PERJALANAN
KE KAMPUNG TOGA
Kriiiing ! Aku segera mengangkat hp. "Teh, Minggu
udah ada acara belum?" tanya adikku. Belum ! jawabku. "Kita, keluarga
besar mau jalan-jalan, ikut? tanya adikku. "Wah kalau urusan jjs mah tak
pernah mau ketinggalan!" jawabku semangat. "Ok, nanti Minggu dijemput
jam tujuh. Siap ya!" sambungnya lagi sambil menutup telepon. Asyiiik.
Minggu, 25 Desember 2011, aku dan keluarga besarku
akhirnya mengadakan perjalanan ke kota Sumedang. Sebuah tempat wisata bernama
Kampung Toga tujuan kami. Kami menggunakan dua mobil. Mobilku berisi sembilan
orang, dewasa dan anak-anak. Mobil saudaraku berisi sepuluh orang, mertua
adikku, saudara iparnya, serta anak-anaknya.
Cuaca agak mendung tapi tak turun hujan. Perjalanan dari Bandung
ke Cileunyi lumayan lancar. Kami menikmati perjalanan dalam suhu udara yang
bersahabat, favorit kami. Tidak panas, tapi juga tidak dingin ( hujan ). Mobil
memasuki daerah Jatinangor. Macet parah. Saudaraku memutuskan mengambil jalur
Parakan Muncang untuk menghindari macet. Balik arah. Saat sampai di daerah
Rancaekek, kulihat banyak kendaraan yang akan melakukan perjalanan juga.
Kijang-kijang penuh dengan orang-orang yang ingin berlibur. Aneka barang bawaan
memenuhi mobil. Karung, dus, baju, makanan dan lain sebagainya. Di dalam dan di
luar mobil. Penuh sekali! Mobil-mobil itu saling berpacu menuju tempat
tujuannya masing-masing. Berlomba dengan cuaca mendung. Tak terasa kami tiba di
persimpangan Parakan Muncang. Mobil berbelok dan mulai menelusuri jalan
alternatif menuju kota Sumedang. Alhamdulillah lancar.
Menjelang memasuki daerah Cadas Pangeran, hujanpun turun. Gerimis. Makin lama makin
deras. Udara agak berkabut. Kami memasuki kota Sumedang. Berputar, karena jalan
masuk ke kota ditutup. Akibatnya, saudaraku kebingungan mencari jalan menuju
Kampung Toga. Kami tersesat. Kami
berputar-putar mencari jalan menuju Kampung Toga. Kios tahu yang menjadi
patokan arah ternyata salah. Bukan tukang tahu itu yang kami cari.
"Memangnya Kampung Toga itu dimana ?" tanyaku ingin tahu. Aku belum
pernah ke sana. Saudaraku yang lain sudah tiga kali mengunjunginya. Gara-gara
Sumedang kota tahu jadi linglung. Hehehe …. (gak nyambung ya )." Jalannya
yang mau ke makam Cut Nyak Dien," jelas saudaraku. "Oh, itu. Belok
kiri saja," jawabku memberi petunjuk jalan. Kamipun menelusuri jalan Cut
Nyak Dien. Dalam perasaan was-was takut tak sampai ke tempat tujuan. Akhirnya,
kami menemukan tukang tahu yang kami cari itu. Yes, betul dalam sebuah gerbang
tertulis Kampung Toga dengan ukuran yang lumayan besar. Dengan mantap. Mobilpun
meluncur ke Kampung Toga.
Hanya dalam waktu sekitar dua puluh menit, kami tiba di
tempat tujuan. Hujan yang tadi sudah mulai reda, turun kembali. Waktu
menunjukkkan pukul 12.30. Kami memutuskan untuk menunaikan Shalat Dhuhur
terlebih dahulu sambil menunggu hujan reda. Semua barang dan makanan kami bawa
ke mushola. Setelah selesai shalat, hujan tak kunjung berhenti. Malah semakin
deras. " Kita makan saja dulu!" ujar ibu Alem. Akhirnya, kami membuka
bekal makan siang dan menatanya di teras belakang mushola. Di depannya,
terhampar pemandangan hijau, gunung yang rimbun dengan pepohonan. Cuci mata.
Sayangnya, tempat itu sempit, sehingga kami tidak bisa ngariung. Jadilah, makanan lengkap di atas piring dioper dari satu
tangan ke tangan yang lainnya. Sampai semua orang mendapatkan makan
siangnya. Nasi timbel hangat dan pulen,
pepes ikan, rempeyek, tempe, tahu, lalab, sambal adalah menu makan siang kami
di Kampung Toga. Mmmmhhh…. Nikmat! Hujan tetap mengiringi kami sampai selesai makan
siang. Acara berlibur di Kampung Toga terancam gagal. Padahal kami tinggal
selangkah berada di dalamnya.
Hujan tak henti-hentinya mengguyur Kampung Toga. Semakin
deras saja setiap waktunya. Kabut mulai turun. Angin memaksa kami masuk ke
mushola. Butir-butir air hujan membasahi tubuh kami. Payungku hampir
terbang tersapu angin. Kami menunggu
hujan reda. Anak-anak berlarian di dalam mushola dengan riang. Kami
bercakap-cakap. Bapak-bapak tidur-tiduran beralaskan lantai kayu yang hangat.
Berjam-jam kami menunggu. Anak-anak mulai merajuk. Saudara ipar adikku
mengeluarkan videonya. Mengambil gambar. Foto-foto. Anak-anakpun kembali riang.
Tiga jam telah berlalu. Dua jam lagi tempat wisata
Kampung Toga akan tutup. Hujan tetap tak mau kompromi. Kami mulai menyusun
rencana baru. Kembali ke Bandung dan mengganti liburan ini dengan acara yang
lain. Berenang di Karang Setra, nonton bioskop dan acara menarik yang lainnya. Anak-anak protes. Konflik mulai
muncul. Orang tua takut anak-anak jatuh sakit. Anak-anak tidak mau tahu, mereka
tetap ingin berenang di Kampung Toga walaupun dibawah guyuran hujan. Anak-anak
mulai ngambek.
Hujan mereda. Kami membeli tiket masuk. Anak-anakpun
riang. Kami memasuki tempat wisata Kampung Toga. Ada hal yang menarik.
Pengunjung lain keluar setelah puas menikmati Kampung Toga. Berbasah-basah ria.
Kami berhujan-hujan masuk ke Kampung Toga untuk berenang. Aku menapaki jalan
yang banjir akibat hujan tadi. Air mengalir ke tangga di bawah. Aku mengedarkan
pandangan. Oh, Kampung Toga mirip Sabda Alam di Garut. Kolam pertama banyak
digunakan oleh orang dewasa. Kolamnya dalam katanya. Lalu, ada kolam terapi
ikan. Di dekatnya ada kios makanan. Pengunjung tinggal sedikit. Kami turun
menuju kolam anak-anak. Kosong. Anak-anak yang sudah berbaju renang sejak di
mushola tadi langsung nyebur. Akhirnya, mereka bisa berenang di Kampung Toga.
Hujanpun reda menjelang sore. Anak-anak berdiri di tengah kolam, menanti
guyuran air dari ember besar di atasnya. Byuuurrr. Mereka tertawa senang. Kami pun mulai ikut bergabung. Juga sebuah
keluarga lain. Kami bermain air dibawah guyuran hujan kembali. Setelah cukup
puas berbasah-basahan, beberapa orang dewasa menuju kolam terapi ikan. Akupun
mengikutinya. Ih, geli tapi enak . Digigit-gigit lembut oleh segerombolan ikan
berasa disetrum dengan watt listrik yang ringan. Kamipun menikmati liburan itu
selama kurang lebih dua jam.
Menjelang magrib, kami pun pulang kembali menuju Bandung.
Tidak lupa membeli tahu Sumedang di kota sebagai oleh-oleh. Perjalanan memakan
waktu satu setengah hingga dua jam sampai di rumah. Ternyata? Macet di Cadas
Pangeran sampai Tanjung sari menunda perjalanan kami. Mobil tak bergerak. Merayap menuju Bandung.
Kami kembali menelusuri jalan Parakan muncang dengan was-was. Informasi dari
radio, Rancaekek banjir dan macet parah. Bahkan ada mobil kijang yang meledak.
Namun, polisi, memaksa kami menempuh jalan ini. Mobil-mobilpun mengular panjang
menyusuri jalan alternatif ini pada pukul delapan malam. Gelap gulita.
Tiba-tiba mobil berbalik arah. "Aauuooww… awas ada motor!" teriakku
kaget. Di depan mobil, sawah membentang. "Sudah terima nasib saja,
mengikuti kemacetan," kata adikku pada suaminya. Akhirnya, kami kembali ke
jalan semula. Berharap-harap cemas menempuh banjir dan macet panjang. Dalam
keremangan malam, kulihat dari kejauhan mobil-mobil berbelok ke arah kanan. "Mereka mau kemana?" "Ikuti
dan tanyakan saja arahnya!" Beberapa pemuda memandu kami. "Jatinangor…Jatinangor… Jatinngor,"
teriaknya. Bagus. Mobil kamipun menyusuri jalanan yang belum diketahui ini.
Kami meraba-raba, mobil ini akan tiba di kampus UNPAD. Beberapa mobil lainpun mengikuti kami. Aku
tak bisa melihat mobil saudaraku. Tenggelam dalam kegelapan.
Wow, kami menyusuri sawah. Berlumpur-lumpur. Suara
bangkong menemani perjalanan kami. Rasanya seperti berada di masa lalu, masa
kecil. Mobil tetap merayap di jalan kecil itu. Menyusuri perkampungan. Lalu
berganti dengan rumah-rumah bagus menyambut kami. Sekitar satu jam kemudian,
kami keluar dari jalan baru itu. Kalian tahu di mana? Tanjungsari! "Wah,
katanya Jatinangor," ujar adikku. "Ya, Jatinangor nyingcet," jawabku. Semuanya
tergelak menyikapi penipuan kecil ini. Kamipun melanjutkan perjalanan. Macet
masih terjadi tapi tidak separah tadi. Sekitar jam sepuluh malam, kami telah
sampai di rumah adikku. Aku terpaksa menginap. Kasihan kalau harus terus
melanjutkan perjalanan ke Bandung. Mereka harus bekerja besok pagi. Iparku
menelepon saudaranya. Ternyata mereka terjebak kemacetan parah di Rancaekek.
Alhamdulillah, penipuan tadi telah menyelamatkan kami. Kami bisa segera
beristirahat. Malampun meninabobokan kami. Lelap setelah menempuh perjalanan
natal yang seru. Sebuah kejutan besar menanti kami keesokan paginya. Saudaraku
itu, mobil yang satu lagi sampai di Bandung, di rumahnya, pada pukul empat
subuh. Fantastis bukan ?! Jarak Rancaekek-Bandung yang pendek itu ditempuh sama
dengan perjalanan jauh ke Jogjakarta. Sepuluh jam !
Perjalanan natal ini menguji kesabaran kami. Kemacetan adalah hal yang biasa di zaman
modern ini. Tak bisa dihindari lagi. Terlebih saat musim liburan. Jalan-jalan
alternatifpun sudah identik dengan kemacetan.
Jika ingin berlibur, kita harus menerima resiko ini. Kemacetan harus
dianggap sebagai sebuah anugrah. Nikmati saja! Mengutukinya hanyalah akan menjadi
sebuah kelelahan yang teramat panjang. Marah-marah padanya hanya akan menguras
tenaga tanpa hasil. Sia-sia! Masgul atau kecewa dengannya hanya akan menjadi
rasa sakit yang luar bisa nyeri. So, berdamailah dengan kemacetan agar jiwa,
pikiran dan tubuh kita tetap sehat ! (ARUNDINA,
2012 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar