina.com – Kali ini, kita jalan-jalan tipis di dalam kota Cimahi. Tanpa disengaja muncul informasi acara Festival Cire...