MUTIARA
YANG HILANG
Kutelusuri
gang-gang sempit yang berliku-liku.
Kucari
dirimu yang menghilang tiba-tiba tanpa jejak.
Kau
bagai jarum dalam tumpukan jerami.
Beberapa
kampung telah kutelusuri, tapi tetap tak kutemukan dirimu.
Kutanya
orang-orang yang kulewati, tak ada yang tahu siapa dirimu.
Iwan
? Semua menggeleng lesu.
Mata-mata
mereka menatapku dengan iba.
Di
lain kampung, kutemukan Iwan.
Namun,
bukan dirimu yang kucari.
Hanya
seorang bocah ingusan yang belum sekolah.
Kakiku
letih mengitari kota.
Garangnya
sinar matahari membakarku.
Dahaga mencekikku.
Lapar menderaku.
Ingin
kucari jejakmu.
Namun,
tak juga kudengar secuil beritapun tentang dirimu.
Kau lenyap tak berbekas.
Hilang
ditelan bumi.
Aaaggghh …. Hari itu, langkahku terhenti oleh
redupnya matahari.
Esok
pagi, kusambut mentari.
Kutelusuri
jejakmu lewat sobat-sobat kecilmu.
Kau
semakin misterius.
Bersembunyi
dalam gelap.
Aneh,
sahabat-sahabatmu tak tahu tempat tinggalmu.
Kau selalu menolak mereka untuk datang
mengunjungimu.
Biar
dirimu yang akan selalu menyambangi mereka.
Di
balik senyummu tersimpan sebuah teka-teki.
Kau
adalah teka-teki terbesarku.
Kotak-kotak
misterimu bagai magnet yang menghipnotisku.
Aku
harus menemukan jejakmu.
Kau
tak boleh lenyap tanpa jejak.
Kerjamu
belum selesai.
Kau
harus membayar lunas hutangmu.
Kau
harus muncul dihadapanku sekarang juga !
Perjalananmu
baru setengah.
Tinggal
selangkah lagi kau tamatkan perjalanan itu.
Akankah kau biarkan dia terabaikan begitu saja
?
Berlalu
sia-sia ?
Pergi
tanpa hasil ?
Bodohnya
kau !
Aku
sangat marah padamu.
Mengapa
tak kau cerita padaku ?
Sudah
sebulan ini, kau menghilang.
Aku
tetap belum menemukanmu.
Nihil.
Masa
depanmu, ada di tanganku.
Aku
tak boleh menyerah !
Kupasrahkan
dirimu kepada Pemilik Yang Maha Agung.
Aku
bersujud pada selembar sajadah.
Kupanjatkan
doa-doa untukmu.
Kusebut
namamu berulang-ulang dalam keheningan malam dengan sepenuh jiwa.
Aku
memohon pada Tuhan agar dipertemukan kembali denganmu.
Sampai
detik ini, aku tetap menginginkanmu.
Tak
rela kau lepas dariku begitu saja.
Tanpa
makna.
Aku
tetap menginginkan kehadiranmu.
Kau
tetap ada di hatiku dan pikiranku.
Kau
adalah igauanku saat terlelap.
Aku
berharap kau segera pulang.
Aku
berharap ada kabar beritamu.
Aku berharap Tuhan memberikan petunjuk-Nya.
Keesokan
harinya, seseorang memanggilku.
Seorang
sahabatmu datang kepadaku.
Berseragam
biru putih.
Nafasnya
terengah-engah.
Dia membawa kabar tentangmu.
Dia
mengetahui keberadaanmu.
Horeee…
! Tuhan mengabulkan doaku. Terima kasih, ya Allah!
Detik
itu juga, aku segera berlari, ingin menjumpaimu.
Tak
sabar hatiku untuk melihat wajahmu.
Tak
sabar hatiku ingin mengetahui keadaan dirimu.
Kembali
kutapaki jalan-jalan kota yang berdebu.
Kulewati celah-celah sempit menuju rumahmu.
Kampungmu
kudatangi.
Orang-orang
mengetahui dirimu.
Kau
tahu, apa yang mereka lakukan ?
Orang-orang
kampung itu mengiringi langkahku menuju tempat tinggalmu.
Satu
per satu membentuk barisan panjang.
Aku bagaikan artis yang mereka puja-puja.
Kampungmu menjadi ramai.
Kedatanganku
menghebohkan kampungmu.
Mereka terheran-heran.
Mengapa
aku mencarimu ?
Di
mata mereka, kau hanyalah seorang bocah kecil yang tak berarti.
Akhirnya, aku sampai di depan pintu rumahmu.
Kau
tak terusik.
Aku
mengetuk pintu rumahmu.
Tak
ada jawaban.
Orang-orang
sibuk mencari bapakmu.
Aku
mengetuk pintu rumahmu lagi.
Klik.
Ah, kau muncul dihadapanku.
Aku
bahagia sekaligus bingung.
Sepagi
ini kau masih acak-acakan ?
Kau
mempersilakan aku untuk masuk ke rumahmu.
Lalu, kau pergi meninggalkanku kembali.
Orang-orang
kampung itu satu per satu melangkah menjauhi rumahmu.
Rasa
ingin tahunya sudah terbayar.
Hening. Aku menatap rumahmu dalam diam.
Sebuah
ruang sempit yang sama dengan ukuran kamar tidurku.
Kosong.
Tak ada siapa-siapa. Tak ada apa-apa.
Aku
duduk di lantai semen tanpa alas.
Agak berdebu. Rumah ini tak terawat.
Tidak
ada sentuhan tangan wanita.
Kau
muncul kembali.
Rambut
dan wajahmu basah.
Kau
habis cuci muka
Pakaianmu
lusuh.
Kau
duduk tertunduk dalam di hadapanku.
Tak
berkutik. Apakah aku algojo bagimu ?
Aku
menatap dirimu lekat-lekat.
Tubuhmu
yang kecil mengurus.
Rambutmu
tak terawat.
Wajahmu
agak pucat.
“Kau
sakit ?” tanyaku khawatir.
Kau
menggelengkan kepala sambil tetap menunduk dalam.
“Kau
sudah makan ?” tanyaku.
Kau
kembali menggeleng lemah.
“Mengapa
kau tak bersekolah ?” tanyaku.
Kau
diam seribu bahasa.
Bibirmu
terkunci rapat-rapat.
Aku
menanti jawabanmu.
Kau
mempermainkan ujung bajumu. Lalu, mematung.
“Wan,
angkat wajahmu ! Ibu ingin melihatmu,” kataku lembut.
Perlahan-lahan
kau angkat wajahmu malu-malu.
Tulang rahangmu terlihat jelas. Juga pundakmu.
Matamu
tak bercahaya. Aku memegangi pundakmu. Keras.
Tiba-tiba…
bapakmu datang tergopoh-gopoh.
“Maafkan
Iwan, Bu!
Iwan
tak bersalah.
Sayalah
yang salah.
Iwan tidak bersekolah karena saya tidak punya
uang.
Saya
tidak punya pekerjaan.
Saya
hanya kerja serabutan.
Menunggu
belas kasihan tetangga.
Rumahpun
tidak punya.
Ini
hanyalah rumah kontrakan milik bapak.
Saya
tidak punya apa-apa, Bu!
Sudah
lama, istri saya tidak kirim uang.
Ibunya
Iwan pergi ke Arab Saudi.
Jadi
TKW sejak tahun 2000.
Kami
ditinggalkannya berdua.
Biaya
sekolah Iwan, istri saya yang tanggung.
Sekarang,
dia tidak kirim uang lagi.
Saya
tidak punya uang untuk bayar ongkosnya.
Boro-boro
untuk sekolah, uang untuk makanpun tak ada.
Saya
putuskan, Iwan berhenti sekolah saja, Bu.”
“Sayang
Pak, tinggal selangkah lagi.
Iwan
dinyatakan sudah lulus ujian.
Tinggal
melunasi hutang-hutang nilai ujian sekolahnya saja.
Sayang, kalau berhenti tanpa ijasah, Pak!’
bantahku.
Bapakmu
terdiam.
Kau
juga diam tak berkutik.
Tak
ada sepatah katapun keluar dari bibirmu yang mengering.
“Kau
ingin berhenti sekolah, Wan?” tanyaku padamu.
“Tidak,
Bu. Saya ingin tetap sekolah,” jawabmu lirih.
“Cepat
mandilah, kita pergi ke sekolah sekarang juga.
Ibu akan membawamu pergi,” kataku tegas.
Bapakmu
hanya terdiam tak berdaya.
Masalah
TKW bukan hanya ada di luar negeri saja, tapi juga di dalam negeri.
Di
dalam rumah.
Dalam
sebuah bangunan kecil sederhana.
Bukan
hanya pemancungan.
Gaji
tak dibayarkan.
Penyiksaan.
Penipuan.
TKW
pun menelantarkan bocah-bocah yang tak terawat.
Hidup
tanpa sentuhan kelembutan seorang ibu.
Hidup
tanpa bimbingan seorang ibu.
Hidup
tanpa mampu mencium tangan sang bunda saat berpamitan.
Hidup dalam kehampaan.
Hidup
dalam kesendirian.
Bocah-bocah
yang haus kasih sayang. Mutiara yang
hilang.