2/12/2012

NARSIS


SELEBRITIS DAN PENULIS
By ARUNDINA

            Rasanya tak asing bagi kita mendengar istilah selebritis dan penulis. Maknanya pun dengan mudah kita pahami. Penulis menjadi selebritis adalah hal yang sudah sering terjadi. Lihat saja Raditya Dika, misalnya. Dari seorang penulis blog, menjadi penulis novel yang membooming dan akhirnya menjadi pemain film, khususnya untuk film yang diangkat dari tulisan-tulisannya, seperti Kambing Jantan.
            Hal yang mirip terjadi juga padaku saat udara agak mendung melanda Bandung pada Selasa, 31 Januari 2012. Untuk pertama kalinya, aku merasakan menjadi penulis dan model tingkat rt. Menjelang kumandang adzan dhzuhur, aku dan temanku, teh Nancy tiba di sebuah rumah makan khas Sunda, Ampera yang terletak di Jalan Sukarno Hatta. Di sana, sudah hadir ketua korwil IIDN Bandung dan mantan korwil, yaitu Mbak Vivera dan Mbak Dydie. Sambil menunggu kedatangan teman-teman yang lain, kami ngobrol ngalor-ngidul. Tak lama setelah itu, Mbak Vivera memesan makanan kecil berupa dua buah tahu goreng dan sebuah pisang. Perpaduan menu yang unik tentunya. Sambil menikmati camilan itu, kami melanjutkan obrolan yang tertunda.
            Setengah jam kemudian, muncul Mbak Irma dari Garut sambil menggendong dan menggandeng dua buah hatinya yang lucu. Lalu, Mbak Asri pun datang dengan tas berisi kaos-kaos merah menyala berlogo IIDN. Kemudian, satu persatu anggota IIDN pun bermunculan, termasuk sang pupuhu, Indari Mastuti. Sementara, sang pupuhu didampingi markom IIDN, Lygia berbincang dengan wartawan kompas, kami, para anggota menyerbu kaos merah tersebut. Seragam wajib untuk pemotretan hari itu. Mau tak mau, akupun menyerbu dagangan tersebut. Tapi ternyata telah laris manis. Akhirnya, aku dipinjami kaos merah polos untuk acara hari itu. Yang penting seragam dan ada nuansa kebersamaan. Maka, hari itu jadilah aku berpakaian merah ditimpa merah. Beberapa waktu kemudian, urusan kaos selesai dan kami menikmati makan siang.
            Setelah menikmati aneka hidangan sesuai dengan selera masing-masing, tibalah acara menjadi selebritis atau lebih tepatnya menjadi model dadakan. Rencananya hari itu, Kompas akan mengadakan liputan tentang komunitas kami, grup Ibu-ibu Doyan Nulis (IIDN). Sebuah komunitas yang beranggotakan para ibu rumah tangga atau para wanita yang memiliki kegiatan atau hobi di dunia tulis menulis. Beberapa diantaranya telah produktif menerbitkan karya berupa buku-buku dengan tema yang beragam, seperti: bacaan anak, bisnis, kehidupan wanita dan lain sebagainya.
            Sebelum pemotretan, kami menyatukan beberapa meja makan menjadi sebuah meja perundingan raksasa mirip meja Konferensi Asia Afrika. Semua perlengkapan makan disingkirkan dengan rapi. Setelah itu, kami menata diri, duduk mengelilingi meja raksasa tersebut. Beberapa ibu mengeluarkan alat andalan modern untuk menulis, yaitu laptop. Aku dan ibu- ibu yang lain mengeluarkan buku-buku yang telah kami siapkan sebelumnya. Buku diatur di atas meja. Disensor ! Yang berlogo IIDN harus menjadi bintang utama. Lalu, kami diinstruksikan untuk berdiskusi, berunding, ngobrol, nulis layaknya komunitas penulis sejati. Tanpa merasa kesulitan, kami memenuhi syarat tersebut. Wong, anggota komunitas sudah pada kenal dan akrab yaa ?! Jepret…jepret…jepret. Kilatan-kilatan blitz bertaburan seperti bintang." Benarkah wajah-wajah ayu kami tertangkap kamera ataukah hanya laptop-laptopnya saja ?"  Pikiran iseng melayang begitu saja di kepalaku. Kami tertawa kecil menanggapinya. Sedangkan sang wartawan kompas tetap sibuk menangkap sudut-sudut menarik dari komunitas kami. Isi laptop tentang IIDN pun tak luput dari jepretannya. Setelah merasa cukup mendapatkan data, kami melanjutkan pemotretan di luar ruangan. Di halaman depan, dengan disinari cahaya matahari yang meredup, kami beraksi kembali. Mengatur barisan, bergaya dengan buku-buku dan cheese… tersenyum manis pada sang pemotret. Sukses ! Pemotretanpun berjalan sempurna. Saatnya, kami meluncur ke tempat tujuan yang kedua, Kantor Redaksi harian umum Pikiran Rakyat.
            Dengan menggunakan dua jenis kendaraan, mobil dan motor, kami meluncur ke kantor redaksi Pikiran Rakyat. Jarak yang cukup dekat, kami tempuh hanya dalam hitungan menit. Sekitar pukul dua siang, kami telah tiba di halaman  kantor itu. Sebagian anggota IIDN melaksanakan shalat Dzhuhur terlebih dahulu, sedangkan anggota lainnya langsung memasuki aula kantor redaksi Pikiran Rakyat. Saat melangkah masuk, kami merasa menjadi anggota DPR/MPR. Ruangan tertata rapi dan bersih. Ruangan didominasi warna coklat. Di atas meja terpasang mikropon-mikropon kecil seperti di gedung wakil rakyat. Di sampingnya, ada dus makanan ringan dan segelas air putih. Sambil menunggu anggota yang melaksanakan shalat, kami kembali berbincang-bincang dengan anggota yang baru datang dari luar kota. Mereka datang dari Cirebon dan Jakarta. Selain itu, kami pun mengisi daftar hadir. Tak lama setelah itu, muncul seorang bapak tampan, tinggi, bersih, dan berwibawa, mirip artis keturunan Belanda. Beliau mencari Lygia Pecanduhujan. Ngacung, Mbak! Mereka berkenalan dan Bapak tampan tadi memperkenalkan dua perwakilannya dari Redaksi Pikiran Rakyat, seorang perempuan dan seorang laki-laki. Beliau juga menginstruksikan untuk segera memulai acara. Setelah itu, sang artis Belanda pun  meninggalkan ruangan. Jadilah, ketiga narasumber (mohon maaf tidak hapal nama) menempati kursi di podium kehormatan. Mbak Lygia bersiap menjadi moderator, mendampingi perwakilan PR. Tak lama kemudian, Mbak Indari memasuki ruangan dan begabung dengan ketiga orang tersebut.  
            Tepat pada pukul 14.15 menit acara kunjungan ke kantor redaksi Pikiran Rakyat pun dimulai. Setelah dibuka oleh sang moderator,  mbak Indari bercerita tentang latar belakang kami terdampar di kantor PR. Awal pertemuan ini terjadi saat Mbak Indari bertemu Pak Januar Ruswita (Gegeden PR) dalam Lomba Wira Usaha Muda Mandiri di Jakarta.  Atas ijinnya, kami bisa melakukan kegiatan ini. Sayangnya, hari itu Bapak Januar Ruswita sedang tidak berada di tempat. Lalu, pembicaraan pun berlanjut pada dunia tulis menulis di harian umum Pikiran Rakyat. Kedua perwakilan PR menyampaikannya secara singkat dan padat. Mereka menginformasikan rubrik-rubrik yang disediakan PR untuk kami isi dengan tulisan, seperti : lembaran Khasanah, Cakrawala, Geulis, Hiburan, Forum Guru, Opini dan sebagainya. Terakhir, kegiatan dilengkapi dengan acara tanya jawab sampai pukul 16.00. Selama dua jam acara tersebut, banyak ilmu kepenulisan yang kudapatkan. Wawasan baru. Suasana baru. Dunia penulis ternyata memiliki lika-liku tersendiri. Dunia penulis juga memiliki persaingan tersendiri. Aku menghadapi tantangan baru. Diriku semakin dimantapkan untuk terus membaca, menambah ilmu agar bisa menjadi penulis yang berkualitas. Untuk menjadi sukses, memang membutuhkan proses, kesabaran, perjuangan, kerja keras, semangat pantang mundur, tekad yang kuat dan tentu saja komunitas yang mampu mendukung keprofesionalan tugas kita. Semoga grup Ibu-ibu Doyan Nulis (IIDN) menjadi wadah yang tepat untuk itu ! Semoga para anggotanya semakin solid, berkembang dan bersama-sama menjadi penulis andalan dalam suasana persaingan yang sehat ! Ayo, ibu-ibu tetaplah hiasi dunia dengan tulisan-tulisan terbaik kita ! Tetap semangat dan jangan lupa tersenyum manis ( semanis gula aren yang senantiasa dikerubungi semut hitam … hehehe… lebay teu-nya ?!) ! Cheese … selebriti dan penulis adalah perpaduan yang sempurna !


                                                                                                            Cimahi, 1 Februari 2012
                                     ( Renungan malam saat menikmati perjalanan menjadi penulis pemula )

TRAVELING


PERJALANAN KE KAMPUNG TOGA

            Kriiiing ! Aku segera mengangkat hp. "Teh, Minggu udah ada acara belum?" tanya adikku. Belum ! jawabku. "Kita, keluarga besar mau jalan-jalan, ikut? tanya adikku. "Wah kalau urusan jjs mah tak pernah mau ketinggalan!" jawabku semangat. "Ok, nanti Minggu dijemput jam tujuh. Siap ya!" sambungnya lagi sambil menutup telepon. Asyiiik.
            Minggu, 25 Desember 2011, aku dan keluarga besarku akhirnya mengadakan perjalanan ke kota Sumedang. Sebuah tempat wisata bernama Kampung Toga tujuan kami. Kami menggunakan dua mobil. Mobilku berisi sembilan orang, dewasa dan anak-anak. Mobil saudaraku berisi sepuluh orang, mertua adikku, saudara iparnya, serta anak-anaknya.
            Cuaca agak mendung tapi tak turun hujan. Perjalanan dari Bandung ke Cileunyi lumayan lancar. Kami menikmati perjalanan dalam suhu udara yang bersahabat, favorit kami. Tidak panas, tapi juga tidak dingin ( hujan ). Mobil memasuki daerah Jatinangor. Macet parah. Saudaraku memutuskan mengambil jalur Parakan Muncang untuk menghindari macet. Balik arah. Saat sampai di daerah Rancaekek, kulihat banyak kendaraan yang akan melakukan perjalanan juga. Kijang-kijang penuh dengan orang-orang yang ingin berlibur. Aneka barang bawaan memenuhi mobil. Karung, dus, baju, makanan dan lain sebagainya. Di dalam dan di luar mobil. Penuh sekali! Mobil-mobil itu saling berpacu menuju tempat tujuannya masing-masing. Berlomba dengan cuaca mendung. Tak terasa kami tiba di persimpangan Parakan Muncang. Mobil berbelok dan mulai menelusuri jalan alternatif menuju kota Sumedang. Alhamdulillah lancar.
            Menjelang memasuki daerah Cadas Pangeran,  hujanpun turun. Gerimis. Makin lama makin deras. Udara agak berkabut. Kami memasuki kota Sumedang. Berputar, karena jalan masuk ke kota ditutup. Akibatnya, saudaraku kebingungan mencari jalan menuju Kampung Toga. Kami  tersesat. Kami berputar-putar mencari jalan menuju Kampung Toga. Kios tahu yang menjadi patokan arah ternyata salah. Bukan tukang tahu itu yang kami cari. "Memangnya Kampung Toga itu dimana ?" tanyaku ingin tahu. Aku belum pernah ke sana. Saudaraku yang lain sudah tiga kali mengunjunginya. Gara-gara Sumedang kota tahu jadi linglung. Hehehe …. (gak nyambung ya )." Jalannya yang mau ke makam Cut Nyak Dien," jelas saudaraku. "Oh, itu. Belok kiri saja," jawabku memberi petunjuk jalan. Kamipun menelusuri jalan Cut Nyak Dien. Dalam perasaan was-was takut tak sampai ke tempat tujuan. Akhirnya, kami menemukan tukang tahu yang kami cari itu. Yes, betul dalam sebuah gerbang tertulis Kampung Toga dengan ukuran yang lumayan besar. Dengan mantap. Mobilpun meluncur ke Kampung Toga.
            Hanya dalam waktu sekitar dua puluh menit, kami tiba di tempat tujuan. Hujan yang tadi sudah mulai reda, turun kembali. Waktu menunjukkkan pukul 12.30. Kami memutuskan untuk menunaikan Shalat Dhuhur terlebih dahulu sambil menunggu hujan reda. Semua barang dan makanan kami bawa ke mushola. Setelah selesai shalat, hujan tak kunjung berhenti. Malah semakin deras. " Kita makan saja dulu!" ujar ibu Alem. Akhirnya, kami membuka bekal makan siang dan menatanya di teras belakang mushola. Di depannya, terhampar pemandangan hijau, gunung yang rimbun dengan pepohonan. Cuci mata. Sayangnya, tempat itu sempit, sehingga kami tidak bisa ngariung. Jadilah, makanan lengkap di atas piring dioper dari satu tangan ke tangan yang lainnya. Sampai semua orang mendapatkan makan siangnya.  Nasi timbel hangat dan pulen, pepes ikan, rempeyek, tempe, tahu, lalab, sambal adalah menu makan siang kami di Kampung Toga. Mmmmhhh…. Nikmat! Hujan tetap mengiringi kami sampai selesai makan siang. Acara berlibur di Kampung Toga terancam gagal. Padahal kami tinggal selangkah berada di dalamnya.
            Hujan tak henti-hentinya mengguyur Kampung Toga. Semakin deras saja setiap waktunya. Kabut mulai turun. Angin memaksa kami masuk ke mushola. Butir-butir air hujan membasahi tubuh kami. Payungku hampir terbang  tersapu angin. Kami menunggu hujan reda. Anak-anak berlarian di dalam mushola dengan riang. Kami bercakap-cakap. Bapak-bapak tidur-tiduran beralaskan lantai kayu yang hangat. Berjam-jam kami menunggu. Anak-anak mulai merajuk. Saudara ipar adikku mengeluarkan videonya. Mengambil gambar. Foto-foto. Anak-anakpun kembali riang.
            Tiga jam telah berlalu. Dua jam lagi tempat wisata Kampung Toga akan tutup. Hujan tetap tak mau kompromi. Kami mulai menyusun rencana baru. Kembali ke Bandung dan mengganti liburan ini dengan acara yang lain. Berenang di Karang Setra, nonton bioskop dan acara menarik  yang lainnya. Anak-anak protes. Konflik mulai muncul. Orang tua takut anak-anak jatuh sakit. Anak-anak tidak mau tahu, mereka tetap ingin berenang di Kampung Toga walaupun dibawah guyuran hujan. Anak-anak mulai ngambek.
            Hujan mereda. Kami membeli tiket masuk. Anak-anakpun riang. Kami memasuki tempat wisata Kampung Toga. Ada hal yang menarik. Pengunjung lain keluar setelah puas menikmati Kampung Toga. Berbasah-basah ria. Kami berhujan-hujan masuk ke Kampung Toga untuk berenang. Aku menapaki jalan yang banjir akibat hujan tadi. Air mengalir ke tangga di bawah. Aku mengedarkan pandangan. Oh, Kampung Toga mirip Sabda Alam di Garut. Kolam pertama banyak digunakan oleh orang dewasa. Kolamnya dalam katanya. Lalu, ada kolam terapi ikan. Di dekatnya ada kios makanan. Pengunjung tinggal sedikit. Kami turun menuju kolam anak-anak. Kosong. Anak-anak yang sudah berbaju renang sejak di mushola tadi langsung nyebur. Akhirnya, mereka bisa berenang di Kampung Toga. Hujanpun reda menjelang sore. Anak-anak berdiri di tengah kolam, menanti guyuran air dari ember besar di atasnya. Byuuurrr. Mereka tertawa senang.  Kami pun mulai ikut bergabung. Juga sebuah keluarga lain. Kami bermain air dibawah guyuran hujan kembali. Setelah cukup puas berbasah-basahan, beberapa orang dewasa menuju kolam terapi ikan. Akupun mengikutinya. Ih, geli tapi enak . Digigit-gigit lembut oleh segerombolan ikan berasa disetrum dengan watt listrik yang ringan. Kamipun menikmati liburan itu selama kurang lebih dua jam.
            Menjelang magrib, kami pun pulang kembali menuju Bandung. Tidak lupa membeli tahu Sumedang di kota sebagai oleh-oleh. Perjalanan memakan waktu satu setengah hingga dua jam sampai di rumah. Ternyata? Macet di Cadas Pangeran sampai Tanjung sari menunda perjalanan kami.  Mobil tak bergerak. Merayap menuju Bandung. Kami kembali menelusuri jalan Parakan muncang dengan was-was. Informasi dari radio, Rancaekek banjir dan macet parah. Bahkan ada mobil kijang yang meledak. Namun, polisi, memaksa kami menempuh jalan ini. Mobil-mobilpun mengular panjang menyusuri jalan alternatif ini pada pukul delapan malam. Gelap gulita. Tiba-tiba mobil berbalik arah. "Aauuooww… awas ada motor!" teriakku kaget. Di depan mobil, sawah membentang. "Sudah terima nasib saja, mengikuti kemacetan," kata adikku pada suaminya. Akhirnya, kami kembali ke jalan semula. Berharap-harap cemas menempuh banjir dan macet panjang. Dalam keremangan malam, kulihat dari kejauhan mobil-mobil berbelok ke arah kanan.  "Mereka mau kemana?" "Ikuti dan tanyakan saja arahnya!" Beberapa pemuda memandu kami.  "Jatinangor…Jatinangor… Jatinngor," teriaknya. Bagus. Mobil kamipun menyusuri jalanan yang belum diketahui ini. Kami meraba-raba, mobil ini akan tiba di kampus UNPAD.  Beberapa mobil lainpun mengikuti kami. Aku tak bisa melihat mobil saudaraku. Tenggelam dalam kegelapan.
            Wow, kami menyusuri sawah. Berlumpur-lumpur. Suara bangkong menemani perjalanan kami. Rasanya seperti berada di masa lalu, masa kecil. Mobil tetap merayap di jalan kecil itu. Menyusuri perkampungan. Lalu berganti dengan rumah-rumah bagus menyambut kami. Sekitar satu jam kemudian, kami keluar dari jalan baru itu. Kalian tahu di mana? Tanjungsari! "Wah, katanya Jatinangor," ujar adikku. "Ya, Jatinangor nyingcet," jawabku. Semuanya tergelak menyikapi penipuan kecil ini. Kamipun melanjutkan perjalanan. Macet masih terjadi tapi tidak separah tadi. Sekitar jam sepuluh malam, kami telah sampai di rumah adikku. Aku terpaksa menginap. Kasihan kalau harus terus melanjutkan perjalanan ke Bandung. Mereka harus bekerja besok pagi. Iparku menelepon saudaranya. Ternyata mereka terjebak kemacetan parah di Rancaekek. Alhamdulillah, penipuan tadi telah menyelamatkan kami. Kami bisa segera beristirahat. Malampun meninabobokan kami. Lelap setelah menempuh perjalanan natal yang seru. Sebuah kejutan besar menanti kami keesokan paginya. Saudaraku itu, mobil yang satu lagi sampai di Bandung, di rumahnya, pada pukul empat subuh. Fantastis bukan ?! Jarak Rancaekek-Bandung yang pendek itu ditempuh sama dengan perjalanan jauh ke Jogjakarta. Sepuluh jam !
            Perjalanan natal ini menguji kesabaran kami.  Kemacetan adalah hal yang biasa di zaman modern ini. Tak bisa dihindari lagi. Terlebih saat musim liburan. Jalan-jalan alternatifpun sudah identik dengan kemacetan.  Jika ingin berlibur, kita harus menerima resiko ini. Kemacetan harus dianggap sebagai sebuah anugrah. Nikmati saja! Mengutukinya hanyalah akan menjadi sebuah kelelahan yang teramat panjang. Marah-marah padanya hanya akan menguras tenaga tanpa hasil. Sia-sia! Masgul atau kecewa dengannya hanya akan menjadi rasa sakit yang luar bisa nyeri. So, berdamailah dengan kemacetan agar jiwa, pikiran dan tubuh kita tetap sehat ! (ARUNDINA, 2012 )

NOVEL


REVIEW NOVEL HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY
BUMI CINTA
            Bumi cinta bermakna tempat kita berpijak menjalani kehidupan ini di jalan Allah SWT. Berjuang karena Allah. Mencintai karena Allah. Dunia fana yang banyak dihiasi oleh bermacam-macam godaan. Sebuah dunia kecil bernama Moskow menjadi latar novel yang menarik ini..
            Membaca novel ini kita teringat pada sabda Rasul bahwa perang terbesar bagi manusia (umatnya) adalah perang melawan hawa nafsu. Tokoh utama dalam novel ini, yaitu Muhammad Ayyas telah membuktikannya. Ia yang harus mencari data penelitian di Moskow harus berjuang sekuat tenaga untuk tetap tangguh menyelamatkan diri dari fitnah dunia. Fitnah itu datang dari orang-orang yang dekat dalam kehidupannya. Devid, sahabatnya di masa SMP yang beraliran bebas. Yelena seorang pelacur kelas atas. Dan Linor seorang agen zionis Israel yang menyamar sebagai jurnalis. Bertubi-tubi godaan itu datang satu per satu. Keteguhan imannya menghadapi tantangan yang luar biasa. Hanya kepada Allahlah ia memohon pertolongan dan keselamatan. Pada akhirnya, kehadiran Ayyas di Moskow juga memberikan pencerahan bagi orang-orang di sekitarnya. Mereka mendapatkan hidayah dengan perantaraannya.
            Membaca novel ini, kita juga sekaligus belajar memahami Islam secara lebih baik. Kutipan-kutipan ayat-ayat Al Quran menjadi pengetahuan tersendiri bagi pembaca. Kita bisa menemukan praktek nyata dari kandungan Al Quran itu dalam kehidupan nyata. Ayat Al Quran bukan sekedar hapalan atau bacaan tapi merupakan sebuah amalan yang sangat berguna bagi kehidupan manusia. Penuntun menuju jalan yang diridhai oleh Allah SWT. Di samping itu, kita juga semakin mencintai dan meyakini kebenaran Islam dengan bukti-bukti ilmiah yang diungkapkan melalui tokoh Ayyas. Kita banyak belajar tentang sejarah Islam.
            Bumi cinta adalah inspirasi bagi kita. Sebuah novel pembangun jiwa. Demikian slogannya. Dan hal itu secara nyata kita dapatkan dengan membaca lembaran demi lembaran isi novel ini. Kita juga seolah-olah ikut berpetualang di negara dengan musim dingin yang dahsyat. Kita juga diajak jalan-jalan melihat keindahan kota Moskow dan sekitarnya.
            Pelajaran penting dari novel ini adalah  Percayalah kepada Tuhan (Allah SWT) maka Allah akan menolong dan menyelamatkan kita. Mohonkan ampun dan petunjuk dari-NYA agar kita tetap berada di jalan yang benar. Hanya Allahlah yang berhak membolak-balikkan hati seseorang. ( ARUNDINA, 2012)

2/04/2012

LUCU


CHEK IN
                                                                                                By Arundina
            Tiba-tiba, Sabtu sore, surat tugas melayang ke rumahku. Besok kau harus ke Cipanas ! Pelatihan Jurnalistik ! Kubaca surat itu dengan seksama. Aku dan dua orang temanku wajib melaksanakan tugas itu. Segera kutelpon kedua temanku, Indri dan Yulia. "Ya, besok sore kita pergi bersama. Apih, siap mengantar !" jawab Yulia di sebrang sana.
            Tepat pukul empat sore, Yulia diantar suaminya datang ke rumahku. Tinggal Indri yang belum datang. Kriiiing… "Halo !" "Rumahmu yang mana ?" tanya Indri. "Oh, sebelah warung gas elpiji. Di depan ada mobil Avanza hitam !" balasku. Kami pun menanti kedatangannya sambil bercakap-cakap ringan dan menikmati suguhan kue dan teh. Tak berapa lama, diapun datang. Senyum khasnya mengembang. "Hayu, ah!" ajaknya. "Duduklah dulu.  Ngopi dulu !" jawabku kalem. "Wareg yeh. Teu kuat hayang geura ka Cipanas ! Karunya Apih bisi kamaleman teuing pulangna." Jawabnya dengan logat Sunda yang khas.
            Kami pun segera meluncur. Menelusuri jalanan Bandung menuju Cianjur. Cuaca sore cukup cerah. Kami menikmati pemandangan indah sepanjang jalan. Sawah, gunung, pepohonan yang hijau. Ah, betapa sejuk di mata ! Obrolan dan candaan membuai waktu. Tak terasa kami telah sampai di kota Cianjur. Kendaraanpun berbelok menuju arah puncak. Lancar. Tak ada kemacetan seperti saat libur lebaran. Kami memasang mata. Mencari hotel bintang tiga, tempat kami menginap. Beberapa penginapan dan hotel telah kami lewati. Petunjuk-petunjuk arah telah kami pahami dengan baik. Gelap mulai menyelimuti alam. "Itu dia !" teriakku. Tulisan besar nama hotel di sebuah baligo terang menandai akhir perjalanan ini.  Kurang lebih satu meter di depan.
            Avanzapun memasuki pelataran parkir hotel. Jam berada pada pukul 19.30. Kami beranjak turun. Berjalan menuju lobi hotel. "Selamat malam !" Petugas lobi menyambut kedatangan ronbongan kecil ini dengan ramah. Kelegaan menyeruak. Aku menarik nafas. Segar. "Kami peserta pelatihan jurnalistik dari Bandung, Mas!" kata Yulia menjelaskan. "Oh, begitu. Chek innya baru besok siang, Mbak! Pukul 12 siang!" jawab petugas lobi. "Hah!" Guntur menggelegar. Kami melongo. "Tapi dalam surat tugas yang kami terima, chek innya malam ini. Pukul 19.30 !" ujarku. "Sebentar, Mbak!" balas petugas itu kalem. Dia pun beranjak ke meja belakang. Mengambil sebuah surat. Petugas lain mendatangi kami. "Ini suratnya!" Ia menunjukkan surat itu. Kami membacanya dengan perasaan yang tak jelas. Kacau tak menentu. Beda. Isinya beda. Surat yang ditik dengan rapi itu menyuruh chek in besok siang. Lunglai. Berbagai macam pikiran menyergap kepala. "Terima kasih, Mas!" kata Indri. Kami pun berjalan ke luar lobi. Keheningan menyergap. Tatapan mata para petugas hotel mengiringi perjalanan kami menuju Avanza kembali. Duduk. Bingung. Bruk ! Suara pintu Avanza yang ditutup mengembalikan kesadaran kami. "Suratnya tidak dibaca dulu ?" tanya Apih. "Suratnya mah benar. Chek in malam ini. Salah ketik mungkin, Pih!" Aneh !" kata Yulia pada suaminya. "Bagaimana dong nih ?" tanya Indri. "Pulang lagi ke Bandung?" tanya Apih lagi. "Wah, Jangan! Malu atuh sudah pamitan sama keluarga. Besok pastinya tidak akan bisa pergi lagi!" sergah Indri. "Kita cari makan malam aja dulu. Sambil mencari solusinya!" ujarku memberi masukan.
            Akhirnya, kami menyusuri kembali jalanan Cianjur tanpa tujuan yang jelas. Berbagai macam pikiran berkecamuk di kepala masing-masing. Kami berjalan ke arah puncak. Tak ada tempat yang cocok.  Setelah agak jauh, kembali ke arah Bandung. Kami menelusuri jalan sambil mencari tempat menginap. Hampir semuanya tak sesuai selera, selera kantong yang utama ( hehehe…). Akhirnya, kami istirahat di tukang baso. Setelah makan baso, kami menelusuri jalanan kembali. Muncul sebuah ide untuk kembali ke hotel tujuan awal. Kami menelepon. Berapa harganya ? sekitar tiga ratus lima puluh. Wow ! Acara pun batal. Kembali kami mencari tempat menginap yang lebih sesuai dengan ukuran saku kami. Tiba-tiba, aku melihat bangunan berderet putih mirip tempat kos-kosan. Kami pun menuju ke sana. Setelah menanyakan harga. Kami sepakat, malam ini tidur di sini, sedangkan apih kembali balik ke Bandung.
            Akhirnya, kami tidak terlantar. Setelah beberes, kami mengambil posisi tidur dengan rapi. Karena lelah, kami segera terpejam. Tiba-tiba… gempa…gempa…gempa ! Kami terjaga. Dua temanku merasakan getaran hebat. Aneh, aku tidak merasakannya. "Pengaruh hp mungkin," jawabku. Mereka langsung loncat dari tempat tidur, bergegas keluar. Dengan malas, kuikuti mereka. Yulia membuka pintu kamar. "Kang, aya gempa, tsunami?" tanya Yulia pada penjaga penginapan. "Oh, bukan neng. Di sini biasa seperti ini, kalau ada kendaraan besar seperti bus atau truk, pasti bergetar seperti gempa! jawabnya kalem. Hahahaha…. Sontak kami tertawa terbahak-bahak. Ada-ada aja ! Begitu dahsyat efek tsunami bagi manusia yang hidup. Jauh dari laut aja masih ingat sama tsunami, apalagi yang tinggal di daerah pesisir ya ?! Sampai jauh malam kami membahas pengalaman lucu ini. Akhirnya tetidur pulas.

Featured Post

Festival Cireundeu Cimahi: Maknyus, Icip-Icip Nasi Goreng Rasi

  Halo sobat yayuarundina.com – Kali ini, kita jalan-jalan tipis di dalam kota Cimahi. Tanpa disengaja muncul informasi acara Festival Cire...