Catatan harian
WAKTU MENINGGALKAN JEJAK
Hai, kawan !
Ada yang berbeda hari ini. Cerita menarik yang akan kukisahkan padamu. Banyak
kutemukan pesona dan inspirasi hidup hari ini.
Perjalananku
dimulai setelah dering telepon genggamku berbunyi. Muncul sebuah pesan ajakan. “Ayo kawan, kita
berburu foto hari ini !” ajak seorang kawan akrabku. Sudah lama, aku tak
berjumpa dengannya. Ini adalah ajakan yang telah lama kunantikan sejak lama.
Segera , aku bergegas mempersiapkan diri. Setelah itu, aku berangkat seorang
diri.
Dengan
berjalan, kumulai perjalanan pertamaku hari itu. Matahari belum ganas menyinari
bumi. Sinarnya terasa hangat di tubuhku. Jam di tangan baru menunjuk ke angka
tujuh. Kehidupan di sepanjang jalan yang kulewati telah mulai ramai. Aku mengamati
dan menikmati keadaan sekeliling. Tiba-tiba, bunyi itu datang kembali. Segera,
aku membaca pesan kedua. “Aku sudah sampai di tempat,” tulis kawan akrabku.
“Ok, aku sudah jalan,” balasku cepat. Aku memperlebar langkahku. Aku berjalan
panjang-panjang. Ingin rasanya cepat
berjumpa dengan kawan lamaku itu. Nafasku memburu. Tersengal-sengal. Akhirnya,
aku sampai di sebuah terminal.
Aku
melihat-lihat keadaan sekitar. Parkir motor. Warung. Kios-kios. Orang-orang
yang sedang berbelanja. Pedagang. Tukang delman. Petugas terminal. Anak
jalanan. Namun, tak tampak wajah yang kucari. Kriiing … Aku menelepon kawanku
itu. “Di mana ?” tanyaku. “Aku ada di depan,” jawabnya. “Sebelah mana ? Aku
sudah ada di terminal,” kataku memberikan informasi. Klik. Putus. Hah ?! Aku
celingukan. Kulangkahkan kakiku menyebrangi jalan. Mataku menatap awas. Mencari
wajah yang kukenal. Tiba-tiba, aku melihatnya agak jauh di depan. Aku
melambaikan tangan. Ia tersenyum padaku.
Begitu berhadapan, kami bersalaman, berpelukan melepas rindu. “Apa kabar?
Kemana aja?” sapanya. Senyum khasnya tersungging di bibir. Bahagianya hatiku.
Kami segera memulai perjalanan penting ini.
Aku dan
kawanku mengawalinya dengan sarapan bubur di depan terminal. Sambil ngobrol
ngalor- ngidul. Ia mengeluarkan kameranya. Jepret. Dua orang perempuan yang ada
di depan ditangkap kameranya. Ah, sayang ada bayang-bayang laki-laki
menghalanginya ! Ia beraksi kembali. Jepret. Kena kau ! Seorang pembeli bubur
dan pedagang bubur berdiri agak berjauhan di depan roda jualannya. Mantap. Ia
terus bercerita tentang fotografi. Benda-benda di sekitar kami menjadi sasaran
kameranya. Barang bekas di bawah meja menjadi objek foto yang menarik. Tak
kusangka seindah itu. Ajaib ! Tas
merahku pun menjadi sasarannya.
Nuansanya sungguh berbeda dengan aslinya. Foto-foto itupun mulai
bercerita.
Perjalanan pun
berlanjut. Kami menyusuri jalanan kembali. Untuk pertama kalinya, aku lebih
intens memperhatikan kehidupan jalanan. Ia membawaku pada objek foto yang
dianggapnya menarik. Gambar-gambar berwarna di dinding. Ia menangkap momen.
Kilatan cahaya membentuk sebuah objek gambar yang menarik. Setelah itu, Ia pun
menyebrangi jalan. Aku memperhatikannya. Jepret. Rombongan anak laki-laki
berjalan melintasi gambar dinding tadi. Indah sekali. Aku pun mencoba menangkap
objek. Tidak memuaskan. Terjadi tumpukan gambar. Objek foto terlewat begitu
saja. Uuughh… sayaaang ! “Tingkatkan
kecepatan, simpan tanganmu ditombol !”
perintahnya. Aku membidik lagi. Dia ada di belakangku. “Ya, tekan !”
instruksinya. Sukses. Aku mendapatkan gambar yang menarik. “Jika kau melihat
latar yang menarik, bersiaplah. Tunggulah dengan sabar objek fotomu datang.
Lalu, jepret! “ katanya memberi arahan. Aku semakin bersemangat. “Jadi fotografer itu harus sabar dan tekun,”
pikirku. Kami kembali menyusuri jalanan. Kearah pasar.
Dalam
perjalananku itu, tiba-tiba bermunculan obyek-obyek foto yang menarik. Ibu-ibu
yang berjalan menggandeng anaknya. Lumut di dinding. Karung bekas yang
tersandar di tembok. Wanita muda yang sedang berdiri di persimpangan. Becak
yang berjejer rapi. Bangunan tua. Semuanya bercerita banyak pada kami.
Langkah-langkah
kami terus menyusuri trotoar. Jepret sana. Jepret sini. Delman dengan kusirnya.
Orang-orang yang bertemu dan ngobrol di jalanan. Dua orang nenek-nenek yang
sedang duduk. Wanita yang membeli asin. Toko pakaian. Tukang buah. Warna-warni kehidupan
yang indah.
Perjalanan
belum berakhir. Kami menuju sebuah bangunan tua. Unik katanya. Kami
memandanginya beberapa saat. Jepret. Lalu, kami duduk santai di seberangnya. Di
depan bangunan tua itu ada dua orang pencari nafkah. Satu sebagai penjual
pigura. Yang seorang lagi tukang jahit. Betapa mereka bekerja keras dan tekun
demi sesuap nasi. “Dengan memotret, sebenarnya kita mengasah hati,” ujarnya.
“Coba perhatikan tukang jahit itu memasang benang. Objek foto yang menarik.
Namun, hanya sesaat. Setelah itu hilang.” Tiba-tiba, ia mengambil gambar.
Seorang bapak bercelana pendek keluar dari pintu gedung itu. Menarik. Kau tahu
kawan, apa yang selanjutnya terjadi ? Hanya dalam hitungan detik, Si Bapak
menghilang di balik pintu. Pintu itu tertutup rapat. Ceritapun berganti. Betapa
waktu sangat berharga ! Waktu meninggalkan jejak. Mungkin takkan kembali. Di
saat itulah, kita harus memanfaatkan kesempatan. Menangkap jejak yang hanya
sekian detik itu. Hidup terasa lebih bermakna.
Rabu,
2 Januari 2013
Kisah
perjalananku bersama Mbak Vivera di awal tahun baru menyusuri kota kelahiranku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar